ALLAH SATU TUJUAN

SELAMAT DATANG DI WEB CINTA KEPADA ALLAHLAH CINTA YANG HAKIKI

AL KISAH


Kisah Hajar Aswat





 Ibrahim as diperintahkan Allah Swt membangun kembali Ka’bah. Ia memenuhi perintah itu dibantu putranya, Isma’il as. Saat hampir selesai mengerjakannya, Ibrahim as merasa ada yang kurang pada Ka’bah. Kemudian ia memerintahkan putranya, “Pergilah engkau mencari sebuah batu lagi yang akan aku letakkan di Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”
Isma’il as mematuhi perintah ayahnya. Ia pergi dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari batu yang paling baik. Ketika sedang mencari, malaikat Jibril datang pada Isma’il as dan memberinya sebuah batu yang cantik. Dengan senang hati ia menerima batu itu dan segera membawa batu itu untuk diberikan pada ayahnya. Ibrahim as pun gembira dan mencium batu itu beberapa kali.
Kemudian Ibrahim as bertanya pada putranya, “Dari mana kamu peroleh batu ini?” Isma’il as menjawab, “Batu ini aku dapat dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu.” Ibrahim as mencium batu itu lagi dan diikuti juga oleh Isma’il as.
Begitulah, sampai saat ini banyak yang berharap bisa mencium batu yang dinamai Hajar Aswad itu. Umar bin Khathab pernah menyambaikan bahwa Rasulullah Saw sendiri pernah menciumnya. Saat Umar bin Khaththab berada di hadapan Hajar Aswad dan menciumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (Hadits no 228 Kitab Sahih Muslim).
Karena sangat bersejarahnya, ada juga orang yang ingin mencuri Hajar Aswad. Di akhir bulan Muharram 1351 H, datanglah seorang laki-laki ke Ka’bah. Ia mencungkil Hajar Aswad, mencuri potongan kain Kiswah, dan membawa sepotong perak dari tangga Ka’bah. Untunglah, penjaga masjid mengetahuinya, laki-laki itu pun ditangkap dan dihukum. Tanggal 28 Rabi’ul Akhir tahun yang sama, dilakukan penempelan kembali bongkahan batu itu ke tempat asalnya.
Sebelumnya perekatan itu, dilakukan penelitian oleh para ahli mengenai bahan perekat yang digunakan. Akhirnya ditemukan perekat berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar. (imam)

 Hikayat Iblis : Dialog Iblis vc Rosulullah Saw 


 Allah SWT telah memerintahkan seorang Malaikat menemui Iblis supaya dia menghadap Rasulullah saw untuk memberitahu segala rahasianya, baik yang disukai maupun yang dibencinya. Hikmatnya ialah untuk meninggikan derajat Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai peringatan dan perisai kepada umat manusia.
Maka Malaikat itu pun berjumpa Iblis dan berkata, “Hai Iblis! Bahwa Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memberi perintah untuk menghadap Rasullullah saw. Hendaklah engkau buka segala rahasiamu dan apapun yang ditanya Rasulullah hendaklah engkau jawab dengan sebenar-benarnya. Jikalau engkau berdusta walau satu perkataan pun, niscaya akan terputus semua anggota badanmu, uratmu, serta disiksa dengan azab yang amat keras.”
Mendengar ucapan Malaikat yang dahsyat itu, Iblis sangat ketakutan. Maka segeralah dia menghadap Rasulullah SAW dengan menyamar sebagai seorang tua yang buta sebelah matanya dan berjanggut putih 10 helai, panjangnya seperti ekor lembu.
Iblis pun memberi salam, sehingga 3 kali tidak juga dijawab oleh Rasulullah saw. Maka sambut Iblis (alaihi laknat),
“Ya Rasulullah! Mengapa engkau tidak mejawab salamku? Bukankah salam itu sangat mulia di sisi Allah?” Maka jawab Nabi dengan marah, “Hai Aduwullah seteru Allah! Kepadaku engkau menunjukkan kebaikanmu? Janganlah mencoba menipuku sebagaimana kau tipu Nabi Adam a.s sehingga keluar dari syurga, Habil mati teraniaya dibunuh Qabil dengan sebab hasutanmu, Nabi Ayub engkau tiup dengan asap beracun ketika dia sedang sujud sembahyang hingga dia sengsara beberapa lama, kisah Nabi Daud dengan perempuan Urya, Nabi Sulaiman meninggalkan kerajaannya karena engkau menyamar sebagai isterinya dan begitu juga beberapa Anbiya dan pendeta yang telah menanggung sengsara akibat hasutanmu.
Hai Iblis! Sebenarnya salam itu sangat mulia di sisi Allah azza wajalla, cuma salammu saja aku tidak hendak menjawabnya karena diharamkan Allah. Maka aku kenal baik-baik engkaulah Iblis, raja segala iblis, syaitan dan jin yang menyamar diri. Apa kehendakmu datang menemuiku?”
Taklimat Iblis, “Ya Nabi Allah! Janganlah engkau marah. Karena engkau adalah Khatamul Anbiya maka dapat mengenaliku. Kedatanganku adalah diperintah Allah untuk memberitahu segala tipu dayaku terhadap umatmu dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ya Nabi Allah! Setiap apa yang engkau tanya, aku bersedia menerangkan satu persatu dengan sebenarnya, tiadalah aku berani menyembunyikannya.”
Maka Iblis pun bersumpah menyebut nama Allah dan berkata, “Ya Rasulullah! Sekiranya aku berdusta barang sepatah pun niscaya hancur leburlah badanku menjadi abu.”
Apabila mendengar sumpah Iblis itu, Nabi pun tersenyum dan berkata dalam hatinya, inilah satu peluangku untuk menyiasati segala perbuatannya agar didengar oleh sekalian sahabat yang ada di majlis ini dan menjadi perisai kepada seluruh umatku.
Pertanyaan Nabi (1):
“Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.”
Maka Nabi pun memandang muka Iblis, dan Iblis pun menggeletar karena ketakutan. Sambung Iblis, “Ya Khatamul Anbiya! Ada pun aku dapat merubah diriku seperti sekalian manusia, binatang dan lain-lain hingga rupa dan suara pun tidak berbeda, kecuali dirimu saja yang tidak dapat aku tiru karena dicegah oleh Allah.
Kiranya aku menyerupai dirimu, maka terbakarlah diriku menjadi abu. Aku cabut iktikad / niat anak Adam supaya menjadi kafir karena engkau berusaha memberi nasihat dan pengajaran supaya mereka kuat untuk memeluk agama Islam, begitu jugalah aku berusaha menarik mereka kepada kafir, murtad atau munafik. Aku akan menarik seluruh umat Islam dari jalan benar menuju jalan yang sesat supaya masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya bersamaku.”
Pertanyaan Nabi (2):
“Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?”
Jawab Iblis:
“Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.
Demikian juga ketika pesta yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Disana aku lepaskan sebesar-besar godaan supaya hilang peraturan dan minum arak. Apabila terminum arak itu maka hilanglah akal, fikiran dan malunya. Lalu aku ulurkan tali cinta dan terbukalah beberapa pintu maksiat yang besar, datang perasaan hasad dengki hingga kepada pekerjaan zina. Apabila terjadi kasih antara mereka, terpaksalah mereka mencari uang hingga menjadi penipu, peminjam dan pencuri.
Apabila mereka teringat akan salah mereka lalu hendak bertaubat atau berbuat amal ibadat, aku akan rayu mereka supaya mereka menangguhkannya. Bertambah keras aku goda supaya menambahkan maksiat dan mengambil isteri orang. Bila kena goda hatinya, datanglah rasa ria, takabur, megah, sombong dan melengahkan amalnya. Bila pada lidahnya, mereka akan gemar berdusta, mencela dan mengumpat. Demikianlah aku goda mereka setiap saat.”
Pertanyaan Nabi (3):
“Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”
Jawab Iblis:
“Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa Diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.
Tiba-tiba datang firman Allah SWT hendak menjadikan seorang Khalifah di dunia ini, maka akupun membantah. Lalu Allah menciptakan lelaki (Nabi Adam) lalu dititahkan seluruh Malaikat memberi hormat kepada lelaki itu, kecuali aku yang ingkar. Oleh karena itu Allah murka kepadaku dan wajahku yang tampan rupawan dan bercahaya itu bertukar menjadi keji dan kelam. Aku merasa sakit hati. Kemudian Allah menjadikan Adam raja di syurga dan dikurniakan seorang permaisuri (Siti Hawa) yang memerintah seluruh bidadari. Aku bertambah dengki dan dendam kepada mereka.
Akhirnya aku berhasil menipu mereka melalui Siti Hawa yang menyuruh Adam memakan buah Khuldi, lalu keduanya diusir dari syurga ke dunia. Keduanya berpisah beberapa tahun dan kemudian dipertemukan Allah (di Padang Arafah), hingga mereka mendapat beberapa orang anak. Kemudian kami hasut anak lelakinya Qabil supaya membunuh saudaranya Habil. Itu pun aku masih tidak puas hati dan berbagai tipu daya aku lakukan hingga Hari Kiamat.
Sebelum Engkau lahir ke dunia, aku beserta bala tentaraku dengan mudah dapat naik ke langit untuk mencuri segala rahasia serta tulisan yang menyuruh manusia berbuat ibadat serta balasan pahala dan syurga mereka. Kemudian aku turun ke dunia, dan memberitahu manusia yang lain daripada apa yang sebenarnya aku dapatkan, dengan berbagai tipu daya hingga tersesat dengan berbagai kitab bid’ah dan carut-marut.
Tetapi ketika engkau lahir ke dunia ini, maka aku tidak dibenarkan oleh Allah untuk naik ke langit serta mencuri rahasia, kerana banyak Malaikat yang menjaga di setiap lapisan pintu langit. Jika aku berkeras juga hendak naik, maka Malaikat akan melontarkan anak panah dari api yang menyala. Sudah banyak bala tenteraku yang terkena lontaran Malaikat itu dan semuanya terbakar menjadi abu. Maka besarlah kesusahanku dan bala tentaraku untuk menjalankan tugas menghasut.”
Pertanyaan Nabi (4):
“Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?”
Jawab Iblis:
“Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku”
Pertanyaan Nabi (5):
“Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.
Setengah-setengahnya datang pada setiap anggota badannya supaya malas sholat, was-was, terlupa bilangan rakaatnya, bimbang pada pekerjaan dunia yang ditinggalkannya, sentiasa hendak cepat habis sholatnya, hilang khusyuknya – matanya sentiasa menjeling ke kiri kanan, telinganya senantiasa mendengar orang bercakap serta bunyi-bunyi yang lain. Setengah Iblis duduk di belakang badan orang yang sembahyang itu supaya dia tidak kuasa sujud berlama-lama, penat atau duduk tahiyat dan dalam hatinya senantiasa hendak cepat habis sholatnya, itu semua membawa kepada kurangnya pahala. Jika para Iblis itu tidak dapat menggoda manusia itu, maka aku sendiri akan menghukum mereka dengan seberat-berat hukuman.”
Pertanyaan Nabi (6):
“Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya.”
Pertanyaan Nabi (7):
“Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”
Pertanyaan Nabi (8):
“Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu syurga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam syurga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”
Pertanyaan Nabi (9):
“Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?”
Jawab Iblis:
“Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”
Saidina Abu Bakar al-Siddiq sebelum bersamamu, aku tidak dapat mendekatinya, apalagi setelah berdampingan denganmu. Dia begitu percaya atas kebenaranmu hingga dia menjadi wazirul a’zam. Bahkan engkau sendiri telah mengatakan jika ditimbang seluruh isi dunia ini dengan amal kebajikan Abu Bakar, maka akan lebih berat amal kebajikan Abu Bakar. Tambahan pula dia telah menjadi mertuamu karena engkau menikah dengan anaknya, Saiyidatina Aisyah yang juga banyak menghafadz Hadits-haditsmu.
Saidina Umar Al-Khattab pula tidaklah berani aku pandang wajahnya karena dia sangat keras menjalankan hukum syariat Islam dengan seksama. Jika aku pandang wajahnya, maka gemetarlah segala tulang sendiku karena sangat takut. Hal ini karena imannya sangat kuat apalagi engkau telah mengatakan, “Jikalau adanya Nabi sesudah aku maka Umar boleh menggantikan aku”, karena dia adalah orang harapanmu serta pandai membedakan antara kafir dan Islam hingga digelar ‘Al-Faruq’.
Saidina Usman Al-Affan lagi, aku tidak bisa bertemu, karena lidahnya senantiasa bergerak membaca Al-Quran. Dia penghulu orang sabar, penghulu orang mati syahid dan menjadi menantumu sebanyak dua kali. Karena taatnya, banyak Malaikat datang melawat dan memberi hormat kepadanya karena Malaikat itu sangat malu kepadanya hingga engkau mengatakan, “Barang siapa menulis Bismillahir rahmanir rahim pada kitab atau kertas-kertas dengan dakwat merah, nescaya mendapat pahala seperti pahala Usman mati syahid.”
Saidina Ali Abi Talib pun itu aku sangat takut karena hebatnya dan gagahnya dia di medan perang, tetapi sangat sopan santun, alim orangnya. Jika iblis, syaitan dan jin memandang beliau, maka terbakarlah kedua mata mereka karena dia sangat kuat beribadat serta beliau adalah golongan orang pertama memeluk agama Islam dan tidak pernah menundukkan kepalanya kepada sebarang berhala. Bergelar ‘Ali Karamullahu Wajhahu’ – dimuliakan Allah akan wajahnya dan juga ‘Harimau Allah’ dan engkau sendiri berkata, “Akulah negeri segala ilmu dan Ali itu pintunya.” Tambahan pula dia menjadi menantumu, semakin aku ngeri kepadanya.”
Pertanyaan Nabi (10):
“Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan laranganNya seperti kata Jibril a.s, “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersukacita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku hela ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada masa beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.
Lalu aku goda agar minta kaya dulu, dan apabila diizinkan Allah dia menjadi kaya, maka dilupakan beramal, tidak berzakat seperti Qarun yang tenggelam dengan istana mahligainya. Bila umatmu terkena penyakit tidak sabar dan tamak, dia senantiasa bimbang akan hartanya dan setengahnya asyik hendak merebut dunia harta, bercakap besar sesama Islam, benci dan menghina kepada yang miskin, membelanjakan hartanya untuk jalan maksiat, tempat judi dan perempuan lacur.”
Pertanyaan Nabi (11):
“Siapa yang serupa dengan engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”
Pertanyaan Nabi (12):
“Siapa yang mencahayakan muka engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”
Pertanyaan Nabi (13):
“Apakah rahasia engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”
Pertanyaan Nabi (14):
“Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”
Pertanyaan Nabi (15):
“Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”
Pertanyaan Nabi (16):
“Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?”
Jawab Iblis:
Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”
Pertanyaan Nabi (17):
“Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian jua pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”
Pertanyaan Nabi (18):
“Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”
Pertanyaan Nabi (19):
“Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”
Pertanyaan Nabi (20):
“Apa lagi yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda,’Syurga itu di bawah tapak kaki ibu’”
***
Dari Sahabat

Tangisan Seorang Pemimpin Yang Takut Pada Allah
UMAR bin ABDUL AZIZ,  Dia seorang hafizh, mujtahid, sangat mendalam ilmunya, zuhud,ahli ibadah dan sosok pemimpin kaum Muslimin yang sejati. Dia juga disebut Abu Hafsh,dari suku Quraisy,Bani Umayyah. Istrinya, Fathimah pernah berkata, “ Dikalangan kaum laki-laki memang ada yang shalat dan puasanya lebih banyak dari Umar. Tetapi aku tidak melihat seorangpun yang lebih banyak ketakutannya kepada Allah daripada Umar, jika masuk rumah ia langsung menuju tempat shalatnya, bersimpuh dan menangis sambil berdoa kepada Alloh hingga tertidur. Kemudian dia bangun dan berbuat seperti itu sepanjang malam.”
Takkala menyampaikan khutbah terakhirnya, Umar bin Abdul Aziz naik keatas mimbar, memuji Alloh, lalu berkata, “ Sesungguhnya ditanganmu kini tergenggam harta orang-orang yang binasa. Orang-orang yang hidup pada generasi mendatang akan meninggalkannya, seperti yang telah dilakukan oleh generasi yang terdahulu. Tidakkah kamu ketahui bahwa siang dan malam kamu sekalian mengarak jasad yang siap menghadap Allah, lalu kamu membujurkannya di dalam rekahan bumi, tanpa tikar tanpa bantal, lalu kamu menimbunnya dalam kegelapan bumi ?. Jasad itu telah meninggalkan harta dan kekasih-kekasihnya. Dia terbujur dikolong bumi, siap menghadap hisab. Dia tak mampu berbuat apa-apa menghadapi keadaan sekitarnya dan tidak lagi membutuhkan semua yang ditinggalkannnya. Demi Allah, kusampaikanhal ini kepadamu sekalian, karena aku tidak tahu apa yang terbatik didalam hati seorang seperti yang kuketahui pada diriku sendiri “
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz menarik ujung bajunya, menyeka air mata, lalu turun dari mimbar. Sejak itu dia tidak keluar rumah lagi kecuali setelah jasadnya sudah membeku.
Diriwayatkan dari Abdus-Salam, mantan budak Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata: “ Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, melihat ia menangis, istrinya dan semua anggota keluarganya pun ikut menangis, padahal mereka tidak tahu persis apa pasalnya mereka ikut-ikutan menangis”.
Setelah suasana reda, Fathimah, istrinya bertanya: “Demi ayahku sebagai jaminan, wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat engkau menangis? “. Umar bin Abdul aziz menjawab, “ Wahai fathimah, aku ingat akan persimpangan jalan manusia takkala berada di hadapan Alloh, bagaimana sebagian diantara mereka berada di sorga dan sebagian lain berada di neraka
ANEH TAPI NYATA ( Kisah-kisah  AAjaib )



Sebelum Meninggal Dia Mengatakan, “Aku Mencium Bau Surga!”
Seorang Doktor bercerita kepadaku, “Pihak rumah sakit menghubungiku dan memberitahukan bahwa ada seorang pasien dalam keadaan kritis sedang dirawat. Ketika aku sampai, ternyata pasien tersebut adalah seorang pemuda yang sudah meninggal -semoga Allah merahmatinya-. Lantas bagaimana detail kisah wafatnya. Setiap hari puluhan bahkan ribuan orang meninggal. Namun bagaimana keadaan mereka ketika wafat? Dan bagaimana pula dengan akhir hidupnya?
Pemuda ini terkena peluru nyasar, dengan segera kedua orang tuanya -semoga Allah membalas kebaikan mereka- melarikannya ke rumah sakit militer di Riyadh. Di tengah perjalanan, pemuda itu menoleh kepada ibu bapaknya dan sempat berbicara. Tetapi apa yang ia katakan? Apakah ia menjerit dan mengerang sakit? Atau menyuruh agar segera sampai ke rumah sakit? Ataukah ia marah dan jengkel? Atau apa?
Orang tuanya mengisahkan bahwa anaknya tersebut mengatakan kepada mereka, ‘Jangan khawatir! Saya akan meninggal… tenanglah… sesungguhnya aku mencium bau surga.!’ Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan ia mengulang-ulang kalimat tersebut di hadapan pada dokter yang sedang merawat. Meskipun mereka berusaha berulang-ulang untuk menyelamatkannya, ia berkata kepada mereka, ‘Wahai saudara-saudara, aku akan mati, jangan kalian menyusahkan diri sendiri… karena sekarang aku mencium bau surga.’
Kemudian ia meminta kedua orang tuanya agar mendekat lalu mencium keduanya dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Kemudian ia mengucapkan salam kepada saudara-saudaranya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. ‘ Ruhnya melayang kepada Sang Pencipta SWT.
Allahu Akbar… apa yang harus kukatakan dan apa yang harus aku komentari… semua kalimat tidak mampu terucap… dan pena telah kering di tangan… aku tidak kuasa kecuali hanya mengulang dan mengingat Firman Allah SWT,
‘Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.’ (Ibrahim: 27).
Tidak ada yang perlu dikomentari lagi.”
Ia melanjutkan kisahnya,
“Mereka membawanya untuk dimandikan. Maka ia dimandikan oleh saudara Dhiya’ di tempat memandikan mayat yang ada di rumah sakit tersebut. Petugas itu melihat beberapa keanehan yang terakhir. Sebagaimana yang telah ia ceritakan sesudah shalat Maghrib pada hari yang sama.
I. Ia melihat dahinya berkeringat. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin meninggal dengan dahi berkeringat.” Ini merupakan tanda-tanda Husnul Khatimah.
II. Ia katakan tangan jenazahnya lunak demikian juga pada persendiannya seakan-akan dia belum mati. Masih mempunyai panas badan yang belum pernah ia jumpai sebelumnya semenjak ia bertugas memandikan mayat. Padahal tubuh orang yang sudah meninggal itu dingin, kering dan kaku.
III. Telapak tangan kanannya seperti seorang yang membaca tasyahud yang mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan ketauhidan dan persaksiaannya, sementara jari-jari yang lain ia genggam.
Subhanallah… sungguh indah kematian seperti ini. Kita bermohon semoga Allah menganugrahkan kita Husnul Khatimah.
Saudara-saudara tercinta… kisah belum selesai…
Saudara Dhiya’ bertanya kepada salah seorang pamannya, apa yang ia lakukan semasa hidupnya? Tahukah anda apa jawabannya?
Apakah anda kira ia menghabiskan malamnya dengan berjalan-jalan di jalan raya? Atau duduk di depan televisi untuk menyaksikan hal-hal yang ter-larang? Atau ia tidur pulas hingga terluput mengerjakan shalat? Atau sedang meneguk khamr, narkoba dan rokok? Menurut anda apa yang telah ia kerjakan? Mengapa ia dapatkan Husnul Khatimah yang aku yakin bahwa saudara pembaca pun mengidam-idamkannya; meninggal dengan mencium bau surga.
Ayahnya berkata,
‘Ia selalu bangun dan melaksanakan shalat malam sesanggupnya. Ia juga membangunkan keluarga dan seisi rumah agar dapat melaksanakan shalat Shubuh berjamaah. Ia gemar menghafal al-Qur’an dan termasuk salah seorang siswa yang berprestasi di SMU’.”
Aku katakan, “Maha benar Allah yang berfirman,
‘Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.’ (Fushshilat: 30-32).”
Dalam sebuah hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Ada tujuh golongan orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain dari naunganNya…di antaranya, seorang pemuda yang tumbuh dalam melakukan ketaatan kepada Allah.”
Dalam sebuah hadits shahih dari Anas bin an-Nadhr RA, ketika perang Uhud ia berkata, “Wah…angin surga, sungguh aku telah mecium bau surga yang berasal dari balik gunung Uhud.”
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN KARYA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-QAHTHANI, PENERBIT DARUL HAQ, TELP.021-4701616 sebagai yang dinukil dari Qishash wa ‘Ibar karya Doktor Khalid al-Jabir)


Aroma Kasturi Keluar Dari Hidung Jenazah Seorang Wanita Saat Dimandikan

Ummu Ahmad ad-Du’aijy berkata ketika ia ditemui Majalah Yamamah tentang kematian seorang gadis berusia 20 tahun pada kecelakaan kendaraan. Beberapa saat sebelum meninggal, ia pernah ditanya oleh familinya “Bagaimana keadaanmu wahai fulanah.?” Ia menjawab, “Baik, alhamdulillah.” Tetapi beberapa saat setelah itu ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya.
Mereka membawanya ke tempat memandikan mayat. Ketika kami meletakkan mayatnya di atas kayu pemandian untuk dimandikan, kami melihat wajahnya ceria dan tersimpul senyuman seakan-akan ia sedang tidur. Di tubuhnya tidak ada cacat, patah dan luka. Dan anehnya (sebagaimana yang dikatakan ummu Ahmad) ketika mereka hendak mengangkatnya untuk menyelesaikan mandinya, keluar benda berwarna putih yang memenuhi ruangan tersebut menjadi harum kasturi. Subhanallah! Benar ini adalah bau kasturi. Kami bertakbir dan berdzikir kepada Allah sehingga anakku yang merupakan sahabat si mayit menangis melihatnya.
Kemudian aku bertanya kepada bibi si mayit tentang keponakannya, bagaimana keadaannya semasa hidup? Ia menjawab, “Sejak mendekati usia baligh, ia tidak pernah meninggalkan sebuah kewajiban, tidak pernah melihat film, sinetron dan musik. Sejak usia tiga belas tahun, ia sudah mulai puasa senin-kamis dan ia pernah berniat secara sosial membantu memandikan mayat. Tetapi ia terlebih dahulu dimandikan sebelum ia memandikan orang lain. Para guru dan teman-temannya mengenang ketakwaannya, akhlaknya dan pergaulannya yang banyak berpengaruh terhadap teman-temannya baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal.”
Aku katakan, “Benarlah perkataan syair,
Detak jantung seseorang berkata kepadanya,
bahwa kehidupan hanya beberapa menit dan detik saja.
Camkanlah itu dalam dirimu sebelum engkau mati,
Seorang insan mengingat umurnya yang hanya sedetik.”
Dan perkataan yang lebih baik dari itu adalah firman Allah SWT,
“Dan Allah telah menjadikanku selalu berbakti di manapun aku berada.” (Maryam: 31).
Lalu ummu Ahmad melanjutkan ceritanya, Ada lagi jenazah seorang gadis yang berumur 17 tahun. Para wanita memandikannya dan kami melihat jasadnya berwarna putih lalu beberapa saat kemudian berubah menjadi hitam seperti kegelapan malam. Hanya Allah-lah yang mengetahui tentang keadaannya. Kami tidak sanggup bertanya kepada keluarganya, agar kami dapat menyembunyikan aib jenazah. Hanya Allah-lah yang Maha Tahu.
Kita bermohon kepada Allah keselamatan dan kesehatan.
Wahai saudariku apakah dua kisah ini dapat engkau jadikan sebagai pelajaran? Apakah engkau akan mengikuti jejak orang shalih ataukah engkau menjadikan wanita-wanita fasik dan durhaka sebagai tauladan? Kematian bagaimanakah yang engkau pilih?
Kisah ini dicantumkan dalam Majalah al-Yamamah edisi 1557 tanggal 14 Shafar 1420 H.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN karya Muhammad bin Shalih al-Qahthani)

AL KISAH SEORANG GADIS SHOLEHAH


Zaman sekarang, setidaknya kata teman-teman saya, mencari laki-laki sholeh adalah suatu hal yang susah, akan tetapi mencari wanita yang sholehah jauh..jauh..jauh lebih susah. Saya kurang jelas, alasan ilmiahnya seperti apa, tapi fenomena yang ada di tengah-tengah masyarakat demikianlah adanya. Mungkin kondisi anomali ini yang menjadi filosofi munculnya pepatah Arab;Wanita yang sholehah itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang soleh.”

Berikut  ini saya akan kutipkan sebuah kisah yang sangat luar biasa. Sebuah KISAH NYATA tentang seorang wanita yang teguh dalam ketaatan kepada Tuhannya. Gadis yang Shalihah, taat Syariah dan kokoh memperjuangkan Khilafah. Kisah ini menjadi sangat istimewa karena terjadi di masa kita, masa di mana banyak wanita melupakan kodratnya, masa di mana kemaksiatan adalah suatu hal yang biasa.
Berikut kisahnya; 
Seorang gadis remaja baru pulang dari sekolahnya dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, ia langsung bersimpuh di pangkuan ibunya untuk menceritakan sebab-musabab kesedihannya. 

“Aduhai ibuku, sesungguhnya guruku telah mengancam akan mengusirku dari sekolah karena pakaian panjang (jilbab) yang kupakai” keluh sang putri. 

“Tetapi itu adalah pakaian yang dikehendaki oleh Allah, wahai putriku” 
sang ibu dengan bijaksana mencoba untuk memperjelas duduk permasalahannya. 

“Benar, wahai ibu, akan tetapi guruku tidak menghendakinya” jawab sang putri.

Sang bunda kemudian menasihati putrinya,  
“Baiklah, wahai putriku, boleh saja gurumu tidak menghendaki, tetapi Allah meng­hendakinya. Lalu siapakah yang akan kamu taati? Apakah kamu akan mentaati Allah yang telah menciptakanmu dan membentukmu, serta yang telah mengaruniakan kenikmatan kepadamu? Ataukah kamu akan mentaati seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat dan mudharat kepada dirinya?”

 lalu Sang putri dengan mantab menjawab,  
“Sesungguhnya saya akan taat kepada Allah, wahai ibu.” 

Pada hari berikutnya, gadis itu pergi dengan mengenakan jilbab dan kerudung seperti biasanya. Tatkala gurunya melihatnya, sang guru pun langsung mencela dan memarahinya dengan keras. Gadis itu tidak kuasa menerima amarah tersebut, ditambah lagi oleh pandangan sinis dari teman-teman yang mengarah kepadanya. Maka, tidak ada yang ia lakukan selain MENANGIS meneteskan air mata.

Tidak lama kemudian, gadis itu lantas mengeluarkan kata-kata yang besar maknanya meski sedikit jumlahnya, “Demi Allah, saya tidak tahu siapa yang akan saya taati, anda ataukah Dia?” 

Mendengar kata-kata padat nan tegas dari muridnya, maka sang guru pun bertanya, “Siapakah Dia itu?” 

Sang gadis Shalihah itu menjawab (dengan jawaban yang luarrr biasa), ALLAH!. Apakah saya harus taat kepada anda, sehingga saya mesti memakai pakaian seperti yang anda kehendaki, tetapi saya berbuat maksiat kepada-Nya? Ataukah saya mentaati-Nya dan tidak mentaati anda?, Ah, biarlah saya akan mentaati-Nya saja, dan APA yang terjadi TERJADILAH.
SUBHANALLAH, betapa agungnya kalimat yang diucapkan gadis itu. Sebuah kalimat yang menampakkan wald (ketaatan) yang mutlak kepada Allah adzawajalla. Sang Gadis bertekad untuk berpegang kuat dan taat ke­pada perintah Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa.

Rasa kagum dan Salam penghormatan penting juga kita sampaikan kepada Ibundanya;
Sang Ibu yang telah menanamkan dalam diri putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sang Ibu yang telah membentuk anaknya dengan bentuk yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sang Ibu yang telah mengajarkan sipat dan sikap taat secara totalitas kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sang Ibu yang telah menggembleng anaknya supaya tetap tegar dan kokoh di atas jalan kebenaran.

Perlu diingat, sang Gadis dan ibunya Tidak Hidup pada zaman Rasul, zamannya Sahabat, ataupun pada zaman Tabi’in. Sesungguhnya ia hidup pada zaman modern, zaman sekarang.

Adalah sesuatu yang langka lagi Istimewa, pada zaman sekarang ini ada seorang gadis yang bertakwa lagi berani untuk memperjuangkan kebenaran serta tidak takut akan makian dan ejekan orang-orang. Wanita seperti itu bak Berlian diantara Bebatuan. Dan tentu semua kita faham bahwa batu Berlian nilainya berjuta-juta kali lipat dari batu biasa. Maka,  
Carilah atau jadilah batu berlian... !

KEPUASAAN ADA PADA RASA SYUKUR



Siang itu tadi temanku tiba-tiba nelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku. So she picked me up at the lobby of Jakarta Stock Exchange Building.
Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto Pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.
Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.
Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol. Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol. So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget.
“Semir om?” tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk…Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia. Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.
Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu. Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet, ya jadi pak ogah. Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).
Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.
Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kami juga merasakan penolakan itu.
Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi…
Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan, mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.
Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu…Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya 2 ribu rupiah Dia berkata kalem “Kebanyakan om. Seribu aja”.
BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku. It-just-does-not-compute-with-my-logic! Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.
Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gaji ku. Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia.
Tuhan sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.
Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.
Bahwa kepuasan itu adanya di rasa syukur


 Ibu, Miss You so Much

Kubik Leadership
Jakarta, Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apapun  yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita. Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan  berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau  keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman pribadi yang terjadi pada  2003.
Pada September-Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta. Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidapnya. Dia sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah layar monitor.
Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya. Dokter berkata, “Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu”. Sayapun menjawab “Mengapa dokter meminta izin saya? Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya” Dokter itu menjawab “Karena obat yang ini mahal Pak Jamil.” “Memang harganya berapa dok?” Tanya saya. Dokter itu dengan mantap menjawab “Dua belas juta rupiah sekali suntik.” “Haahh 12 juta rupiah dok, lantas sehari berapa kali suntik, dok? Dokter itu menjawab, “Sehari tiga kali suntik pak Jamil”.
Setelah menarik napas panjang saya berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, dok?” Saat itu butiran air bening mengalir di pipi. Dengan suara bergetar saya berkata, “Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan.” “Pak Jamil kami sudah berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati memberi obat karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, pak.” jawab dokter.
Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa, “Ya Allah Ya Tuhanku… aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-Mu, akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan juga akan Engkau balas. Ya Tuhanku… gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan, tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku Engkau Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk. Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku, semudah Engkau mengatur milyaran planet di jagat raya ini.”
Ketika saya sedang berdoa itu tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin papa. Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. Saya ambil uang itu, Rp 75 saya gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.
Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata berkata “Pokoknya yang ngambil uangku kualat… yang ngambil uangku kualat…” Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.
Usai berdoa saya merenung, “Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.” Setelah menarik nafas panjang saya tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, maka saya bertanya kepada ibu saya Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”
“Sampai kapanpun ibu ingat Mil. Kualat yang ngambil duit itu Mil, duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-teganya ada yang ngambil,” jawab ibu saya dari balik telepon. Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata mengalir di pipi.
Sambil terbata saya berkata, “Ibu, maafkan saya… yang ngambil uang itu saya, bu… saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf… saat nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu, saya jahat telah tega sama ibu.” Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon saya dengar ibu saya berkata: “Ya Tuhan pernyataanku aku cabut, yang ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia. Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin dan doakan saja isterimu agar cepat sembuh.” Setelah memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan memohon doa darinya.
Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata “Selamat pak, penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.” Bulu kuduk saya merinding mendengarnya, sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata. “Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter.”
Saya meninggalkan ruangan dokter itu…. dengan berbisik pada diri sendiri Ibu, I miss you so much.”
***
Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.

 25 Tahun Yang Lalu


Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin hidup bahagia.
22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu.
Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.
19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak “Horeee, Iya bias terbang”.
Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah.
Dan Kania tak jarang berteriak, “Iya sayaaang,” jika sudah terdengar suara “Prang”. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang “Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?”
18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya. “Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!” tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola.
Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. “Horee, Iya jadi pemain bola.”
17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya.
Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan “Iyaaaa”.
Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata “Coba kalau kamu tak belikan ia bola!”
15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah.
Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari pekerjaan ke luar negeri.
Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.
13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP.
Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku.
Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.
10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
“Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.” Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
“Sabar ya, Nak!” hiburku.
“Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!” pintanya padaku.
Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku.  Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.
7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya.
Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.
Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat.
Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.
4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik.
Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.
Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud.
Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.
3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya.
Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh.
Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.
2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.
Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
“Bapak, Iya Takut!” aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
“Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?”
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!”
Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati.
Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.
2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya.
Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan ‘blass” Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis.
Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
“Kania?”
“Mas Har, kau … !”
“Kau … kau bunuh anakmu sendiri, Kania!”
“Iya? Dia… dia… Iya?” serunya getir menunjuk jenazah anakku.
“Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar.”
“Tidak … tidaaak … “
Kania berlari ke arah jenazah anakku.Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya “Terima kasih Mama.” Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.
Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.
Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak, “Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.” Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya sayang?
***
Dari Sahabat

Ini Uang Halal



Kira-kira pertengahan Ramadhan, pagi hari menjelang sampai ke gerbang kampus. Sebuah papan pengumuman terpampang dipinggir sawah di pendakian setelah terminal Kampung Koto. “Tanah di jual 1024 m2″, lengkap dengan nomor telepon 0751 xx xxx. Bukannya saya ingin membeli tanah tersebut, dengan gaji dosen biasa jelas mana sanggup. Tanah tersebut pasti harga nya sangat mahal, terletak di dekat sebuah kampus terkenal, seperti kata Menteri Pendidikan beerapa waktu lalu, ketika pemberian gelar Doktor Honouris Causa pada Presiden Republik Indonesia SBY dulu. “Tapi tidak apalah coba ditanyakan saja, sambil mengingat nomor telepon yang tercantum pada papan tersebut”, guman saya sendiri sambil berlalu.
Sesampai di kampus, sepeda motor bekas cicilan saya parkir di belakang kampus. Sejenak memandang ke arah barat, pemandangan laut dari atas sungguh cantik sekali, capek di jalan terasa terhapus. Saya berdiri dan menarik telepon saku dari kantong celana, tidak terasa satu lembar uang dua puluh ribuan terjatuh secara tidak sengaja. Namun entah kenapa uang tersebut saya biarkan saja. “Biarlah sebentar, setelah menelpon yang punya tanah tersebut, uang tersebut akan saya ambil lagi”, hati saya berkata.
Setelah menghubungi yang punya tanah tadi, ternyata memang mahal sekali, jauh dari beberapa ratus ribu dari saya kira. “Nantilah pada suatu saat kalau uang saya sudah cukup tanah seperti itu dapat dibeli juga”, kata hati saya. Saya berlalu, sedikitpun tidak teringat satu lembar uang dua puluh ribuan sempat tergeletak seperti barang tidak bernyawa.
Sesampai di ruang kerja, setumpuk buku bahan kuliah sudah disiapkan. Jam 8.30 pagi tersebut saya harus masuk kelas. Memang benar, sekumpulan mahasiswa telah berkumpul di dapan kelas. Kelas pun segera di mulai.
Tidak terasa dua jam telah berlalu, kuliah pun selesai.Seperti biasa kepuasan seorang Dosen adalah setelah kuliah selesai, mahasiswa penuh dan menyimak sampai pembicaraaan usai. Badan saya terasa kehabisan asai, tenggorokan kering terasai, namun puasa belum selesai.
Sebelum kembali ke ruang kerja, saya mampir ke kantor Pak Kajur untuk melihat apa-apa. Akan tetapi sebelum sampai di sana, menjelang akhir anak tangga lantai dua, tiba-tiba batin “tercenung”, “uang”, terpana. Uang dua puluh ribuan saya, yang jatuh dari saku celana, saya tadi belum sempat saya ambil an tadi saya berlalu begitu saj. Tampa pikir panjang, saya langsung balik kanan, dan setengah berlari ke belakang gedung. Saya tidak peduli setengah mahasiswa yang berkumpul di pelataran gedung agak heran, menyapa.
Sesampai di belakang kantor jurusan teknik mesin, ternyata uang dua puluh ribuan tersebut telah sirna. Tidak berbekas, sudah lebih dua jam, pasti telah banyak orang lalu lalang, baik mahasiswa, maupun Dosen sebahagian lewat di sana. Dengan hati sedikit menyesal, atas kelalaian ini keadaan ini harus juga diterima. “Yang bukan hak kita, ya memang milik kita”, kata sayai.
Dua puluh ribu bukan uang kecil untuk ukuran saya, satu lembar tersebut cukup menghidupi satu hari keluarga saya. Namun yang nama nya bukan rejeki, apa yang ditanganpun mudah sekali sirna.
Hampir satu bulan berlalu, Senin hari pertama masuk kantor, setelah satu minggu setelah Hari Raya telah molor, saya sampai kembali ke kampus ditempat yang sama di mana saya menyia-nyiakan uang dua puluh ribu saya. Hari masih pagi, suasana masih lengang dan sepi, setelah melintas di ruang labor, saya sampai di koridor. Sesaat sebelum sampai di tangga saya berpapasan dengan salah seorang mahasiswa. “Pak”, katanya. Segera saya menyalaminya, dan berkata. “Minal Aidin wal Fazin”. “Sama-sama Pak”, katanya. Saya berlalu beberapa langkah, tiba-tiba kembali mahasiswa tersebut menyapa,”Pak”, katanya. “Bapak pernah kehilangan uang.”. Sebelum selesai dia berkata saya menyahut, “duapuluh ribu”. “Ya pak,uang tersebut tergeletak di samping kendaraan Bapak” katanya kembali.
Segera dia masuk ke dalam ruangan laboratorium dan mengambil sesuatu di kantong yang tergantung dinding, dan menyerahkan satu lembar kertas kepada saya. Ternyata memang benar satu lembar uang dua puluh ribuan. Dengan tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya saya berkata, “ini uang halal” sambil mengangkat uang tersebut. Dia tertawa dan sayapun berlalu. Saya senang, atau sangat senang sekali, bukan karena uang saya kembali, akan tetapi saya sangat sengat senang bahwa mahasiswa saya, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin ternyata sangat putih, bersih pada tahun ini.
Saya pandang uang tersebut dan saya tempel dinding untuk, hanya sekedar untuk mengingat mahasiswa saya.
***
Dari Sahabat

Ya Allah, Kapan Aku memikul Koperku Sendiri




Saat itu adalah bulan Muharram tahun 1424 H. Seorang pria bernama Mamat yang bekerja di Bandara Soekarno-Hatta sedang sibuk mengangkat koper-koper penumpang. Koper bukan sembarang koper. Semua koper yang baru saja dibongkar dari pesawat Saudia Airlines itu memiliki kesamaan; berbentuk besar, berwarna biru tua dan bertuliskan nama pemilik, nomer kloter dan asal kota. Koper-koper tersebut adalah milik jemaah haji yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada tahun itu.
Setiap kali mengangkat satu koper, Mamat selalu membaca basmalah dan shalawat kepada Rasulullah Saw. Sudah berpuluh koper yang ia angkat, hingga rasa itu muncul di dadanya. Pada kali selanjutnya, tatkala tangannya menggamit pegangan koper, ia sempat membaca doa kecil kepada Allah Sang Penguasa Alam di dalam hatinya,
“Ya Allah, kapan saya mengangkat koperku sendiri seperti ini…?!” Sebenarnya yang ia maksud adalah ia begitu berharap dapat berangkat haji ke Baitullah. Rupanya Allah mendengar jeritan hati Mamat. Hanya selang 4 bulan saja, Subhanallah, namanya keluar sebagai salah seorang dari 17 orang pegawai yang mendapatkan jatah naik haji tahun itu atas biaya kantor. Mamat pun amat bersyukur kepada Allah Ta’ala karenanya.Namun kebahagiaan ini tidak serta-merta membuat Mamat puas hati. Ia tahu bahwa berita ini boleh jadi akan membuat Iis, istrinya bersedih. Sebab hanya dia saja yang dapat berangkat naik haji, padahal mereka berdua selalu berdoa kepada Allah Swt agar dapat berangkat naik haji bersama-sama.Maka tatkala menyampaikan berita ini pun, Mamat amat hati-hati dalam mengemasnya.
“Semoga tidak ada bahasa yang terpeleset dan melukai hati”, itulah harapan Mamat.
“Is…. Akang minta maaf ya sama kamu…” Mamat mencoba membuka percakapan dengan meminta maaf terlebih dahulu.
“Emangnya ada apa, Kang?” sang istri bertanya. “Akang ingin beritahukan sesuatu ke kamu, tapi kamu jangan marah ya… apalagi sedih…?” sambut Mamat.
Kalimat itu membuat Iis menjadi gelisah. Ia coba tenangkan hati untuk mendengar berita gak enak ini. Mamat pun kemudian menyambung kalimatnya dengan nada hati-hati, “Is… Akang hari ini mendapat kejutan. Akang terpilih menjadi salah satu karyawan yang akan diberangkatkan haji oleh kantor…” “Alhamdulillah….!!!”
Iis berteriak kegirangan. Ia langsung melompat ke arah Mamat suaminya dan memeluknya dengan erat.
Dengan bersemangat Iis berkata, “Kirain berita sedih…! Berita bagus kayak begini kok dibawa sedih kayak begitu Kang? Iis ikut senang ngedengernya!”
“Ya… emang sebenarnya ini adalah berita gembira, cuma yang bikin Akang takut membuat kamu sedih adalah ….. karena Akang gak punya duit untuk ngeberangkatin kamu, Is!
Akang khan cuma pegawai kecil seperti kamu tahu… Kalau saja, duit itu ada, tentu Akang akan ajak kamu juga untuk berhaji ke rumah Allah!”
Iis lalu mengerti kegundahan yang berkecamuk dalam hati suaminya. Sambil tersenyum, Iis berujar, “Udah kang gak usah dipikirin, Iis rela melepas Akang naik haji. Tapi jangan lupa doain Iis ya biar cepat nyusul!” Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Mamat tentang perasaan istrinya pun tidak berlaku. Sekali lagi Mamat bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla karenanya.
Hari itu adalah jadwal Mamat untuk berangkat haji. Seperti kebiasaan orang kampungnya, maka kepergian Mamat diantar dengan adzan dan iqamat. Pembacaan shalawat dustur yang dikumandangkan oleh seorang ustadz pun membuat semua orang haru meneteskan air mata. Saat itulah, Mamat berpamitan dengan menyalami serta merangkul orang-orang yang ia kenal seraya meminta restu. Semua anggota keluarga, kerabat, tetangga, sanak famili menghadiri acara itu. Semuanya sudah bersalaman dan berangkulan dengan Mamat. Hingga saat Mamat hendak naik ke atas kendaraan, saat itulah tiba giliran Iis mencium punggung telapak tangan suaminya dan suasana haru pun tercipta.
Air mata suami-istri itu pun jatuh membasahi bumi. Saat mereka berdua berpelukan, Iis berucap, “Kang Mamat…., jangan lupa untuk doain Iis ya di Baitullah… panggil-panggil nama Iis di sana. Insya Allah, Iis dan anak-anak ikhlas ngelepas Akang. Semoga kita semua, dengan doa kang Mamat, bisa nyusul berangkat haji bareng-bareng…!” Tak kuasa Mamat menahan tangis.
Pelukan itu makin ia pererat. Ia hanya mampu mengucapkan kata ‘Amien’. Dalam hati, Mamat berucap agar Allah Swt juga berkenan mengajak istri dan anak-anaknya untuk berhaji seperti dia. Di dalam kendaraan Mamat masih sempat berdoa kepada Allah Swt untuk keluarga yang ia tinggalkan: ALLAHUMMA ANTAS SHAHIBU FIS SAFAR, WAL KHALIFATU FIL AHLI. HR. Muslim  “Ya Allah, Engkau adalah pendampingku dalam perjalanan. Engkau juga yang menggantikan aku untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan… Amien” HR. Muslim.
Usai membaca doa, ia pusatkan konsentrasinya untuk khusyuk beribadah kepada Allah Swt. 42 hari Mamat menuntaskan semua ritual ibadah haji di kota suci Mekkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah. Semuanya dijalani dengan begitu khusyuk dan nikmat. Sesampainya di tanah air pun, ia langsung mendapatkan sebuah titel baru dari masyarakat. Kini ia dikenal dengan panggilan Haji Mamat di kampungnya.
Lepas 6 bulan setelah kepulangannya dari tanah suci. Iis istrinya yang dulu sempat berucap ikhlas melepas kepergian suaminya ke tanah suci, pagi itu ia kelepasan berujar bahwa dirinya sebenarnya begitu ingin juga berangkat ke tanah suci untuk berhaji. Kalimat itu dituturkan dengan nada sedih yang mengguncang hati Mamat.
Kegundahan itu memang pernah diduga sebelumnya oleh Mamat. Namun baru kali ini kegundahan itu membuncah, dan tercetus lewat penuturan akan kerinduan untuk datang ke rumah Allah Swt dalam ritual haji. Muslim atau muslimah mana yang tidak mau untuk berhaji?
Maka demi menghibur hati Iis, Mamat pun berujar kepadanya, “Is… kamu memang berhak untuk berangkat haji seperti orang lain, tapi Akang belum cukup punya uang. Sekarang kita hanya mampu untuk berdoa kepada Allah Swt…. Dia Maha Kuasa…. Jangankan minta haji…. minta yang lebih dari itu Dia pun amat kuasa. Nanti malam kita bangun ya untuk shalat tahajud…! kata ustadz, doa pada sepertiga malam terakhir amat dikabul. Nanti kita doa sama-sama untuk minta naik haji. Insya Allah akan dikabulkan… percaya deh!”
Demikian ajakan Mamat kepada istrinya untuk melakukan shalat tahajud dan berdoa bersama nanti malam. Dan ajakan itu, disambut dengan anggukan kepala oleh Iis tanda setuju. Rupanya Mamat pulang dari kerja tidak seperti biasa. Hari itu ia tiba di rumah lewat dari pukul 20.00 WIB. Rupanya ada pekerjaan ekstra yang ia lakukan. Biasanya Mamat sudah tiba di rumah pukul 5 sore. Mungkin, ada pesawat lain yang tiba di luar jadwal, sehingga beberapa kuli panggul seperti Mamat disiagakan untuk bongkar muatan.Mamat pulang dengan badan yang letih. Usai menjalani shalat Isya, ia langsung rebahan di atas kasur dan langsung tertidur. Rasa letih membuatnya lupa untuk makan malam terlebih dahulu, atau menyapa keluarganya yang masih menunggu kedatangannya. Iis dapat memaklumi hal itu. Tidak beberapa lama kemudian, Iis pun menyusul tidur di atas ranjang bersama suaminya.
Seperti apa yang telah mereka janjikan, Iis terjaga dan bangkit dari tidur pada pukul 3 pagi. Kemudian ia tepuk-tepuk kaki suaminya. Karena terlalu letih, Mamat tak sanggup untuk bangkit dan hanya berujar, “Ah…ah…!” tanda bahwa ia tak sanggup membuka mata. Iis langsung bangkit menuju kamar mandi. Usai berwudhu, ia kembali lagi ke kamar untuk bertahajud. Sajadah telah dibentangkan dan mukena pun telah ia kenakan. Sebelum melakukan shalat, untuk kedua kalinya Iis menepuk kaki Mamat agar ia bangun dan melakukan shalat tahajud bersama-sama. Sekali lagi, Mamat hanya mengeluarkan kata, “Ahh…ahh…!” Ia terlalu lelah untuk bangkit dan menyusul istrinya untuk bertahajud. Iis pun memaklumi. Raut wajah Mamat yang letih sudah mengabarkan bahwa ia terlalu lelah bekerja hari itu. Iis pun melafalkan takbiratul ihram tanda ia memulai shalat tahajud. Begitu khusyuk shalat yang Iis dirikan, dan di atas pembaringan Mamat pun menyaksikan sosok istrinya yang bermukena sedang menjalankan shalat. Namun ia dalam kondisi antara tidur dan terjaga. Kata orang, ini adalah tidur ayam. Tidur tak mau, bangun tak kuasa. Setiap gerakan shalat yang Iis lakukan selalu ia iringi dengan tetesan air mata. Sungguh…, seolah Allah Swt hadir menyambut kedatangan Iis dalam keheningan malam itu. Hingga kedekatan dengan Sang Maha Pencipta pun dapat dirasakan oleh Iis yang menjalankan shalat tahajud. Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Sudah satu jam lebih Iis melakukan shalat dan dzikir kepada Allah Swt. Waktu telah menunjukkan pukul 4 lebih. Dan ia berkeinginan untuk bermunajat kepada Allah Swt dalam lantunan dan rangkaian doa yang ia bacakan.
“Allahumma, ya Allah… Izinkan hamba-Mu ini untuk dapat berhaji ke rumah-Mu. Mudahkan jalan hamba…. Lapangkanlah rezeki kami. Engkau Yang Maha Kuasa atas segalanya…. Berikan perkenanmu agar aku sanggup datang ke rumah-Mu untuk beribadah dan memakmurkannya… Dengarkan doaku dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu…!” Dalam kesyahduan doa yang dibaca oleh Iis kepada Tuhannya, rupanya Mamat pun sempat mengamini di dalam hati tanpa sepatah kata pun terucap. Sungguh, malam itu telah terbangun sebuah jalinan suci antara seorang hamba dengan Allah Swt dalam rangkaian doa yang penuh hikmat dan cita.Adzan Shubuh mulai terdengar di beberapa masjid dan mushalla. Untuk terakhir kali, Iis membangunkan Mamat suaminya sambil berujar, “Pak Haji… ayo bangun! Malu sama tetangga. Masa sudah haji enggak shalat Shubuh berjamaah? Ayo bangun, Kang….!” Mamat pun bangkit.
Berat sekali rasanya ia mengangkat badan. Setelah berwudhu, ia pun mengenakan pakaian yang bersih lalu berangkat menuju mushalla untuk melaksanakan shalat Shubuh. Mamat mengucapkan salam saat masuk kembali ke rumah. Iis dan anak-anak pun sudah bangun semua. Inilah rumah yang berkah. Semua sudah terjaga dan bangkit untuk menyongsong hari yang indah. Mamat kemudian meminta Iis membuatkan secangkir kopi untuknya. Kemudian dengan tasbih di tangan, ia baru saja hendak menempelkan pantatnya ke kursi sofa di ruangan depan. Namun tiba-tiba hasratnya untuk duduk, dihentikan oleh dering telfon yang berbunyi keras di pagi hari.
Mamat pun mengangkat gagang telfon. “Assalamu’alaikum….. ini dari mana dan mau bicara dengan siapa?” Mamat membuka pembicaraan. “Mat… ini teh Sulis, Iis ada nggak?” demikian suara di seberang menjawab. Mamat pun tahu bahwa orang yang menelfon ini rupanya adalah kakak iparnya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Mamat pun memanggil Iis yang saat itu sedang hendak membuatkan kopi untuknya. Mamat kembali duduk di atas kursi sofa.
Sementara Iis duduk di lantai untuk menerima telfon. Baru saja Iis mengucapkan salam kepada teh Sulis, namun setelah itu tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut Iis. Yang ada adalah deraian air mata dan kata, ‘iya Teh!’ berulang-ulang diucapkan. Pembicaraan telfon di pagi hari itu sudah lebih dari 10 menit berlangsung. Melihat istrinya terus menangis, Mamat menduga bahwa ada berita buruk yang terjadi terhadap keluarga hingga pagi-pagi begini sudah menelfon dan membuat istrinya menangis. Mamat mengira bahwa ada salah seorang familinya berpulang kepangkuan Ilahi. Gagang telfon itu kemudian diletakkan Iis.
Ia masih sesenggukan menahan tangis. Iis mencoba mengangkat wajah dan menghadap ke arah suaminya. Saat itu Mamat mencoba menyelak dengan pertanyaan, “Siapa yang meninggal, Is..?” Masih sesenggukan Iis menjawab, “Gak ada yang meninggal, Kang!”
“Lalu kenapa kamu menangis kayak begitu, emangnya berita sedih apa yang diceritain teh Sulis?” Mamat masih mengejar dengan pertanyaan yang lebih menukik. Saat itulah Iis menceritakan hal sebenarnya,
“Kang…., barusan teh Sulis bilang bahwa ia berniat berangkat haji tahun ini. Kebetulan kang Andi suaminya lagi banyak kerjaan. Kang Andi gak bisa nemenin…. Teh Sulis tadi nanya saya, kamu khan belum berhaji, mau gak saya ajak? Teh Sulis mau bayarin biaya haji saya…. tapi saya disuruh minta izin dulu ke Akang. Iis gak nyangka, Kang…. begitu cepat Allah menjawab doa yang baru saja Iis sampaikan dalam tahajud. Sekarang, pilihan mah ada di Akang. Jika Akang izinkan, saya siap. Kalau Akang enggak izinin saya juga ikhlas…!”
Iis berhenti sejenak mengatur nafasnya yang masih sesenggukan. Air mata itu masih menetes tanda haru dan syukur atas doa yang Allah Swt kabulkan. Sementara Mamat masih terdiam, terperangah dan takjub atas kemurahan Tuhan. Mamat langsung merangkul istrinya ke dalam dekapan. Mamat berujar, “Kamu boleh berangkat haji untuk beribadah dan nemenin teh Sulis. Akang ikhlas mengizinkan kamu dan merawat anak-anak di rumah. Silahkan kamu berhaji untuk melengkapi agama kamu, Is!”
Keduanya masih berpelukan erat tanda haru dan syukur atas nikmat Allah Swt yang tiada ternilai. Dalam keharuan tersebut ternyata masih tersisa sebuah penyesalan dalam dada Mamat yang kemudian terbersit di hatinya, “Coba, saya ikut bangun tahajud dan berdoa kepada Allah untuk minta haji. Mungkin bisa berangkat bareng-bareng juga kali ya….?!”
Itulah kisah sepasang suami-istri hamba Allah Swt yang dimudahkan untuk berhaji ke Baitullah. Semoga Anda dan saya dapat menerima anugerah serupa. Amien!
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. 2:185) .

 Ujian Cinta di Geger Kalong

 “Pak Herman, gimana nih, Pak?”
Pak Suherman Rosyidi, dosen Fakultas Ekonomi Unair yang tetangga saya itu menoleh kepada asal suara. Dua orang sekretaris Dekan menegurnya di pintu masuk ruang itu. Keduanya perempuan. Seorang, sebut saja Bu A sudah memiliki 3 orang anak. Dan Bu B sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak.
“Gimana apanya, Bu?” tanya Pak Herman pada mereka.
“Gimana kok Aa’ Gym menikah lagi, Pak?” keluh Bu A. “Kenapa mesti poligami?”
Pak Herman tersenyum. Kalau ada masalah-masalah seperti ini, anggota Dewan Ekonomi Syariah itu memang biasa menjadi “jujugan”. Tempat bertanya atau mengadu. Beliau kemudian menghampiri kedua ibu muda itu.
“Begini, Bu,” kata Pak Herman. “Coba jawab pertanyaan saya dengan jujur dan ikhlas, dari hati nurani ibu yang paling dalam.”
“Apa itu, Pak?” sergah Bu B.
“Tolong pilih satu di antara dua,” kata Pak Herman berteka-teki. “Kalau ibu disuruh memilih, antara: merelakan suami ibu menikah lagi atau merelakan suami ibu melacur, ibu pilih yang mana?”
Kedua wanita itu terperanjat seperti mendapatkan pertanyaan yang tak pernah didengar sekalipun selama hidupnya.
”Kok pertanyaannya seperti itu, Pak?” protes Ibu A.
“Saya tak memilih dua-duanya, Pak!” tegas Ibu B.
“Ok. Ok,” potong Pak Herman. “Jikalau pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab, pertanyaannya saya ganti.”
“Diganti gimana, Pak?”
“Saya ganti begini,” lanjut Pak Herman. “Jikalau ada seorang isteri diberikan pilihan — bukan Anda berdua, lho? — yaitu merelakan suaminya menikah lagi atau merelakan suaminya melacur, kira-kira isteri itu milih yang mana?”
Kedua ibu itu saling berpandangan. Keraguan segera merayap dalam senyap. Pak Herman sendiri dengan sabar menunggu. Dan dalam sepuluh-lima belas detik kemudian, seseorang menjawab.
“Ya, pilih suami menikah lagi, Pak?” kata Bu A sambil melirik, mengharap dukungan Bu B di sebelahnya. “Bukan begitu, Bu?”
Bu B mengangguk-angguk. “Ya, gimana lagi kalau pilihannya hanya itu.”
“Alhamdulillah,” jawab Pak Herman. “Ibu-ibu ternyata masih bersih.”
“Masih bersih gimana, Pak?” tanya keduanya hampir berbarengan.
“Ibu-ibu masih bersih,” jelas dosen itu. “Masih bisa membedakan antara yang benar dan yang bathil. Antara yang halal dan yang haram.”
***
“Saya heran sama orang Indonesia, Pak Herman!” seru Bu Icy dengan logat Amerikanya yang tak bisa dihilangkan.
“Heran gimana, Bu?” tanya Pak Herman pada temannya yang sesama dosen itu. Sudah berbilang tahun wanita itu mengajar di kampus ini sejak ia menikah dengan orang Indonesia asli.
“Mengapa mereka menolak poligami yang nyata-nyata ada dan dibolehkan di dalam Islam?” tanyanya sungguh.
Pak Herman sejenak tersentak. Bagaimanapun yang ada di hadapannya itu adalah wanita Barat. Bukan muslimat lagi. Ia penganut Kristen. “Menurut Ibu, apa yang menyebabkan mereka seperti itu?”
“Masalahnya sudah jelas, Pak Herman. Kalian, orang Indonesia, sudah terkontaminasi dengan apa yang datang dari Barat.”
“Apa itu?”
“Kapitalisme!”
“Kapitalisme?”
“Ya. Sebuah pandangan yang menganggap segala yang dipunya sebagai ‘milik’. Suami saya adalah milik saya. Bukan dan tak akan menjadi milik wanita lain. Tak logis dalam benak mereka untuk berbagi suami dengan orang lain. Itulah ruh kapitalisme, Pak.”
Pak Herman manggut-manggut. Tak dinyana, perempuan “barat” itu punya pendapat sedemikian. Ia memang telah banyak belajar tentang Islam, meski sayang belum memeluknya hingga sekarang.
“Sedangkan dalam pandangan Islam, semua yang ada ini ‘kan milik Tuhan?” lanjut wanita itu. “Sehingga, berbagi dalam Islam adalah sesuatu yang common-sense.” Pak Herman kemudian bertanya, “Lantas menurut Ibu, apa masalahnya dengan penolakan poligami?”
“Masalahnya, Pak, ketika pintu poligami ditutup,” kata wanita asing itu, “maka pintu pelacuran akan terbuka lebar-lebar.”
***
Itulah pengantar perbincangan seputar poligami oleh Ust. Suherman Rosyidi – kami memanggil beliau Pak Herman — di Masjid Rungkut Jaya Ahad pagi ini. Agaknya fenomena heboh Aa’ Gym yang menikah lagi itu turut menghangatkan beranda masjid ini setelah diguyur hujan semalam.
“Kalau saya baca press release Aa’ Gym awal Desember lalu,” kata saya turut menanggapi, “sebenarnya ada 4 calon yang diajukan Aa’ Gym sebagai isteri kedua. Satu, gadis. Kedua, janda tanpa anak. Ketiga, janda dengan cukup banyak anak. Dan keempat, nenek-nenek gampang masuk angin.”
Hadirin tersenyum. Saya berusaha menahan diri.
“Aa’ Gym sebenarnya sudah memilih yang ketiga, janda dengan cukup banyak anak,” kata saya melanjutkan. “Hanya saja, ia mantan model. Sebagaimana banyak laki-laki yang poligami, biasanya isteri keduanya adalah seorang gadis, lebih muda dan cantik ketimbang isteri pertama. Coba jika seandainya Aa’ Gym memilih calon yang keempat, pasti tidak akan terjadi kehebohan seperti ini, Pak!”
Gerr. Dan Ust. Herman pun tersenyum. “Tetapi, apa salahnya Aa’ Gym memilih janda dengan sekian anak?” tanyanya kepada hadirin seakan ingin mendapat jawaban. “Apa salahnya jika janda itu mantan model? Apa salahnya juga jika seandainya dia memilih seorang gadis sebagai isteri kedua?”
“Bukankah Rasul setelah Khadijah meninggal mengambil Saudah, seorang janda yang sudah sangat tua umurnya, menjadi isteri keduanya, Pak?” sergah saya.
“Apakah serta-merta kita harus mencontohnya demikian pula?” jawab Pak Herman.
“Juga apakah kita harus menunggu isteri pertama kita meninggal sebelum menikah lagi, sebagaimana Rasul baru menikah lagi setelah Khadijah meninggal?”
Saya termangu. Jamaah yang lain pun tepekur di tempat duduknya masing-masing.
“Tentu tidak,” lanjut Pak Herman. “Abu Bakar, Umar, Usman dan para sahabat yang lain tidak menunggu isteri pertama mereka meninggal dulu untuk melakukan poligami.”
***
“Fenomena Aa’ Gym ini persis seperti peristiwa penyembelihan Ismail as oleh Nabi Ibrahim as,” simpul Pak Edy sambil menyelonjorkan kaki di beranda masjid. Ceramah shubuh oleh Pak Herman baru saja usai.
“Fenomena apa itu, Pak?” tanya saya.
“Ujian cinta!” katanya penuh misteri.
“Ujian cinta bagaimana?”
“Ya. Nabi Ibrahim diuji oleh Allah, mana yang lebih dicinta: Ismail, anak yang kelahirannya didambanya berpuluh tahun ataukah Allah SWT?”
Saya dan beberapa jamaah yang masih bertahan di beranda manggut-manggut.
“Demikian juga dengan poligami Aa’ Gym,” katanya melanjutkan. “Jika jamaah Aa’ Gym begitu saja meninggalkan pengajian MQ ketika tahu Aa’ menikah lagi, itu berarti mereka selama ini datang mendengarkan taushiyah hanya karena Aa’ Gym. Cinta mereka sebatas hanya kepada Aa’ Gym. Tak lebih. Cinta mereka bukan kecintaan yang tulus kepada Allah.”
“Betul juga, sampean. Lantas apa hubungannya dengan Nabi Ibrahim dan Ismail?” “Peristiwa poligami Aa’ Gym ini seperti penyembelihan Ibrahim atas Ismail, yakni pemisahan antara yang benar-benar cinta kepada Allah dan yang sekadar cinta kepada manusia. Entah cinta kepada seorang anak. Ataukah cinta kepada seorang pendakwah.”
Saya setuju dengan tetangga saya itu. Saya juga sependapat dengan Ibu Sirikit Syah sebagaimana tulisannya di Jawa Pos 13 Desember 2006 yang lalu. Barangkali dengan peristiwa ini Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa Aa’ Gym bukanlah ‘dewa’. Justru karenanya Ia telah menyelamatkan kita dari “cinta yang salah”. Dan di sisi lain, kita akan tersadarkan bahwa dai kondang itu ternyata manusia biasa seperti kita.
***
Dari Sahabat
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ibnu 'Arabi, Kaya Tanpa Terjebak Nafsu Keduniawian


































 Ibnu ‘Arabi yang dikenal dengan sebutan Syekh al-Akbar, tiba di Tunisia. Ia bertemu dengan seorang nelayan yang tinggal di gubuk berdinding lumpur kering. Nelayan itu dikenal sangat dermawan. Setiap hari ia melaut. Namun, seluruh hasil tangkapannya ia sedekahkan kepada orang-orang miskin. Sedangkan untuknya sendiri, hanya sepotong kepala ikan untuk direbus sebagai lauk makan malamnya.
Nelayan itu kemudian belajar kepada Ibnu ‘Arabi. Selang beberapa waktu, nelayan itu pun menjadi seorang syekh yang juga punya murid. Suatu ketika, salah seorang muridnya meminta izin untuk mengadakan perjalanan ke Spanyol.
Sang nelayan mengijinkan dan berpesan agar menemui Ibnu ‘Arabi untuk meminta nasihat. Sudah bertahun-tahun nelayan itu merasa perkembangan jiwanya tak lagi mengalami kemajuan, ia membutuhkan nasehat Ibnu ‘Arabi.
Sesampainya di kota tempat tinggal Ibnu ‘Arabi, murid nelayan itu menanyakan tempat ia bisa bertemu Ibnu ‘Arabi. Orang-orang yang ditanya menunjuk ke puncak bukit, ke sebuah puri yang tampak seperti istana. Melihat tempat yang ditunjuk orang-orang, murid itu sangat terkejut, betapa sangat duniawinya kehidupan Ibnu ‘Arabi. Jauh dibandingkan dengan kehidupan guru tercintanya yang sangat sederhana.
Dengan enggan, ia melangkahkan kakinya ke arah puri itu. Sepanjang jalan ke puri, ia melalui ladang-ladang yang terawat baik dan jalan-jalan yang indah, lengkap dengan kumpulan domba, kambing, dan sapi. Ia menyempatkan diri bertanya kepada orang-orang di ladang, siapa pemilik semua ladang dan ternak ini.
Setiap yang ditanya menjawab, milik Ibnu ‘Arabi. Keragu-raguan membayangi pikirannya, bagaimana mungkin orang yang sangat materialis seperti itu bisa menjadi seorang sufi terkemuka. Apalagi setelah ia sampai puri itu. Tak pernah ia melihat bagunan seindah dan semegah ini, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Murid sang nelayan itu tak bisa menyembunyikan kegeramannya ketika bertemu Ibnu ‘Arabi. Ia sangat marah ketika mendengar pesan Ibnu ‘Arabi yang diamanahkan kepadanya untuk disampaikan kepada gurunya, sang nelayan. Ibnu ‘Arabi berkata, “Sampaikan kepada gurumu, dirinya masih terikat pada keduniawian.”
Sekembalinya murid itu ke kampung halamannya, ia menyampaikan pesan itu kepada gurunya. Sungguh ia tak menduga sikap gurunya. Mendengar pesan itu, gurunya mengatakan, “Ia benar! Ia sungguh tak peduli sama sekali dengan semua yang ada
padanya. Sementara aku, ketika setiap malam menyantap kepala ikan, aku masih saja berharap seandainya saja kepa ikan itu adalah seekor ikan yang utuh.”  (imam) – ilustrasi: viky)

Ibadah Sang Ratu Cinta



Jakarta – Cinta adalah bahasa yang indah. Setiap saat, selalu saja ingin bersama orang yang kita cintai; memujinya dan mengaguminya. Cinta juga bisa menjadi alasan bagi seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhannya.
Seperti cinta Rabiah al-Adawiyah kepada Allah, Tuhannya. Meski Allah telah menyediakan banyak pahala kepada hamba-Nya, ibadah Rabiah tidak untuk itu. Tidak juga karena mengharap surga atau takut neraka. Suatu saat ia berdoa, “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”
Rabiah, Sang Ratu Cinta, seorang sufi perempuan dari Bashrah, terlahir dalam keluarga yang sangat miskin, meski saat itu Bashrah sedang bergelimang kemakmuran. Saat sang ibu berjuang melahirkannya, tak seorangpun menolong, sementara ayahnya sedang berusaha mencari bantuan kepada tetangga-tetangganya. Malam sudah larut, para tetangga sudah terlelap. Ayahnya pulang tanpa hasil. Sebenarnya, ayahnya hanya ingin meminjam pelita untuk menerangi istrinya. Kelahiran Rabiah tak mengubah nasib keluarganya. Sekuat tenaga ayahnya berusaha dan memasrahkan semua kepada yang Mencipta Kehidupan.
Saat kesulitan melanda Bashrah, karena dilanda bencana kelaparan, keluarga Rabiah tetap saja menjadi sasaran kekisruhan. Seorang penjahat menculik Rabiah, kemudian dijual di pasar budak dengan harga yang murah. Seorang saudagar membeli dan memberinya pekerjaan yang berat.
Tetapi justru karena penderitaan-penderitaan itu membuatnya mendekat pada Allah. Dalam kesibukannya bekerja, ia tetap menjalankan puasa. Di malam hari, ia menghabiskan waktu dengan banyak ber-mujahadah kepada-Nya. Hingga sampai suatu tingkat, ibadahnya membawa kedekatan dengan Allah. Kedekatan kemudian berubah menjadi kerinduan yang mengantarkan kepada cinta kepada-Nya. “Aku adalah milik-Nya. Aku hidup di bawah naungan-Nya. Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepada-Nya. Aku telah mengenal-Nya, sebab aku menghayati.”
Di suatu malam yang senyap, dalam kerinduan yang sangat, ia bersujud dan berdoa, “Ya Allah, apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu. Dan apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu. Karena Engkau sendiri cukuplah bagiku.”

Pohon Kurma untuk Masa Depan
Alifmagz – detikRamadan
Jakarta – Suatu hari, Raja Persia berjalan-jalan, meninjau wilayah kekuasaannya. Di tengah Raja menjalankan kebiasaannya itu, ia melihat seorang kakek tua tengah menanam bibit pohon kurma. Ia heran dengan apa yang dilakukan kakek itu.
Pikir sang raja, “Bagaimana ia nanti akan menikmati hasil yang ditanam, sedangkan ia sendiri sudah tua renta?”
Raja pun menegur kakek itu dan bertanya, “Wahai kakek, apakah engkau bermaksud akan menuai hasil dari apa yang engkau tanam ini? Engkau tahu, pohon kurma ini tak akan berbuah setelah beberapa tahun kemudian.”
Setelah memberi hormat kepada raja yang menegurnya, kakek tua itu menjawab, “Wahai Raja yang agung, paduka tentu mengetahui bahwa orang yang hidup sebelum kita telah menanam pohon kurma yang kita tuai hasilnya sekarang ini. Dengan demikian, mengapa kita tak menanam bibit pohon kurma agar generasi kita nanti akan dapat menuai hasilnya?”
Sang raja terkejut dengan jawaban kakek tua itu, tapi ia membenarkan dan menyetujui apa yang dikatakannya. Raja pun memberinya hadiah sekantong uang. Kakek tua menerimanya dan berkata, “Wahai raja yang mulia, alangkah cepatnya benih pohon kurma yang hamba tanam ini berbuah!”
Raja Persia itu tak menyangka mendapat jawaban seperti itu dari Sang Kakek. Raja berkata, “Benar apa yang engkau katakan Kek.” Kemudian ia mengambil sekantong uang yang lain untuk diberikan lagi kepadanya.
Kakek menerimanya dan berkata, “Wahai Raja yang agung, yang paling menakjubkan adalah pohon kurma itu akan berbuah dua kali dalam satu tahun seperti halnya dua kantong uang yang paduka berikan pada hamba.” Raja itu semakin kagum dan memberi lagi sekantong uang kepadanya.
Kemudian keduanya ngobrol dengan asyik. Sang raja menanyakan mengenai pertanian, sang kakek pun menjawab seakan-akan kakek tersebut telah bertani sejak dia masih kecil. Keduanya terus-menerus ngobrol sehingga tanpa terasa matahari pun mulai terbenam. Maka sang raja pun bersiap-siap untuk pergi dan sebelumnya dia berdoa agar kakek tersebut berumur panjang dan dia dapat bertemu kembali dengannya.

Memuliakan Orang berusia Lanjut



Jakarta – Pada suatu subuh, Ali bin Abu Thalib bergegas menuju masjid untuk salat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun di tengah perjalanan, langkahnya terhambat oleh seorang lelaki tua berusia lanjut. Bapak tua itu berjalan lambat di depan Ali.
Suami Fatimah binti Rasulullah itu tak ingin mendesak dan memaksa untuk mendahului bapak tua itu. Ali menghormati karena ketuaannya. Dengan sabar, Ali mengikuti langkah demi langkah bapak tua itu di belakangnya. Sebenarnya, ada keresahan dalam hati Ali. Ia kawatir, tak sempat mengikuti shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
Tibalah iring-iringan Ali dan bapak tua itu di depan masjid. Ternyata, bapak tua itu tak memasuki masjid. Tahulah Ali bahwa bapak itu bukanlah seorang muslim, ia seorang Nasrani yang kebetulan sedang melintas. Setelah langkahnya tak terhalang, Ali bergegas memasuki masjid. Syukurlah, Ali masih sempat mengikuti raka’at terakhir.
Seusai shalat berjama’ah, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa yang terjadi wahai Rasulullah? Tidak seperti biasanya, engkau memperlambat ruku’ yang terakhir?”
Rasulullah Saw pun menjawab, “Ketika ruku’ dan membaca tasbih seperti biasa, aku hendak mengangkat kepalaku untuk berdiri. Tapi Jibril datang, ia membebani punggungku hingga lama sekali. Baru setelah beban itu diangkat, aku bisa mengangkat kepalaku dan berdiri.”
“Mengapa bisa begitu ya Rasulullah?” tanya sahabat yang lain.
“Aku sendiri tak mengetahuinya dan tak bisa menanyakan hal itu kepada Jibril,” jawab Rasulullah Saw.
Maka, datanglah Jibril kepada Rasulullah Saw dan menjelaskan apa yang terjadi. “Wahai Muhammad! Sesungguhnya tadi itu karena Ali tergesa-gesa mengejar shalat berjama’ah, tapi terhalang oleh seorang laki-laki Nasrani tua. Ali menghormatinya dan tak berani mendahului langkah orang tua itu. Ali memberi hak orang tua itu untuk berjalan lebih dulu. Maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam keadaan ruku’ hingga Ali bisa menyusul shalat berjama’ah bersamamu.”
Kemudian Rasulullah Saw mengatakan, “Itulah derajat orang yang memuliakan orang tua, meski orang tua itu seorang Nasrani.”
Sumber: Pesan Indah dari Makkah & Madinah – Ahmad Rofi’ Usmani

Ibnu haitham, Ilmuan Optik dari Basrah



 Nama lengkapnya Abu Al Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham. Dunia Barat mengenalnya dengan nama Alhazen. Ia lahir di Basrah tahun 965 M. Di kota kelahirannya itu ia sempat menjadi pegawai pemerintahan. Tetapi segera keluar karena tidak suka dengan kehidupan birokrat.
Sejak itu, mulailah perantauannya untuk belajar ilmu pengetahuan. Kota pertama yang dituju adalah Ahwaz kemudian Baghdad. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membawanya berhijrah ke Mesir. Untuk membiayai hidupnya, ia menyalin buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Belajar yang dilakukan secara otodidak membuatnya mahir dalam bidang ilmu pengetahuan, ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata telah menjadi salah satu rujukan penting dalam bidang penelitian sains di Barat. Kajiannya mengenai pengobatan mata menjadi dasar pengobatan mata modern.
Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ tercetuslah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemukan prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan bernama Tricella mengetahui hal tersebut 500 tahun kemudian.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, salah satunya adalah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Ibnu Haitham membuktikan dirinya begitu bergairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Banyak buku yang dihasilkannya dan masih menjadi rujukan hingga saat ini. Di antara buku-bukunya itu adalah Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang mengandung teori-teori ilmu matemetika dan matematika penganalisaan; Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri; Kitab Tahlil ai’masa’il al ‘Adadiyah tentang aljabar; Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat; Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak; dan Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi.
Meski menjadi orang terkenal di zamannya, namun Ibnu Haitham tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia dikenal sebagai orang yang miskin materi tapi kaya ilmu pengetahuan. (imam/ Hagi).
 
Kemuliaan Taat Kepada Ibu



Suatu saat Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabat, “Sungguh, kelak ada orang yang termasuk tabi’in terbaik yang bernama Uwais. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepadanya. Sehingga, kalau dia mau berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Dia punya sedikit bekas penyakit kusta. Oleh karena itu, perintahkan dia untuk berdoa, niscaya dia akan memintakan ampun untuk kalian.” (HR Muslim).
Bernama lengkap Uwais Al-Qarni, ia tinggal bersama ibunya di negeri Yaman. Setiap hari ia menggembalakan domba milik orang lain. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya hidup bersama ibunya. Bila ada kelebihan dari upahnya itu terkadang ia berikan kepada tetangganya yang kekurangan.
Ia termasuk orang yang taat beribadah, selalu menjalankan ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Ia punya suatu keinginan yang belum terlaksana sejak lama yaitu bertemu dengan Rasulullah Saw. Keinginan itu kian memuncak setiap kali melihat tetangganya yang baru pulang dari Madinah dan sempat bertemu Rasulullah Saw. Tetapi apa daya, ibunya sudah tua renta dan sangat lemah. Ia begitu menyayanginya sehingga tak tega meninggalkannya sendiri.
Semakin hari kerinduan bertemu Rasulullah Saw bertumpuk. Ia sangat gelisah mengingat-ingat itu. Suatu hari kerinduannya tak tertahan lagi, ia memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada ibunya. Mendengar curahan hati anaknya, ibunya terharu, ia pun diijinkan menemui Rasulullah Saw.
Namun kerinduan itu tak sempat terobati karena saat ia datang, Rasulullah Saw sedang tak berada di rumah. Ingin sekali ia menunggu, tetapi ia teringat pesan ibunya untuk segera pulang. Ia pun memilih taat ibunya dan segera berpamitan pada ‘Aisyah.
Ketika Rasulullah Saw kembali, beliau menanyakan tentang seseorang yang mencarinya. ‘Aisyah menjelaskan kedatangan Uwais. Kemudian Rasulullah Saw mengatakan Uwais yang taat pada ibunya itu penghuni langit. Rasulullah Saw meneruskan keterangan tentang Uwais kepada para sahabat. Seraya memandang Ali dan beliau mengatakan, “Suatu ketika jika kalian bertemu dengan Uwais mintalah doa dan istighfar darinya.” (imam)

Air Mata dan Cinta



Cinta membuat apa yang dicintai itu benar-benar masuk ke dalam lubuk hati. Bicara tentang lubuk hati, apalagi yang terdalam, pasti berkaitan dengan yang namanya kelembutan. Hati itu lembut sekali. Kalau sudah begini, cinta itu dekat dengan yang namanya air mata, dan akhirnya menangis. Makanya, orang yang sedang jatuh cinta, akan mudah menangis kalau mengingat sama yang dicintainya, benar bukan?
Bicara mengenai menangis ada 2 cerita jaman dulu.
Cerita pertama. Dulu, ada negeri kafir yang akan menyerang negeri Islam. Ketua kafir itu mengatur siasat. Sebelum menyerang, diselidiki dulu negeri Islam itu. Akhirnya, sang ketua mengutus seorang mata-mata ke negeri Islam tersebut. Si mata-mata menyamar menjadi orang Islam. Selanjutnya dia masuk ke negeri Islam itu. Penampilannya Islam, dengan janggut dan pernak pernik yang Islami.
Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang anak muda yang sedang menangis di pojok dinding. Penasaran dengan hal tersebut, si mata-mata tadi mendekati anak muda itu. Dia bertanya, “Kenapa kamu nangis?” Jawab anak muda tadi, “Aku menangis karena tadi aku ketinggalan shalat berjama’ah di masjid.” Kagetlah si mata-mata itu. Lalu dia balik ke negerinya dan melapor kepada sang ketua. Dia menceritakan apa yang diliatnya di negeri Islam. Lalu sang ketua berkata, “OK, kita jangan menyerang Islam dulu. Tunggu kalau saatnya sudah tepat.”
Cerita kedua. Ini kelanjutan dari cerita pertama. Beberapa tahun kemudian, kembali diutuslah si mata-mata tadi untuk mengintai negeri Islam. kemudian, si mata-mata menyamar lagi menjadi orang Islam. Kejadian berikutnya sama dengan cerita yang pertama. Dia bertemu dengan anak muda yang sedang duduk menangis. Si mata-mata mendekati anak muda tersebut dan bertanya, “Kenapa kamu nangis anak muda?” Jawab si anak muda, ” Aku menangis karena baru saja ditinggal kekasihku?” mendengar jawaban anak muda tersebut, si mata-mata kembali ke negerinya dan melapor kepada sang ketua tentang apa yang diliatnya di negeri Islam. Lalu, sang ketua berkata, “OK, saatnya kita serang mereka!”
Akhirnya, negeri kafir kemudian menyerang negeri Islam tadi, dan apa yang terjadi? Hancur-lebur dan luluh-lantaklah negeri Islam. Masya Allah.
Kenapa bisa seperti ini? Ketua kafir melihat bahwa pada cerita yang pertama, pemuda-pemuda Islam-nya sholeh-sholeh. Mereka cinta sama Allah. Sampai-sampai mereka sedih dan nangis lantaran ketinggalan shalat berjama’ah di masjid. Jadi, kalau negeri kafir menyerang saat itu, pasti orang kafir akan kalah.
Selanjutnya, setelah beberapa tahun, ada yang berubah di negeri Islam tersebut. Anak-anak mudanya sudah tidak sholeh (atau mungkin kurang sholeh). Ini bisa dilihat si mata-mata bertemu dengan anak muda Islam yang menangis karena ditinggal pacarnya. Pasti, hari-harinya akan dihabisin untuk sang kekasihnya, untuk menemani, untuk memikirkan, dan untuk yang lain. Kenapa waktunya tidak dihabiskan untuk Allah dan Islam? Ini pertanda kalau negeri Islam tadi sudah lemah. Inilah saatnya negeri kafir tersebut menyerang negeri Islam. Begitulah sobat, generasi yang pertama menangis mengeluarkan air mata karena cintanya kepada Allah. Generasi yang kedua menangis mengeluarkan air mata karena cinta kepada pacarnya.
Nah Sobat, air mata kita termasuk yang mana? Kalau kita menangis gara-gara siapa?? Semoga air mata dan tangis kita hanya karena Allah!

Ali Bin Abi Tholib dan Hukum



Bagi Anda yang merasa frustasi dengan keadaan hukum saat ini dan tingkah polah pemimpin dan penegak hukum, kisah yang terjadi belasan abad yang lalu ini menarik untuk disimak.
Alkisah pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia kehilangan baju dir’a  (baju besi) miliknya. Tidak berapa lama, ia mendapati baju besinya ada pada seorang Yahudi. Namun, ketika ditanya Ali, orang Yahudi itu bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke hadapan hakim.
Setelah mendengar duduk perkaranya, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, apakah ia mempunyai bukti-bukti yang mendukung pernyataannya. Ali pun menghadirkan dua saksi, yaitu pembantunya, Qanbar dan anaknya, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw.
Sang hakim menerima kesaksian pembantu Ali, namun menolak kesaksian Hasan, karena kesaksian seorang anak kepada ayahnya tidak dapat diterima di hadapan hukum. Ali pun berkata pada hakim Syuraih, “Tetapi apakah Anda tidak pernah mendengar Rasulullah yang menyatakan bahwa Hasan dan Husain adalah pemuda penghuni surga”.
Syuraih membenarkan pernyataan Ali itu namun tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak bisa menerima kesaksian Hasan. Karena hanya ada satu orang saksi, akhirnya hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik si Yahudi. Ali, sang Amirul Mukminin, dikalahkan dalam persidangan tersebut. Dengan besar hati, Ali menyatakan menerima keputusan hakim.
Melihat seorang pemimpin jazirah Islam dikalahkan di pengadilan padahal lawannya seorang non-muslim dan sang pemimpin menerima putusan itu, Yahudi itupun serta merta mengakui bahwa baju besi tersebut adalah benar milik Ali dan ia menyatakan bahwa sebuah agama yang menyuruh hal tersebut pastilah benar. Orang Yahudi itu pun mengucapkan kalimat syahadat dan menyatakan masuk Islam. Menyaksikan hal itu, Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepada si Yahudi disertai dengan hadiah lainnya. ( gst / vta )

Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, Penulis : Al Ustadz Zainul Arifin

Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.
Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.
Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.
Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:
“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)
Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”
Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan  makanan beliau dan keluarganya.
Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.
Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H. (Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal. 5-7)

Abu Bakar : Saya ingin Dampuni Allah


“Saya ingin diampuni Allah,” kata Abu Bakar menyambut turunnya ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan para Muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24: 22)
Ayat di atas, menjadi teguran untuk Abu Bakar. Ia memang pernah bersumpah untuk tak memberikan bantuan kepada Misthah yang selama ini kerap ditolongnya. Sebenarnya, Misthah masih termasuk keluarga Abu Bakar, yaitu putra saudara perempuan ayahnya. Namun demikian, Abu Bakar sangat marah kepadanya, karena Misthah ikut menyebarkan kabar bohong menyangkut ‘Aisyah, putrinya dan sekaligus istri Nabi Saw. Kabar yang disebarkan Misthah itu bisa menghancurkan nama baik keluarga Abu Bakar.
Mendengar kabar itu, Nabi Saw pun gundah dan bimbang. Beliau mencari-cari informasi tentang kabar tersebut. Kegundahan Nabi reda setelah turun beberapa ayat dalam Surah an-Nur (24) yang menjelaskan kebohongan berita itu. Setelah jelas status kabar itu, orang-orang mencari sumber beritanya. Tersebutlah Misthah menjadi salah satu penyebarnya. Karena itu Abu Bakar marah dan keluarlah sumpah itu.
Dalam ayat di atas, Allah menegur Abu Bakar dan semua orang yang mempunyai kelebihan agar memberi bantuan kepada orang-orang yang miskin, kaum Muhajirin (orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain) dan kepada siapa saja memerlukan uluran tangan. Janganlah mereka bersumpah untuk tidak memberi bantuan karena orang yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan atau karena ketersinggungan pribadi. Hendaknya, orang yang berkelebihan itu berhati besar dan sebaiknya mereka memaafkan dan berlapang dada.
Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar memaafkan Misthah, ia membatalkan sumpahnya, dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah, sebagaimana sediakala. (imam) ( gst / vta )
                                                 
Imam Bukhori : Keajaiban dari Bukharo

 

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.


Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Islmail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.
Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.
Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari, pent.)?” Beliau menjawab, “Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud.
Muhammad bin Abi Ha tim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah hanya untuk hadits”.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah meliahat di kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadits Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).”
Muhammad bin Abi Hatim berkata, ” Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”.
Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.
Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.
Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fikih, yaitu Abu Zaid Al Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka’bah -ed) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam tidur saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engaku mempelajari kitab Asy-Syafi’i, sementara engkau tidak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, ” Kitab Jami’ karya Muhammad bin Ismail”.
Karya Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak belau menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af’aal Al Ibaad.
Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain).”
Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”
Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

                                                                                                           
HP dan Kambing


 Bukan bermaksud sara, tapi semoga bisa diambil hikmahnya.
Janganlah bersifat mubazir, karena masih banyak disekitar kita yang tidak memiliki kesempatan atau kelebihan seperti yang kita miliki. Selalu ingat bahwa segala sesuatunya ada lah milik Sang Pencipta.

Kututup hidung ketika melewati kerumunan kambing. Baunya yang menyengat ternyata tidak mengganggu penjualnya. Dalam hati sempat juga ngedumel sich “Nih orang mau jualan kambing gak melihat-lihat tempat apa? Masak jual hewan yg bau itu di dekat kios-kios elektronik. Kenapa nggak sekalian aja jualan di dalam mall?” gerutuku dalam hati. Orang yang lalu lalang, ada yang cuek, ada yang menutup hidung, ada juga yang justeru menghampiri hewan bau itu.
Kupercepat langkah kakiku melewati tempat tersebut, mataku menatap lurus ke depan, tepat ke sebuah kios penjual HP. Memang kios itulah yang menjadi tujuanku ke tempat ini. Kuraba saku celana, masih tersimpan HP type lama yang sudah 5 tahun aku gunakan. Sebenarnya HP tersebut tidak bermasalah, masih layak untuk di gunakan, baik bertelepon maupun ber-SMS. Tetapi untuk saat ini, HP tersebut sangatlah “tidak layak” digunakan di tempat umum. Sering saat aku berangkat atau pulang kantor menggunakan KRL menyaksikan penumpang yang menggunakan HP terkini, canggih, suara polyphonic, ada radio, MP3 bahkan kamera foto & video. Suaranya merdu sekali saat ada telepon masuk, bisa lagu klasik ataupun lagu pop yang sedang top dari penyanyi papan atas. Sering aku ikut melantunkan dalam hati lagu yang kebetulan aku tahu dan seakan ingin agar pemiliknya tidak segera mengangkat telepon tersebut agar aku bisa lebih lama mendengarkan lagu yang sedang di gandrungi banyak orang itu.
Memang luar biasa perkembangan teknologi saat ini, satu alat bisa mewakili berbagai macam fungsi alat-alat lainnya. Tidak perlu membawa walkman untuk mendengarkan lagu, tidak perlu bawa kamera untuk berfoto. Cukup bawa satu buah HP, semua itu sudah bisa terwakili. Bahkan saat ini ada semacam fasilitas untuk berbicara sekaligus melihat lawan bicara di seberang, kalau tidak salah 3G (mohon maaf kalau istilahnya salah, maklum belum pernah pakai)
Kadang cukup kaget juga sich saat tahu siapa saja pemilik alat-alat canggih tersebut. Dari pegawai kantoran macam aku, pengusaha, pegawai negeri, pegawai toko & mall bahkan pedagang bakso sekalipun. Sekali waktu sempat kulihat, pegawai toko VCD di Glodok saling bertukar lagu lewat fasilitas bluetooth. HP yang ada di saku celanaku, jangankan kamera, fasilitas bluetooth pun tak ada, lelucon yang sering di lontarkan kawan-kawan adalah “Mau dikirimin lagu bagus nggak? Pakai Bluetooth aja, kan HP kamu emang rada “b u t u t” pasti bisa dech……..” Dan seperti biasa aku cuma bisa nyengir sambil ikut tertawa.
Sekarang semua itu akan berubah, dengan susah payah aku kumpulkan sebagian gajiku untuk menggantikan rasa “malu” dengan “kebanggaan” bertelepon di tempat umum. Tidak sia-sia pengorbananku selama setahun ini, dengan terkumpulnya dana 3 juta untuk mengganti HP lama dengan HP baru, yang saya pikir dengan dana tersebut cukuplah membeli HP canggih.
Belum sampai di depan kios HP yang kutuju, sempat terdengar pertanyaan dari orang yang menghampiri pedagang kambing tadi.
“Bang, kambing yang itu harganya berapa bang ?”
Si pedagang menjawab ” Satu juta pak”
“Kok mahal amat sih bang?”
“Itu yang terbesar pak, sehat lagi. Sangat pantas untuk Qurban !” “Wah kalau segitu sih, mana sanggup saya beli? Berapa sih hasil dari ngasong bang!”
(“ooo ternyata orang itu adalah pedagang asongan” ujarku dalam hati)
“Kalau yang coklat itu berapa bang? Itu yang rada kecilan”
“Itu 750 ribu pak, harga pas, nggak ngambil untung besar lho pak.”
“Saya cuma ada 650 ribu bang, boleh ya………?”
“Wah pak , kalau segitu sih belum dapat, ongkos angkut ke sininya saja sudah mahal, bagaimana kalau yang putih itu saja” kata si pedagang sambil menunjuk kambing yang lebih kecil
“Yah sudahlah, dari pada besok belum tentu terbeli” katanya pasrah “ini juga dari hasil nabung 3 tahun yang lalu, bang”.
Seketika aku terkesiap, tiba-tiba rasa malu muncul dan mengalir deras dalam hati-ku rasa malu ini bahkan melebihi rasa malu saat kawan-kawan mencemooh HP butut-ku. Kuhentikan langkah kaki ini, tiba-tiba sekali aku jadi tertarik mendekati hewan yang bau itu. Bayangan HP baru perlahan-lahan hilang, berganti dengan bayangan gema Takbir saat kambing, domba dan sapi di sembelih dengan menyebut asma Allah.
“Terima kasih ya Allah, Kau telah memberikan rasa malu pada hati manusia.

Umroh



1. Latar Belakang
Prinsip utama saya sejak beranjak dewasa sampai sebelum perjalanan umroh ini adalah: “Tak ada keajaiban”. Segala sesuatu harus masuk logika, masuk akal, dan jauh dari hal-hal yang tak masuk akal. Segala sesuatu mesti ada penjelasan ilmiahnya.
Oleh karena itu pandangan saya selalu mengacu kepada konsep hukum-hukum fisika, sosial, dan hukum psikologi. Tak ada kejadian yang pernah bisa melanggar hukum alam. Setiap pohon pisang akan berbuah pisang, setiap mahluk hidup mempunyai siklus biologi sesuai spesisnya, setiap apapun didunia ini tidak ada yang bisa lepas dari hukum absolut alam semesta. Takkan pernah ada cimpedak berbuah nangka kecuali dalam sajak. Takkan pernah ada orang kebal peluru. Takkan pernah ada keajaiban, keanehan, atau anomali hukum alam.
Sebelumnya saya hanya tertawa mendengar cerita-cerita keajaiban ataupun kejadian luar biasa yang kerap terjadi pada orang yang melakukan ibadah haji atau umroh di tanah suci. Mungkin itu hanya kebetulan, atau mungkin itu hanya bohong belaka. Sehingga kajian saya mengenai telaah agama islam, selalu mengacu kepada analisa, sentesa, konseptual, dan hipotesa. Pendeknya, tak ada alat yang saya miliki untuk telaah tersebut selain metode ilmiah, sampai saya dipaksa harus menyadari instrumen lain yang sesungguhnya ada dan tak pernah saya gunakan.
2. Perjalanan I: Jkt-Jeddah
Saya berangkat dengan apa adanya menuju Jeddah. Instruksi saya kepada secretaries yang membooking perjalanan untuk mengambil paket yang paling murah, paling singkat, dan paling efisien. Boleh dikata niat saya bukan untuk ibadah, tapi untuk sebuah hipotesa.
Diperjalanan, saya bertemu dengan seorang Haji yang telah beberapa kali berhaji dan berumroh, H. Tabrani (63), mantan walikota Jakarta Timur, kelahiran Aceh.
Kamipun terlibat diskusi dipesawat. Saya katakan bahwa saya datang ke Mekkah bukan untuk cari umur panjang, rejeki, kemakmuran, kekayaan, dsb. Saya katakana saya hanya ingin mencari petunjuk, hidayah bahwa Al-Qur’an adalah memang benar datangnya dari Allah dan bukan konsepnya Muhammad. Saya ingin tahu hipotesa saya benar atau salah.
H.Tabrani berkata, ” Insya Allah you akan dapat semua itu. Namun semua akan tergantung dari cara you memandangnya, apakah fenomena itu adalah sebuah petunjuk, atau hanya sebuah kebetulan “.
2.1. Kejadian 1
Beberapa saat setelah beliau bicara, tiba-tiba mesin pesawat mati satu. Penumpang pun diharap kembali ketempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman. Penerbangan baru berlangsung 45 menit. 5 menit kemudian kedua mesin Boeing 747 disayap kiri mati. Pilot pun memberitahukan bahwa pesawat harus kembali ke Airport Soekarno Hatta.
Kemudian pesawat mengalami turbulens yang menyeramkan disertai jeritan penumpang, sementara saya melihat kejendela pembuangan bahan bakar mulai dilakukan. Ini merupakan pemandangan yang sama sekali tidak menyenangkan.
Saat itu saya mulai takut dan berfikir tentang kematian. Berkali-kali saya terbang, baru kali ini mengalami kejadian yang demikian. Apakah tempat yang saya tuju memang luar biasa? Ataukah ini hanya kebetulan saja? Dengan sisa mesin dan kekuatan yang ada, pesawat terbang miring dan mendongak, sementara yang saya lihat dibawah hanya lautan lepas. Namun akhirnya pesawat dapat mendarat di Soekarno Hatta dengan selamat, diiringi beberapa mobil pemadam yang siap siaga.
Kami semua di inapkan di Horison Hotel-Ancol. Di Hotel diskusi saya dengan Bp H. Tabrani berlanjut.
Saya tanya ; Aca:” Pak Haji, kok susah bener ya mau ke Mekkah aja?”
“Baru kali ini saya saya naik pesawat kayak begini”
H. Tabrani: ” You kurang niat kali… ini khan bukan perjalanan biasa”.
Aca: Apanya yang luar biasa. Secara teknis tetap sama”
H. Tabrani: ” Wah…you boleh pilih, melihat ini sebagai sebuah Kebetulan, atau sebuah kebesaran Allah!”
Aca: ” Tapi Pak, kenapa kalau Allah mau kasih pelajaran Semua satu pesawat terkena getahnya, padahal khan Ada penumpang lain seperti Bapak yang sudah berniat bulat umroh tetapi juga batal “.
H. Tabrani: ” Andry…you khan tahu tidak semua penduduk Indonesia bobrok mentalnya, tetapi, jika Allah mau kasih pelajaran khusus hampir seluruh rakyat Indonesia terkena dampaknya”. ” Bisa jadi karena you dengan niat hipotesa atheis itu-kita semua satu pesawat terkena akibatnya”. “Coba dech.. you pikirin! “
Akhirnya saya mulai tafakur, mencoba untuk merendahkan hati, sholat isya’-dan membaca niat untuk umroh. Saya mulai membuka-buka buku-buku petunjuk menjalankan umroh. Walau saya jarang (hampir tidak pernah) berdo’a, saya baca-baca do’a nya.
2.2. Kejadian 2
Esoknya kami berangkat dengan pesawat lain. Dan ketika itu saya melonjak kegirangan, karena saya di up-grade ke first class. Waduh, enak juga, 10 jam terbang tanpa harus berdesakan dengan fasilitas lainnya yang tidak sama dengan economi.
Tiba-tiba H. Tabrani datang, ” Wah you koq disini?
” Aca: ” Alhamdulillah saya di up-grade Pak “
H. Tabrani: ” Waduh…enak benerrrr, you udah niat umroh? “
Aca: ” Udah Pak, semalam saya tafakur, berdo’a dan membaca niat “
H. Tabrani: “Bagus kalau begitu. You sekarang melihat kan Allah bisa memberikan imbalan kenikmatan secara Langsung “
Aca: “Loh tapi Pak Haji, ini khan petugas maskapai yang Ngatur!?”
H. Tabrani: ” Bukan! ini Allah yang ngatur, melalui tangan petugas”
Aca: ” Wah ini mungkin hanya kebetulan saja Pak!” ” Nggak masuk akal kalo Cuma karena niat, saya langsung diberi kenikmatan oleh Allah “.
H. Tabrani: ” OK… khan saya sudah bilang dari kemarin, semua terserah you saja, apakah you mau melihat dengan kacamata kebetulan, atau kacamata iman!”
H. Tabrani pun mulai sewot dengan saya. Entah karena nggak di up-grade atau karena sikap saya yang dianggapnya wangkeng.
2.3. Kejadian 3
Dipesawat, saya dikenalkan oleh pramugari kepada 2 orang penumpang yang menekuni manajemen pikiran. Dian, pramugari yang sebelumnya terlibat diskusi agama dengan saya dan H. Tabrani, menyarankan agar masalah saya diungkapkan kepada mereka. Kamipun berkenalan, seorang bernama Nur Cahyo, seorang lagi bernama Kartiko (mungkin muridnya).
Saya jelaskan permasalahan utama saya. Akhirnya ia menjelaskan, ” Saudara Andry, selama ini saya tahu anda telah banyak berupaya, namun upaya itu belum optimum. Apa sebab-karena saudara hanya menggunakan sebahagian yakni bagian kiri saja dari otak saudara “.
“Karena otak, mempunyai 2 belahan, belahan kiri yang fungsinya untuk menganalisa, kalkulasi, logika, konsentrasi, hipotesa, dsb, dan belahan kanan yang berfungsi mencerna keindahan, emosi, seni (spt musik), euphoria, keimanan, dan sebagainya. Kedua belahan otak tersebut harus saudara gunakan. Wajar kalau saudara hanya mengandalkan analisa dan mendewakan sirkuit logika”.
“Ada daerah kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dianalisa dan didiskusikan. Daerah tersebut hanya dapat dicerna oleh perasaan yang kita sebut iman”. “Loh…itu khan basic prinsip Quantum Learning, saya tahu benar itu”, kilah saya. “Betul…bagus kalau anda tahu, tapi pernahkah anda terapkan dalam pencarian ini?”.
Saya mulai bingung dengan pertanyaan Kartiko. Saya tahu benar ilmu itu, karena saya sering jadi pembicara tentang metode belajar dan bekerja menggunakan keseimbangan otak kiri-kanan. Kepala saya seperti dipentung oleh senjata saya sendiri.
Kartiko melanjutkan, “Jika yang saudara cari adalah petunjuk, ia dapat berupa ilham, mimpi, atau fenomena dan kejadian-kejadian yang tak masuk akal. Saudara tak akan bisa menelaah semua itu nanti di perjalanan dengan otak kiri (analisa) saja. Hasilnya akan saudara pisah-pisah dan terlihat tidak berkaitan satu sama lain. Namun apabila saudara gunakan juga otak kanan (intuisi/rasa/iman), hasilnya akan sangat menakjubkan”.
H. Tabrani pun ikut terlibat diskusi, dan ia banyak membenarkan perkataan Kartiko. Sebelum Kartiko kembali ke kursi duduknya, saya bertanya kepadanya, “Anda kuliah dimana?”.
Kartikopun menjawab “Politeknik Mekanik Swiss”.
“Astaga, angkatan berapa?”. “Angkatan 88″, jawabnya.
Akhirnya, kami pun bertambah mesra. Saya mulai menarik hipotesa dengan kedua belahan otak saya;
  1. Apakah instrumen ini berguna (telaah menggunakan kedua belahan otak) untuk pencarian saya?
  2. Kenapa saya tak pernah menggunakannya, padahal saya tahu dan gandrung dengan ilmu itu?
  3. Apakah ia hanya seorang kenalan di pesawat, ataukah sebuah petunjuk agar saya menggunakan instrumen itu dalam perjalanan sekarang dan nanti?
  4. Apakah pertemuan kami ini hanya sebuah kebetulan?
  5. Apakah Kartiko juga seorang yang kebetulan berlatar belakang pendidikan sama dengan saya sehingga jalan berfikir kami sepertinya klop!?
Saya kembali membahas ini dengan H. Tabrani. Beliau seperti biasa sambil sewot, “Terserah you mau lihat dari kacamata kebetulan a/ kacamata kebesaran Allah!”.
Sayapun mulai tak percaya dengan diri saya. Saya mulai goyah dengan pandangan saya selama ini.
2.4. Kejadian 4
Akhirnya kami pun tiba di Jeddah, yang kemudian perjalanan disambung ke Madinah. Malam hari kita berangkat sholat Isya’ ke Masjid Nabawi. Disini Rasululloh di makamkan, jelas H. Tabrani.
“Kok kuburan di Masjid Pak Haji, nggak bener itu!”
“Wah you ini mau sholat apa nggak!”. “You khan bisa sholat karena orang yang dimakamkan disini!”.
Tanpa banyak bantah saya ikuti ajakannya sholat diluar (halaman) Masjid (karena larut, pintu masuk sudah ditutup). Saya sholat tepat disamping pintu makam Rasululloh, sedang H. Tabrani sholat 5 meter didepan saya.
Tiba-tiba, baru saja saya takbiratul ihrom, pintu disamping saya berdebum. Sayup-sayup berdebum. Seperti suara orang kerja. Tapi lebih mirip suara orang marah-marah membanting meja atau kursi.
Tiba-tiba perasaan takut saya datang. Akhirnya saya batalkan sholat saya, pindah menjauhi makam Rasululloh. Makam orang yang saya pikir pembuat Al-Qur’an. Dan saya mulai dihantui pemikiran tersebut. Sholat saya sudah nggak bisa khusuk lagi.
“Andry…kamu kenapa pindah sholatnya?”, tanya H. Tabrani.
“Nggak tahu tuh Pak, ada suara berisik dipintu, sepertinya pintu itu mau dibuka orang “, jawab saya.
“Suara berisik apa “.
“Loh Pak Haji nggak denger barusan “
“Enggak ah…, Iqbal…kamu dengar suara?” “Enggak Pak…”
Perasaan saya mulai nggak karuan. Rasa takut dicampur rasa bersalah. Saya coba analisa pakai belahan kiri, bahwa mungkin posisi saya yang tegak lurus dengan pintu menyebabkan saya bisa dengar, namun mereka karena tidak tegak lurus, mereka tak bisa mendengar. Tapi harusnya juga dengar. Mustahil tidak, karena suara itu keras koq.
Akhirnya saya ceritakan ke H. Tabrani tentang perasaan kacau saya. Saya ceritakan bahwa saya pernah menulis e-mail yang berpendapat apakah semua ini bisa-bisa nya Muhammad. Kala itu saya tetap menyangsikan kronologi turunnya wahyu. Hingga saya mensejajarkan posisi Muhammad dengan Napoleon, Karl Marx, Einstein, Aristoteles, Plato, dan pemikir besar dunia lainnya.
“Wah…kalau you udah sadar itu salah, you mesti minta maaf besok didalam Masjid, tepat disamping makamnya kalau bisa “, kilah H. Tabrani.
Esok hari, pagi-pagi sekali kami bangun, berangkat menuju Masjid Nabawi. Masjid besar dengan halaman yang juga besar. Dengan terhuyung sambil ngantuk (karena nggak biasa bangun dan sholat shubuh) saya berjalan menyusuri halaman Masjid seperti menyusuri 2 kali panjang lapangan bola. Seluruh lantainya ditutupi Pualam putih.
Setelah melewati pintu utama, saya berjalan memasuki ruang dalam Masjid area perluasan King Fadh. Saking besarnya, pandangan lepas kita tak dapat melihat ujung Masjid lainnya. Lantai, dinding dan Tiang ditutupi marmer yang di polish licin. Setiap tiang terdapat lubang AC yang dapat mengatur suhu ruangan otomatis.
Kami terus berjalan menuju Raudah (batas bangunan asli Masjid yang dibangun Muhammad) melewati area perluasan King Azis. Antara perluasan King Fadh dan King Azis terdapat Kubah yang dapat terbuka dan tertutup otomatis. Sempat terfikir oleh saya, betapa besar biaya yang diperlukan untuk ini semua.
Namun saya coba tahan pemikiran negatif itu dan menggantikannya dengan fikiran betapa besar pengaruh Muhammad sampai sekarang hingga dapat terwujud Masjid sebesar dan seagung ini.
Kamipun hampir mencapai Raudhah, namun tak bisa masuk karena penuhnya. Setelah sholat Shubuh, saya dianjurkan H. Tabrani untuk berdo’a di area Raudhah.
“Kenapa …?”, tanya saya.
“Berdoa disana Insya Allah lebih amat makbul (dijawab oleh Allah terhadap permintaan doa kita).
Sempat terbesit pertanyaan saya, apakah doa orang yang berdoa di Masjid Dago Atas tidak makbul? Namun saya mulai menahan diri terhadap pemikiran dan pertanyaan model itu.
Setelah berdoa, kamipun berdesakan keluar melalui Pintu Jibril, pintu yang melewati tepat muka makam Rasululloh. Saya ambil barisan paling kiri, barisan yang paling dekat dengan sisi makam. Kami berjalan berdesakan, perlahan, penuh sesak namun sangat tertib. Dari kejauhan saya melihat pagar makam yang didalamnya gelap tak ada cahaya. Dalam antrian perlahan saya mendekati makam. Di dalam pagar terlihat tiga makam yang ditutupi kain. Saya tak tahu yang mana Makam Rasululloh, yang mana makam Abu Bakar, dan yang mana makam Khadijah, isteri Nabi.
2.5. Kejadian 5
Disepanjang makam berdiri 4 orang tua dengan badan tinggi bersorban yang selalu menepis tangan orang yang mencoba memegang pagar dengan meratap.
“Musyrik!!!”, hardiknya.
Mereka senantiasa menjaga perilaku setiap orang yang mencoba ziarah dengan kelakuan aneh. Disini saya mulai mengerti arti Islam sebagai agama Tauhid. Agama yang ber-illah hanya dan hanya kepada Allah. Tiada kepada yang lain, tiada pula kepada para Nabinya. Nabi hanya sebagai pembawa RisalahNYA, MandatarisNYA, dan bukan tempat untuk meminta atau berdo ‘a. Nabi juga bukanlah anakNYA, karena beranak pinak adalah perilaku ciptaaNYA dan bukan salah satu sifatNYA/perilakuNYA. Musyrik atau Syirik, mensyarikatkan Allah dengan sesuatu lainnya adalah satu-satunya perbuatan dosa yang tidak pernah diampuni Allah.
Bukan maksud saya menyindir, tapi sering kali orang melakukan “HUMANISASI”. Imajinasi bentuk alien (mahluk luar angkasa) tak pernah jauh lari dari bentuk manusia, berbadan, berkepala, bertangan dan berkaki. Film-film kartun Hollywood, selalu menampilkan bentuk perilaku binatang yang bertingkah polah bagai manusia, dan berbentuk fisik yang sudah dirobah menjadi mirip manusia.
Dongeng-dongeng binatang buku cerita untuk anak kecil juga demikian. Robot sekarang dan masa datang, mengambil analogi kerja tubuh dan bentuk badan manusia.
Sampai-sampai Tuhan atau Dewa-dewa yang digambarkannya pun mirip bentuk manusia. Adapula yang menganalogikan perilaku Tuhannya seperti manusia dengan perilaku beranak pinak. Disini saya merasa mendapat petunjuk, bahwa Muhammad NabiNYA, bukan anakNYA, bukan tempat meminta.
Ketika saya tiba persis dimuka makam, seseorang dengan suara yang berat dibelakang saya berkata perlahan. Tidak keras namun tidak berbisik. Kedua tangannya memegang pundak saya dari belakang. Ia berkata dalam bahasa Arab, ” Ya Rasululloh…ini aku, aku datang kepadamu, bukan untuk meminta sesuatu yang lain.
Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu ya Habiballoh. Aku hanya mengagumimu namun aku tak pernah memujimu. Aku fikir aku telah menempatkanmu pada posisi yang tinggi, namun ternyata engkau lebih mulia dari itu. Aku tidak mencela engkau namun aku sadar aku telah melecehkan engkau. Aku minta maaf ya Rasululloh”.
Pembaca, saya dapat mengerti hampir seluruh ucapannya dalam bahasa Arab itu, namun saya belum pernah belajar Nahu sorob atau bahasa Arab! Saya jadi bingung sendiri. Saya lihat dipundak saya salah satu tangannya yang memegang pundak saya dari belakang, besar sekali dan hitam legam. Waktu saya menolah kebelakang, orang tersebut seperti dari Afrika, tinggi luar biasa, hitam legam.
Ia mengucapkannya sambil merintih menahan tangis. Rasa haru, menyesal luar biasa, dan sedikit ketakutan pun menyelimuti saya. Saya tak ucapkan kata apapun. Semua yang akan saya ucapkan telah diucapkan orang dibelakang saya dalam bahasa Arab yang saya tiba-tiba mengertinya.
Keluar pintu Jibril, saya menunduk menahan tangis dan haru, agar tak terlihat H. Tabrani dan Iqbal puteranya. H. Tabrani tahu itu. Merekapun mempercepat langkah agar tetap didepan saya. Saya coba cari orang tinggi besar hitam tadi. Mungkin karena ramai kerumunan, saya tak dapat menemukannya.
Sesampai di Hotel, kamipun mendiskusikannya. Terutama tentang dapat mengertinya saya terhadap ucapan dalam bahasa Arab.
Saya bilang: “Mungkin begini Pak, karena saya dihantui rasa bersalah,dan memang saya akan berkata minta maaf, maka persepsi saya terhadap apa yang diucapkan orang tadi adalah persepsi fikiran saya”.
H. Tabrani: “Itu mungkin. Mungkin saja. Tapi mungkin juga petunjuk, bahwa beliau (Rasululloh) tahu benar isi hati anda, dan beliau dengan akhlaknya yang mulia sudah memaafkan you tentunya”.
Aca: ” Ah masak sich Pak. Sedemikian mudah dan cepatnya saya mendapat petunjuk “
H. Tabrani: ” Temen you dan saya khan sudah berkali-kali mengatakan, semua itu terserah you saja. Apakah you mau anggap itu semua kebetulan atau sebuah petunjuk. Berkali-kali saya mengatakan-terserah you saja!”
Saya mulai tak banyak membantah. Saya benar-benar mulai berfikir, bahwa tak ada yang namanya kebetulan. Semua sudah ada aturannya, semua sudah ada sebab akibatnya. Ada sebuah “hukum sebab-akibat” yang berlaku absolut dialam semesta ini. Hukum Sebab-Akibat itu diatas hukum-hukum lainnya. Juga diatas hukum fisika, sosial, maupun psikologi yang saya anut selama ini.
Saya mulai meyakini ini sebagai Hukum Sunatulloh, dan bukan hokum psikologi. Bukan efek kebetulan karena rasa bersalah. Bukan efek kebetulan kondisional akibat suasana yang khusuk, sakral atau magic/angker. Melainkan hukum Sunatulloh kepada orang yang mencari ridhoNYA, orang yang mencari jalan yang diridhoNYA. Namun saya tak berani berfikir bahwa saya sudah berada pada jalan yang benar, dalam “The right track”. Namun yang jelas, saya mulai lebih berhati-hati dan tidak gegabah.
3. Perjalanan di Madinnah
Setelah melewati waktu Zuhur, kami melakukan City Tour, ketempat-tempat bersejarah antara lain, Masjid Kuba-Masjid pertama di Madinnah yang dibuat Rasululloh. Masjid Kiblat-Masjid dimana ditengah sholat Rasululloh mendapatkan wahyu untuk sholat menghadap Ka’bah/Mekkah, yang sebelumnya menghadap Masjidil Aqso’, sehingga sholat tersebut beliau lakukan 2 roka’at menghadap Masjidil Aqso’ dan 2 roka’at sisanya menghadap Ka’bah. Karena kasus ini orang Kafir Quraisy berkomentar Muhammad pemimpin yang plin-plan.
Dibimbing oleh Tour Guide, kami berkunjung ke Jabal Uhud, tempat di mana terjadi Perang Uhud. Terlintas dibenak saya cuplikan film “The Massage” di mana Hamzah, Panglima perang kaum Mukmin yang dibunuh dengan tombak oleh salah seorang budak suruhan Hindun, isteri Abu Sofyan, pemimpin kaum kafir Quraisy yang sangat memusuhi Nabi. Pada peperangan tersebut kaum Muslimin kalah yang disebabkan tindakan indisipliner pasukan panah.
Kami juga mengunjungi makam Fatimah, dimana dekat makam dahulunya terdapat parit besar yang dikenal sebagai Perang Khandak. Perang dimana pada saat itu kaum kafir dari berbagai bangsa dan negara memboikot dan meng-embargo kaum muslim selama kurang lebih 2 tahun, dimana sekeliling Madinnah pada saat itu dibuat Parit besar yang memisahkan/melindunginya. Disini saya melihat bahwa perjuangan Rasulloh adalah bertahan dan bukan menyerang. Konsep yang diajukan Rasululloh adalh sebuah konsep dimana penguasa kafir tidak menyukainya. Konsep tersebut hanya mendapat tanggapan dari kaum Anshor yang bertempat tinggal di Madinnah hingga Nabi harus hijrah/pindah kesana.
Saya akhirnya bertanya kepada Tour Guide, bagaimana dengan tindakan Nabi yang saya anggap ekspansi nekat yakni tindakan Nabi mengirim surat dari Madinnah kepada Mekkah, Mesir, Roma, Persia, Abesinia, dan Negos (Ethiopia).
Madinnah tidak sebesar dan sekuat Mekkah, namun tindakan Nabi mengirim surat kepada Negara-negara tersebut adalah nekat (kalau tidak mau dibilanggila). Analoginya mungkin seperti Vietnam, negara kecil yang baru berdiri, tanpa angkatan bersenjata yang jelas, mengirim pesan kepada Indonesia, Australia, Amerika, Rusia, dan European Community untuk takluk dan tunduk dibawah kekuasaanya.
“Oh tidak, ini tidak seperti demikian “, jawab Tour Guide. “Urusan Rasululloh bukan urusan kekuasaan. Konsep Rasululloh bukan konsep negara, sehingga surat yang dibuat bukan surat kekuasaan . Surat itu berisikan ajakan beragama Islam. Konsep Rasululloh adalah konsep agama, bukan konsep pemerintahan”.
“Lho, kalau bukan urusan kekuasaan, bagaimana dengan Daulat Bani Umayah, kepemimpinan Islam setelah Ali, yang ekspansi kekuasaanya dengan cepat dan pesat sampai ke Cordova, Spanyol, daratan China, dan berbagai belahan dunia lain, sehingga Islam tidak hanya bicara didalam Masjid, namun juga dipemerintahan, dimasyarakat, hingga berlaku hukum yang hanya kita dengar sekarang secara sayup-sayup ‘hukum Islam’? Bagaimana kita memberlakukan sebuah peraturan tanpa adanya kedaulatan? Bagaimana kita bicara rajam bagi yang berzinah, sementara lokalisasi pelacuran mendapat izin dari pemerintahan Pemda setempat? Bagaimana memberlakukan hukum Islam tanpa pemerintahan Islam? “, demikian saya bertanya.
Tour Guide tersebut tak dapat melanjutkan penjelasannya. Sayapun menjelaskan, “Mas Syaiful…saya mohon maaf loh, saya dalam pencarian, saya bukan sok tahu, tapi saya memang benar-benar tidak tahu, dan saya benar-benar ingin tahu, kayak apa sich konsep Rasululloh yang disampaikan pada saat itu?”.
Tour Guide: “Baiklah, anda silahkan tanya kepada orang yang lebih tahu, saya terus terang belum tahu benar untuk hal ini “.
Aca: “Terimakasih Mas…saya akan simpan pertanyaan ini”.
Beberapa orang mungkin beranggapan ini tidak penting, namun saya berfikir bahwa ini sangat penting. Dalam pencarian / perjalanan ini saya tak menemukan jawaban, namun saya yakin insya Alloh, suatu saat, dalam pencarian saya yang berikutnya, saya dapat menemukan jawabannya…Amien.
3.1. Kejadian 6
Setelah sholat Ashar, akhirnya kamipun bersiap-siap untuk ber-umroh. Pak H. Tabrani mengajarkan saya untuk memakai pakaian Ihrom. Ia menjelaskan untuk memakai pakaian Ihrom, 2 lembar kain yang dililit dipinggang, satunya lagi di bahu.
“Latihan pakai kain kafan “, demikian penjelasannya. Meskipun ia bukan Tourist Guide, namun ia begitu telaten mengajarkannya pada saya. Meskipun kadang-kadang menghardik saya, seperti waktu saya tanya kenapa koq nggak boleh pakai celana dalam. Ia hanya menjawab “Jangan didebat!!! ini daerah otak kanan! “. Untung saya sudah rada kalem sekarang karena beberapa kali mengalami peristiwa2 yang lalu, kalau tidak, mungkin sewotnya H. Tabrani berkelanjutan.
Setelah mengambil niat di Miqod, diperjalanan kami mulai membaca Talbiah: Labbaik Allohumma labbaik Labbaik Lasyarika laka labbaik Innal hamda, Wal nikmata, Laka wal mulk La syarikalak
Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanmu Tiada syarikat bagimu. Sesungguhnya segala puji, segala nikmat, dan segala kuasa Hanyalah dari engkau. Tiada syarikat bagimu. Pembacaan Talbiah baik di pesawat maupun diperjalanan/bus, sangat diliputi rasa haru yang luar biasa.
Kamipun tiba di Mekkah, kota Haram. Hotel kami cukup dekat dengan Masjidil Haram. Sementara barang-barang diurus oleh petugas travel, kami berwudhu di Hotel, kami langsung memasuki Masjidil Haram, sebuah Masjid yang paling terkenal yang mungkin paling tua didunia. Saat itu saya belum merasakan pesonanya.
Namun setelah melepas sandal dan memasuki Masjid, saya terdiam melihat benda hitam pekat persegi empat yang berada ditengah-tengah Masjid. Ka’bah ternyata berukuran lebih besar dari perkiraan saya. Saya menahan tangis didepan rombongan tapi tak kuasa. Dengkul saya lemas luar biasa. Sulit sekali menggambarkan pesonanya. Saya kurang tahu persis pada saat itu tapi saya percaya Iqbal, anak Pak H. Tabrani yang pertama kali Umroh juga terdiam tak bersuara tak bergerak. Ia juga mengalami hal yang sama.
Saya lemas dan duduk. Saya berusaha perlahan-lahan bergerak mendekat, namun semakin dekat, semakin tak kuasa menahan tangis. Akhirnya saya mulai meraung seperti anak kecil. Saya menangis sambil duduk tidak mengerti kenapa. Dan saya tahu persis saat itu saya tidak sedih.
Benda itu berada ditengah-tengah Masjid, besar, besar sekali. Hitam pekat sekali. Benar-benar saya tak mengira bahwa Ka’bah berukuran sebesar itu. Saya tidak pernah berfikiran bahwa di dalamnya ada Allah sedang bersemayam. Sepintas hanya sebuah batu yang disusun dan dilapis kain hitam. Namun saya melihat sedemikian banyaknya manusia mengitarinya melakukan yang disebut tawaf. Bukankah ini bukti dari hasil kerja Muhammad.
Analisa saya bermain, apakah sekian banyaknya manusia datang kesini hanya ditipu satu orang yang bernama Muhammad. Namun intuisi saya juga bermain, bahwa kegiatan ini pasti bukan baru dimulai kemarin. Kegiatan ini dilakukan pasti sejak ajaran Muhammad. Pendapat ini adalah pendapat awal saya yang kemudian di konfirmasikan beberapa hari kemudian oleh H. Tabrani bahwa kegiatan ini sudah ada bahkan sejak milata Ibrahim, bapak besar berbagai bangsa yang melahirkan agama Yahudi, Nasrani (bukan Kristen), yang kemudian juga Islam.
Saya mulai tawaf putaran pertama. Sambil air mata bercucuran (tanpa malu-malu lagi sebab kanan kiri sayapun demikian) saya dibimbing H. Tabrani membaca do’a-do’a putaran pertama. Posisi kami sangat dekat dengan Ka’bah dan senantiasa saya semakin merapat kedalam. Kami merasa seperti memasuki sebuah gravitasi luar biasa yang menarik ketengah. Seolah kami bergerak perlahan bersama tanpa menginjak bumi (seperti melayang), semakin rapat dan semakin pekat ketengah. Kita tak kuasa menentukan arah (kecuali sedikit), kita hanya dapat berserah diri mengikuti arus putaran itu. Sambil memegang buku do’a kecil, saya coba baca juga artinya. Disitu terdapat do’a permintaan umur panjang dan keturunan yang banyak serta soleh. Saya tanya ke H. Tabrani, ” Loh Pak…kok ada permintaan seperti ini ya…?. H. Tabrani menjawab, “Ya memang ada, khan saya sudah katakan boleh minta apa saja”.
Pada tawaf putaran kedua, saya kembali membaca do’a khusus untuk putaran kedua-sambil juga melihat artinya. Agak sulit memang karena banyak jama’ah Iran berbadan besar berdo’a lantang sekali. Kadang saya tak mendengar suara H. Tabrani sehingga sulit mengikuti apa yang didiktenya. Kembali saya lihat artinya, ” Loh…Pak, koq disini ada permintaan terhadap rezeki yang banyak”. H. Tabrani pun kembali menjawab, ” Ya memang boleh. Anda saja yang Cuma minta petunjuk dan nggak mau minta yang lain. Minta harta boleh…habis -kalau tidak-anda mau minta ke siapa lagi kalau bukan sama Dia “.
Pada tawaf putaran ketiga, saya kembali membaca do’a sambil membaca artinya. Terdapat dengan jelas disitu “Tijarotan Lantabur ” yang artinya “perdagangan yang jauh dari rugi”. Saya kembali bertanya dengan lebih antusias karena masalahnya erat dengan kehidupan saya yang memang bergerak di bidang ini. “Loh-loh…ini lebih aneh lagi Pak…kok boleh minta dagang agar jauh dari rugi, ini khan urusan dunia. Bagaimana kita bisa rugi-ya karena manajemen yang buruk, sedangkan bagaimana kita bisa untung? Ya dengan manajemen yang baik? “. Akhirnya H. Tabrani mulai sewot lagi, ” You khan bilang waktu dipesawat, bahwa you hanya minta petunjuk, betul ndak…?” “Betul Pak “, jawab saya. ” OK kalau begitu nggak usah do’a saja …” , tegas H. Tabrani.
Analisa dan intuisi saya jalan lagi, dan tiba-tiba saya teringat surat Al-Fatihah, ayat 4, “Iyya ka na’ budu wa iyya ka’ nastaiyn”. Kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami minta pertolongan. Saya fikir ini harus berlaku pada semua hal-segala hal  segala sesuatu-termasuk hal-hal duniawi seperti bisnis. Sehingga musyrik hukumnya jika kita meminta pertolongan dalam bidang bisnis kepada Kadin, Pemda, Katabelece Pejabat untuk menggoalkan proyek kita. Haram hukumnya meminta pertolongan kepada Bagian Purchasing untuk melakukan bisnis dengan kita.
Permintaan tolong hanyalah kepada Allah semata. Adapun, Kadin, Pemda, Pejabat, dan bag Purchasing, hanyalah perantara. Hal ini jangan dianggap sepele, karena ini yang akan menentukan strategi manajemen perusahaan kita, apakah kita akan melakukan KKN atau melakukannya dengan pendekatan lain.
Akhirnya dengan pemahaman yang seperti ini, saya kembali berdo’a dengan segala kerendahan hati. Meminta kepada yang mempunyai, memohon kepada pemilik yang sesungguhnya, meminta kepada Penguasa yang sesungguhnya, penguasa segala sesuatu, penguasa absolut. Statemen awal saya di pesawat, sekarang terbantai semua. Saya ternyata tak hanya meminta pertunjuk, tetapi saya-dengan kesadaran baru ini-juga meminta duniawi.
Demikian saya melihat Rahman rohim Allah. Jika kita meminta dunia saja, Allah mungkin saja berikan, dan mungkin juga tidak. Namun jika kita meminta keridhoan akhirat-insya Allah kita juga akan mendapat dunia. Persis lagu Bimbo yang dinyanyikan Sam. Persis juga sama dengan do’a-do’a di akhir tawaf yakni fiddunia hasanah-wa fil akhiroti khasanah. Saya pun kembali berdo’a dengan lebih khusuk, dengan kesadaran baru-tanpa banyak pertanyaan lagi.
3.2. Kejadian 7
Usai tawaf, kami menuju sumur zam-zam yang terletak didalam areal masjidil Haram bagian bawah. Disini saya kembali tercengang. Sebuah mata air yang hampir tak mungkin ada di daerah ini. Mekkah dapat anda lihat sebagai pegunungan batu. Masjidil Haram berada di tengah-tengah seperti lembah, sekelilingnya dapat anda temukan hanyalah bukit batu yang sangat sulit dihancurkan. Ini pula yang menyebabkan pembangunan konstruksi di kota Mekkah sangat lamban. Jangankan tumbuhan subur, kurma pun malas tumbuh disini. Ironisnya, terdapat air sumur zam-zam yang debitnya luar biasa besar yang dipompa dengan pipa-pipa sampai ke Madinah, Jeddah, Yaman, dan daerah lainnya selain untuk keperluan orang ber Hajji. Berjuta-juta orang datang setiap harinya, namun sumur ini tak pernah ada keringnya. Analisa dan rasa saya mulai jalan. Andaikan memang ada sungai bawah tanah yang mengalir dibawah Mekkah, akankah bertahan sedemikian lamanya? Perhitungannya bukan 1400 tahun yang lalu, melainkan perhitungan dari Ibrahim. Entah berapa ribu tahun. Karena sungai bawah tanah dapat berubah alirannya hanya dalam kurun waktu puluhan tahun saja. Namun sumur zam-zam ini tak pernah kering dan senantiasa menyediakan air yang dibutuhkan Jamaah yang datang ke sini. Seolah olah ia ada memang untuk kebutuhan ibadah ini. Saat itu tak ada lagi dibenak saya teori kebetulan yang dahulu.
Pada saat Sya’i, rukun Umroh berikutnya, saya melihat manusia banyak yang berjalan, sebahagian berlari, antara dua bukit batu, Syofa’ dan Marwah. Dipisahkan oleh pembatas tengah, kami mulai melintasi area Sya’i. Sesekali saya melihat wajah cantik wanita Turki dengan hidung mancung kulit putih bulu mata boros (Saat tawaf maupun Sya’i dilarang menutup cadar muka-namun ada sebahagian mazhab na, namun saya mengira pasti luar biasa untuk ukuran orang Melayu. Agak lama baru saya sadar bahwa saya mulai kurang khusyuk karena melakukan “olah raga leher”.
Akhirnya saya bertanya kepada H. Tabrani, ” Pak…koq pakai lari-lari segala sich? “. “Begini “- jawabnya perlahan, “Dulu sewaktu Siti Khajar, isteri Nabi Ibrohim, ia berjalan sambil berlari-lari kecil mencari air antara bukit Syofa’ dan bukit Marwah, sementara anaknya Ismail ditinggal sejarak tertentu dari Ka’bah. Air yang dilihatnya ternyata hanyalah fatamorgana. Sedangkan air yang sesungguhnya justru keluar didekat kaki Ismail.
Dari sini saya pun semakin yakin dan menarik kesimpulan, bahwa Ka’bah bukan dibangun oleh Muhammad, melainkan Nabi Ibrohim, pendahulu untuk Musa, Isya, dan Muhammad, yang melahirkan 3 agama besar, Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Seusai Sya’i kami pun menggunting rambut, pertanda selesainya ibadah Umroh kita. Semoga Makbul.
Sesampai di Hotel, kelelahan kami luar biasa. Kaki saya kering pecah-pecah. Saya belum pernah merasakan pegal-pegal seperti sekarang ini. Saya fikir, bagaimana dengan kaum wanita atau Ibu-ibu. Pasti lebih capek. Tapi kelihatannya sama aja tuch.
Salah seorang jamaah haji wanita bercerita tentang anak temannya yang sekarang tinggal di Hotel Hilton Mekkah yang tak dapat menyelesaikan tawafnya karena mencret (penyakit yang lebih cepat dari pada jet). Kotoran alias tokai nya sedemikian banyaknya sehingga ia pun kewalahan. Wueeek…sangat menjijikkan kata jamaah yang lain menambahkan. Kepala rombongannya pun membawanya pulang kembali ke Hotel. Kami tak tahu bagaiman ia mengatasi problem mencretnya yang merembes sampai pakaian Ihrom, namun akhirnya semua tahu, bahwa ia mengenakan celana dalam pada pakaian ihromnya. Sesuatu yang dilarang dalam Umroh. Saya jadi teringat sewaktu H. Tabrani membentak saya dalam masalah tersebut. Pantas – dalam hati saya.
3.3. Kejadian 8
Tak ada yang khusus bagi saya dalam kejadian ini. Kejadian ini terjadi pada saat saya hendak mencium batu Ka’bah. Disitu terjadi antrean yang luar biasa. Didepan saya terdapat seorang wanita muda dan cantik berpakaian Turki yang hendak mencium batu Ka’bah (sisi kiri Ka’bah, bukan Hajarul Aswad). Mungkin karena pemikiran jijiknya terhadap batu yang sudah dicium oleh jutaan manusia pada hari itu, maka ia mengeluarkan tisu, mengelap, dan menggosok bagian yang hendak diciumnya. Melihat kejadian itu, Bapak mertua saya pernah menceritakan perihal yang seperti ini berkaitan dengan gelas stainless air zam-zam untuk diminum yang menempel pada setiap keran zam-zam.
Seorang Dokter, kawan Bapak mertua saya pergi Haji, merasa jijik dan mengatakannya kepada Bapak mertua saya perihal gelas stainless yang sudah diminum berjuta-juta mulut orang. Ini tidak steril katanya. Dokter itu meminum juga air zam-zam dengan perasaan jijik/geli. Keesokannya, apa yang terjadi. Mulutnya bengkak sariawan sampai ke leher. Bapak mertua saya mengingatkan akan ucapannya kemarin perihal gelas tersebut. Bapak mertua mengingatkan sang Dokter untuk meminumnya sekali lagi dengan gelas tersebut tetapi dengan perasaan yang berbeda, yakni perasaan iklas. Keesokannyapun sang Dokter sembuh dari sariawan seperti sedia kala. Wanita tersebut tetap asyik membersihkan batu Ka’bah dengan tisunya, sementara antrean sudah mulai panjang dan berdesakan. Ingin sekali saya melarangnya, namun karena nggak bisa bahasa Turki, lagian nggak lucu khan kenalan didepan Ka’bah.
Ketika ia hendak mencium batu Ka’ bah -mungkin setelah ia merasa bersih- desakan dari kerumunan orang dibelakang tak tertahankan hingga mendorong wanita itu pada saat ia menciumnya sehingga benturan hidung mancung dan batu tak dapat terelakkan. Ia pun selesai mencium batu Ka’bah dengan hidung mimisan (berdarah).
Kuwalat atau apa ini namanya ya? Hati yang kurang bersih?
Saya jadi teringat cerita Ka’bah di surat Al-Fiil dimana tentara Abrahah yang mengendarai Gajah pada masa itu dibuat tak berdaya oleh burung-burung Ababil.
Saya semakin mengerti mekanisme ghoib. Mekanisme yang tidak kasat mata. Bahkan mekanisme ini pun abstrak tak simetris. Terjadi di kasus ini namun kadang tidak di kasus itu. Semuanya parsial-kondisional, namun saya fikir standarnya sama jika kita ukur dari perasaan hati yang dalam. Mekanisme tersebut tak kan pernah dapat diukur karena sifatnya yang relatif tak pernah sama pada setiap individu. Meskipun ia bukan ada di alam fisika, namun saya yakin ia ada dan bekerja secara setimbang. Saya cenderung menyebutnya Metafisika daripada Supranatural yang lebih berbau klenik / sihir, trick sulap yang diyakini sebagai salah atu keajaiban oleh orang musyrik.
Mekanisme ghoib pada alam Metafisika inipun bekerja pada kawan saya Iqbal dimana setiap harinya, sepulang kami dari sholat, ia kehilangan sandal. Bahkan sehari dapat lebih dari sekali ia kehilangan sandal. Ia mencoba berdo’a dan bertaubat dosa apa kiranya yang telah ia buat. Namun tetap saja ia kehilangan sandal setiap harinya, hingga ia harus membawa 5 real setiap sholat guna menjaga apabila sandalnya hilang. Tahukah anda, kejadian kecil disini-dapat menimbulkan akibat besar disana. Saya ambil contoh misalnya, hilangnya sandal Iqbal, mengakibatkan ia harus membeli sandal di toko dimuka Masjid. Penjual di toko tersebut seharusnya melayani seorang calon pembeli wanita misalnya, namun karena Iqbal membeli, maka ia tidak jadi melayani wanita itu. Wanita itu pergi lebih cepat. Dalam perjalanannya pulang, ia mengalami kecelakaan mobil (mis. ditabrak mobil). Seandainya Iqbal tidak kehilangan sandal, wanita tersebut mungkin akan 10 menit lebih lama untuk jalan pulang, yang tentu saja tak mengakibatkan ia mengalami kecelakaan.
Bukan disitu saja, sang suami wanita tadi (yang katakan seorang jenderal), yang seharusnya berangkat melakukan perjalanan luar negeri guna menandatangani sebuah kesepakatan perang, membatalkan rencananya, sehingga kesepakatan serangan atau perang tadi ditangguhkan. Hilangnya sandal seorang Iqbal, dapat mengakibatkan tercegahnya sebuah rencana perang atau penyerbuan.
Ini contoh ekstreem yang memang hanya teori main-main, tetapi saya yakin bahwa semua ini ada mekanismenya dan jangan coba-coba untuk mengurainya, karena ia terlalu abstrak dan hanya tunduk patuh pada sang Maha Penguasa. Penguasa alam fisika dan non fisika.
3.4. Kejadian 9
Malam besok adalah malam terakhir saya di Mekkah, oleh karenanya saya minta kepada Tour guide untuk mengantar saya ke Goa Hira’ pagi-pagi sekali. Tak ada anggota rombongan yang mau ikut. Tidak juga H. Tabrani maupun Iqbal anaknya. ” OK, nggak apa-apa, saya tetap mau berangkat sendiri”, tegas saya kepada Tour guide. Jadi biaya travel maupun biaya Tour guide saya tanggung sendirian. Kamipun merencanakannya. Paginya seusai sholat Shubuh, saya berkemas bersiap berangkat, dengan tas ransel dan sepatu sport. Dengan menggunakan taksi, kami tiba dikaki bukit Gua Hira’. Perjalanan sampai kepuncak memakan waktu kurang lebih satu jam. Terbayang oleh saya ketika Nabi pulang pergi setiap harinya sampai ke puncak. Gua Hira’ ternyata sangat kecil. Lebih mirip dua batu yang saling bersandar daripada sebuah Gua. Ditemani Tour guide, saya sujud ditempat Nabi Muhammad duduk menyendiri 1422 tahun yang lalu.
Dalam sujud saya bicara dalam hati, “Ya Malaikat Jibril, kenapa koq Nabi Muhammad diberi wahyu, kenapa saya tidak?”. “Kenapa Nabi Muhammad dapat berjumpa denganmu, kenapa saya tidak?” Tanpa sholat dan do’a, tanpa meratap ke gua apalagi membuang sesaji (hanya sujud dan berkata dalam hati seperti diatas saja), kami pulang menuruni bukit. Saya pun membahas pertanyaan saya di dalam hati tadi kepada Tour guide. Saya juga sering menyendiri di Villa, menyendiri di kaki bukit Gn. Gede, tetapi kenapa tak pernah datang yang namanya Jibril. Saya jadi ingat cerita-cerita para sufi yang mempelajari hakekat sehingga pergi kegunung-gunung menyendiri, lepas dari hubungan sosial, serta tak mempedulikan situasi dan kondisi diri.
Apakah tindakan Nabi Muhammad pada kala itu seperti para sufi tersebut? Pertanyaan inipun saya simpan kembali tanpa tahu jawabannya. Esok hari terakhir, hari dimana saya mesti melakukan tawaf wada’, tawaf terakhir/ tawaf perpisahan dengan Ka’bah. Saya tidur cepat setelah sholat Isya”.
Subuh dini hari saya bangun, ketika saya hendak menggosok gigi, saya tiba-tiba tersadar, “Subhanalloh, tadi malam saya bermimpi bertemu Jibril”. Buru-buru saya ketok kamar H. Tabrani. Saya bangunkan ia, dan saya ceritakan mimpi saya.
“Bagaimana ceritera mimpinya?”, H. Tabrani bertanya.
“Begini Pak, sesuatu berbentuk manusia dengan peci hitam datang kepada saya. Saya bertanya siapa anda? Ia menjawab saya Jibril, kemudian ia mengajak saya untuk ikut. Saya berjalan mengikutinya, dan tiba-tiba kami tiba di sebuah Masjid.
Didalam mimpi saya Jibril berkata, “ini Masjidil Aqsa”. “Disini terdapat salah satu keajaiban yang anda cari”. H. Tabrani pernah melawat ke Masjidil Aqsa’. H. Tabrani berfikir sejenak, kemudian ia menjawab, mungkin yang dimaksud adalah “The Dome of the Rock. Sebuah batu yang berada tepat ditengah Masjid”. “Aneh memang batu itu. Ia menggantung, dan berada tepat ditengah-tengah Masjid, kami semua juga nggak ngerti kenapa begitu”. Terus bagaimana tanya H. Tabrani. Terus Jibril bilang begini Pak, “Tolong Masjid ini dipelihara”. H. Tabrani menepak kepala “Waduh…repot ini”. “Kenapa Pak?”, tanya saya.
“Masjid itu dikuasai Yahudi. You Nggak bisa keluar masuk seenaknya”.
“You sholat dibatasi disana, Cuma 5 menit “.
“Wah saya nggak bisa jelasin artinya “.
“Tapi yang jelas, saya yakin you adalah orang yang disayang Allah”.
“Subhanalloh”. Saya sudah berumur 63 thn, tapi saya belum pernah mimpi bertemu Jibril, tapi you…you…luar biasa”.
Saya juga tidak mengerti sampai sekarang arti mimpi saya, dimana saya tidur di Mekkah, bermimpi dibawa seseorang yang berkata sebagai Malaikat Jibril, yang kemudian membawa saya ke Masjidil Aqsa’ di Palestin. Saya jadi merinding.
Saya takut sendiri dengan kejadian-kejadian yang saya alami. Saya takut untuk berbuat macam-macam. Saya mengalami semua ini dalam perjalanan ke Mekkah. Kesadaran saya seperti sekarang ini amat saya syukuri, namun yang paling saya takuti, adalah deviasinya, perubahannya apabila saya tidak menjaganya. Apa yang akan terjadi nanti ditanah air.
Saya harus menghadapi dunia nyata yang penuh dengan godaan. Tidak seperti waktu di Mekkah, dimana fikiran, jiwa dan raga kita bisa khusuk serta kita jaga kebersihannya. Dari perjalanan ini, tidak semua kejadian saya ceritakan, hanya yang saya anggap penting saja, namun sebenarnya, kejadian kecil lainnya yang merujuk kepada hidayah yang tidak saya ceritakan karena terlalu panjang banyak saya alami, namun saya mempunyai beberapa kesimpulan:
  1. Allah itu benar adanya yang menciptakan segala sesuatu.
  2. Wahyu Allah turun pada setiap kurun waktu tertentu.
  3. Wahyu Allah juga turun kepada Muhammad yang diutus sebagai Rasulnya.
  4. Allah tidak punya banat/sarikat/kompetitor.
  5. Allah menurunkan Wahyunya kepada Muhammad yang kemudian dibakukan dalam bentuk kitab yang bernama Al-Qur’an.
  6. Al-Qur’an adalah statemen dari Allah yang didalamnya berisikan petunjuk bagi manusia yang ingin berserah diri kepadanya.
  7. Al-Qur’an bukan buatan Muhammad atau ideologi Muhammad.
  8. Haji dan Umroh penting adanya dan bukan bisa-bisanya Muhammad. Biaya yang demikian mahal, sebanding bahkan melebihi hasil yang kita dapat dari perjalanannya.
  9. Daging Babi, darah, Alkohol, Judi, Zinah, dan perbuatan maksiat lainnya adalah haram hukumnya. Tak perlu dianalisa secara metode ilmiah, karena justifikasinya akan selalu ditemukan manusia guna menghalalkannya, namun demikian, coba fikirkan dengan instrument rasa/intuisi dari hati yang dalam, bermanfaatkah jika dilakukan.
  10. Kita manusia adalah manusia yang paling istimewa, karena kita mempunyai 2 pilihan, berserah diri kepada kemauan Pencipta, atau berserah diri kepada kemauan kita sendiri.
  11. Ada mekanisme Ghoib yang tidak kelihatan, yang memberikan balasan positif apabila kita berbuat positif, berbalas negatif apabila kita berbuat negatif.
  12. Mekanisme Ghoib, berlaku pada orang-orang yang dicintai Allah, namun bagi yang sudah kelewatan, ia akan dibiarkan, karena Allah menegur dengan sapaan hirarki. Peringatan pertama mungkin dengan mencolek, jika ia tak mau, Allah peringati ia dengan menepak, jika ia tak juga sadar Allah peringati ia dengan menempeleng keras, namun jika ditempeleng keras ia tetap dableg dengan perbuatan negatifnya, Allah akan membiarkannya, karena hanya hari akhir setelah matinya yang akan membalasnya kekal abadi di Neraka Jahanam.
  13. Mekkah dan Madinah bukan tanah suci (seperti yang saya duga sebelumnya pada tulisan Muhammad punya bisa ), melainkan tanah Haram, daerah dimana diharamkan bagi siapa saja berbuat kerusakan, dan itupun hanya pada batas-batas tertentu yang sudah diberi patok/tanda.

Bunda Luar Biasa


Seorang anak terlahir normal, tanpa cacat sedikit pun. Proses kelahirannya berlangsung normal, tanpa operasi caesar. Tetapi proses panjang selama Sembilan bulan sebelum melahirkan itulah yang tidak normal. Bahkan, jika bukan karena kuasa Allah, takkan pernah terjadi sebuah kelahiran yang menakjubkan ini. Selain faktor Allah, tentu saja ada sang bunda yang teramat luar biasa…
Pekan pertama setelah mengetahui bahwa dirinya positif hamil, Sinta mengaku kaget bercampur haru. Perasaan yang luar biasa menghinggapi seisi hidupnya, sepanjang hari-harinya setelah itu. Betapa tidak, sekian tahun lamanya ia menunggu kehamilan, ia teramat merindui kehadiran buah hati penyejuk jiwa di rumah tangganya. Dan kenyataannya, Allah menanamkan sebentuk amanah dalam rahimnya. Sinta pun tersenyum gembira.
Namun kebahagiaan Sinta hanya berlangsung sesaat, tak lebih dari dua pekan ia menikmati hari-hari indahnya, ia jatuh sakit. Dokter yang merawatnya tak bisa mendiagnosa sakit yang diderita Sinta. Makin lama, sakitnya bertambah parah, sementara janin yang berada dalam kandungannya pun ikut berpengaruh. Satu bulan kemudian, Sinta tak kunjung sembuh, bahkan kondisinya bertambah parah. Dokter mengatakan, pasiennya belum kuat untuk hamil sehingga ada kemungkinan jalan untuk kesembuhan dengan cara menggugurkan kandungannya.
Sinta yang mendengar rencana dokter, langsung berkata “tidak”. Ia rela melakukan apa pun untuk kelahiran bayinya, meski pun harus mati. “bukankah seorang ibu yang meninggal saat melahirkan sama dengan mati syahid?” ujarnya menguatkan tekad.
Suaminya dan dokter pun sepakat menyerah dengan keputusan Sinta. Walau mereka sudah membujuknya dengan kalimat, “kalau kamu sehat, kamu bisa hamil lagi nanti dan melahirkan anak sebanyak kamu mau”. Namun Santi tak bergeming. Janin itu pun tetap bersemayam di rahimnya.
Waktu terus berjalan, memasuki bulan ketiga, Sinta mengalami penurunan stamina. Keluarga sudah menangis melihat kondisinya, tak sanggup melihat penderitaan Sinta. Tak lama kemudian, dokter menyatakan Sinta dalam keadaan kritis. Tidak ada jalan lain, janin yang sudah berusia hampir empat bulan pun harus segera dikeluarkan demi menyelamatkan sang bunda.
Dalam keadaan kritis, rupanya Sinta tahu rencana dokter dan keluarganya. Ia pun bersikeras mempertahankan bayinya. “Ia berhak hidup, biar saya saja yang mati untuknya”. Santi pun memohon kepada suaminya untuk mengabulkan keinginannya ini. “Mungkin saja ini permintaan terakhir saya Mas, biarkan saya meninggal dengan tenang setelah melahirkan nanti. Yang penting saya bisa melihatnya terlahir ke dunia,” luluhlah sang suami.
Pengguguran kandungan pun batal.
Bulan berikutnya, kesehatan Sinta tak berangsur pulih. Di bulan ke enam kehamilannya, ia drop, dan dinyatakan koma. Satu rumah dan dua mobil sudah habis terjual untuk biaya rumah sakit Sinta selama sekian bulan. Saat itu, suami dan keluarganya sudah nyaris menyerah. Dokter dan pihak rumah sakit sudah menyodorkan surat untuk ditandatangani suami Sinta, berupa surat izin untuk menggugurkan kandungan. Seluruh keluarga sudah setuju, bahkan mereka sudah ikhlas jika Allah berkehendak terbaik untuk Sinta dan bayinya.
Seorang bunda memang selalu luar biasa. Tidak ada yang mampu menandingi cintanya, dan kekuatan cinta itu yang membuatnya bertahan selama enam bulan masa kehamilannya. Maha Suci Allah yang berkenan menunjukkan kekuatan cinta sang bunda melalui Sinta, menjelang sang suami menandatangani surat izin pengguguran, Santi mengigau dalam komanya. “Jangan, jangan gugurkan bayi saya. Ia akan hidup, begitu juga saya” Kemudian ia tertidur lagi dalam komanya.
Air mata meleleh dari pelupuk mata sang suami. Ia sangat menyayangi isteri dan calon anaknya. Surat pun urung ditandatanganinya, karena jauh dari rasa iba melihat penderitaan isterinya, ia pun sangat memimpikan bisa segera menggendong buah hatinya. Boleh jadi, kekuatan cinta dari suami dan isteri ini kepada calon anaknya yang membuat Allah tersenyum.
Allah Maha Kuasa. Ia berkehendak tetap membuat hidup bayi dalam kandungan Sinta meski sang bunda dalam keadaan koma. Bahkan, setelah hampir tiga bulan, Sinta tersadar dari komanya. Hanya beberapa hari menjelang waktu melahirkan yang dijadwalkan. Ada kekuatan luar biasa yang bermain dalam episode cinta seorang Sinta. Kekuatan Allah dan kekuatan cinta sang bunda.
Bayi itu pun terlahir dengan selamat dan normal, tanpa cacat, tanpa operasi caesar. “Mungkin ini bayi termahal yang pernah dilahirkan. Terima kasih Allah, saya tak pernah membayangkan bisa melewati semua ini,” ujar Sinta menutup kisahnya.

Bersinarlah Matahariku 








“Sini, Pak! Sini..,” kuminta suamiku duduk mendekat agar kami tidak ketetesan air hujan. Petang ini, kami sedang berada di terminal kampung Rambutan. Sebuah terminal yang sudah tidak asing lagi di pendengaran kita. Terminal yang bias dibilang begitu …… kumuh!! Tapi dibalik semua itu harus diakui bahwa ratusan keluarga menggantungkan hidupnya di sana.
Kunikmati sesendok demi sesendok lontong kari dihadapanku. Kulihat suamiku pun demikian, sangat menikmati tahu campur kesukaannya.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada pemandangan unik didepanku. Si Ibu penjual tahu campur sedang tidur mengeloni anaknya, bocah laki-laki berumur lebih kurang 3 tahunan. Seringkali tetesan air hujan jatuh tepat di dahinya. Si ibu yang begitu cepat tertidur pulas, tak tahu kalau air hujan nakal itu telah mengganggu buah hatinya.
Aku langsung teringat pada Karim, putra kami. Dalam keadaan seperti itu si Ibu masih tetap dapat mendampingi putranya, sementara aku?
“Sekarang dia sedang apa ya, Pak?” tanyaku mengejutkan suamiku. “Siapa? Karim?” tebak suamiku yakin.
“Kenapa, Ibu ingat dia? Sabar, ya Bu. Dia pasti juga ingat Ibu,” hiburnya, membuatku tak bisa menahan air mata.
“Pak, Ibu kangen dia,” ujarku lirih.
Untuk pertama kalinya kutinggal anakku sendiri di Bandung, hanya ditemani pengasuhnya. Kami harus datang ke kota metropolitan ini, demi karirku. Dan suamiku rela cuti, hanya untuk mengantarku.
“Tidak baik Ibu pergi sendiri, walaupun untuk urusan kerja. Biarlah besok Bapak antar. Bapak masih punya jatah cuti, kok!” kata-kata suamiku tadi malam masih terngiang-ngiang di telingaku.  Allah…terangilah selalu hati hamba-Mu ini agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Agar keegosian hati tidak menjebak hamba.
Kembali kulihat ibu dan anak yang sekarang masih tertidur pulas. Hujan sudah mulai reda. Kami berniat segera pulang. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam.
“Sudah, Pak,”kataku pada Bapak yang menunggu kaki lima ini, mungkin suami si Ibu.
“Maaakk! Udah tuh!” teriakannya mengagetkan si Ibu.
Cepat-cepat Si Ibu bangun dan mengatakan harga dua piring dan dua gelas yang telah kami habiskan. Si kecil pun ikut terbangun. Sambil duduk dia balik memainkan air hujan yang menggenang di dekatnya. Dasar anak-anak. Sepertinya mereka tidak peduli dan bahkan tidak pernah menuntut kehidupan yang lebih baik dari yang sedang mereka jalani. Apapun yang terjadi pada mereka… bagaimana pun kondisi mereka… mereka akan selalu menikmatinya. Setelah kubayar jumlah yang disebutkan, kami pun beranjak pergi.
Setengah berlari, kami menuju tempat bus antar propinsi dan berebut dengan penumpang lainnya. Bus Patas AC ini tak menghilangkan penat yang kami rasakan. Belum lagi rasa bersalah yang memenuhi dadaku. Sengaja atau tidak aku telah memaksa suamiku meninggalkan tumpukan tugas kantornya. Juga telah menelantarkan anakku…membiarkannya semalam bersama orang lain. Tanpa suara lantunan ayat suci dan dendangan sholawatku yang biasa mengantar tidurnya.
“Maafkan Ibu, Pak,” ucapku sambil bersandar di pundak suamiku disambut dengan elusan tangannya di punggung tanganku. Selanjutnya, kubaca Al Fatihah dan kukirim khusus buat buah hatiku…sekedar mengurangi rasa bersalah ini.
Kami tiba di rumah pukul satu tepat. Karim sudah pulas…sendirian. Wajah tanpa dosanya membuat air mataku kembali deras mengalir. Maafkan Ibu, Sayang. Kucium dahi bocahku. Besok, Insya Allah tepat sebelas bulan usianya. Dan sampai hari ini aku masih tetap sibuk, bukan mengurusnya tapi mengurus pekerjaanku, mengejar karirku. Allahu robbi.
“Selamat, Mbak Fati. Saya dengar presentasi Mbak kemarin sukses!” sambut Ine, teman seruanganku membuatku terkejut.
“Maaf, Ne. Saya terlambat. Si Adek (panggilanku untuk Karim) tidurnya pulas. Baru bangun jam tujuh tadi, jadi Saya menunggunya. Maklum, kemarin kan tidak ketemu seharian. Saya kangen, eui!” kataku sambil tersenyum.
“Pak Bos sepertinya paham kok, Mbak. Barusan, rekanan kita yang di Jakarta telpon pada beliau dan mengatakan bahwa presentasi Mbak membuat mereka tertarik. Hasilnya, order dalam jumlah besar dan dalam waktu dekat!!” kata Ine berapi-api. “Pesan Direktur, begitu sampai Mbak diharap segera menghadap. Sepertinya Beliau ingin menyampaikan selamat secara langsung pada Mbak,” lanjutnya.
**
Sekarang, sudah tiga bulan sejak peristiwa itu. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku yang dinilai cukup sukses oleh tim manajemen. Kemarin, Direktur memanggilku. Aku dipromosikan untuk sebuah jabatan baru. Imbalan yang ditawarkan cukup memikat. Bahkan kalau boleh jujur, jauh lebih tinggi dari gaji suamiku. Sebuah tawaran yang sempat membuatku bimbang. Dan aku minta waktu dua hari untuk memikirkannya.
“Terima saja, Fati. Dengan gaji sebesar itu, impian kalian akan segera terwujud. Rumah.. bahkan mobil mewah!! Putramu akan menjadi anak orang kaya. Segala yang dimintanya dapat kalian penuhi dengan segera. Kalian bias pergi berlibur, bahkan ke luar negeri!! Dan yang pasti, kamu juga dapat membantu suamimu meringankan bebannya. Ayo, Fati. Kesempatan tidak datang dua kali. Ambil kesempatan ini atau kalian tetap akan seperti sekarang?” “Jangan Nurul. Uang belum tentu menjamin kebahagiaan. Bisa jadi kamu akan semakin sering menelantarkan keluargamu. Membiarkan mereka tanpa kehadiranmu. Dan putramu hanya akan terpenuhi kebutuhan materinya saja. Sementara, kasih sayang seorang Ibu yang dia butuhkan sulit kamu penuhi. Kamu mungkin hanya bisa membelikan tanpa pernah mengetahui kapan dia memakainya. Yang paling menyedihkan adalah jika kemudian dia menjadi lebih dekat dengan pengasuhnya daripada dengan ibunya.” Batinku mulai berperang. Ya Allah, Bantu hamba memutuskan yang terbaik. Berilah hamba petunjuk dan hidayah-Mu, Robbi.
Tak terasa hari ini adalah deadline dimana aku harus memberikan jawaban pada Direkturku. Pagi ini seperti biasa kami berangkat berdua. Karim melambaikan tangannya saat kami tinggal tadi. Oh, matahariku. Bersinarlah terus Sayang…Ibu ingin selalu melihat sinarmu dalam setiap helaan nafas Ibu.
“Karim, sini Nak. Ibu bacakan ceritanya. Karim mau cerita yang mana?”
“Ni….,”katanya sambil menunjuk salah satu cerita dari buku serial Anak Muslim: kisah sebuah tong sampah. Mulailah aku bercerita lengkap dengan mimik wajah yang sangat disukainya. Bahkan kadang dia menirukan caraku bercerita saat menceritakan kembali kisah tersebut ke teman bermainnya. Allah..Subhannallah. Senyumku mengembang, senyum yang tak pernah kurasakan ketika aku masih sibuk dengan pekerjaanku enam bulan yang lalu.
Memang, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sebuah keputusan yang disesalkan banyak pihak terutama di tempat aku bekerja. Namun sekaligus sangat menggembirakan keluargaku.
“Alhamdulillah, Bapak bangga pada Ibu. Saat di puncak karir, Ibu rela melepaskannya demi keluarga. Bapak memang tidak salah memilih pendamping hidup dan Ibu dari anak-anak kita. Alhamdulillah,” kata-kata suamiku masih cukup melekat dibenakku saat aku ungkapkan keputusanku, pada malam sebelum aku menghadap direkturku.
“Iya Pak. Ibu iri pada Ibu pedagang kaki lima di terminal kampung rambutan waktu itu, yang bisa terus bersama putranya. Sementara Ibu hanya bisa memberikan materi untuk Karim. Padahal kita berdua sangat paham bahwa waktu bersama orang tua adalah saat yang penting bagi perkembangan anak kita,” sahutku waktu itu.
Alhamdulillah, sekarang aku di rumah. Menunggu suamiku pulang dari kerjanya sambil menjaga butik kecil yang kurintis enam bulan lalu. Sementara Karim terlelap setelah mendengar ceritaku. Subhannallah..Alhamdulillah, Ya Allah. Kau tunjukkan pada hamba jalan ini, gumamku sambil berjalan menuju tempat tidur bocah kecilku. (Awal Maret-03)

Setiap Langkah Adalah Anugerah 



Seorang profesor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer pada tanggal 1 Desember. Di sana ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, bernama Ralph.
Ralph yang dikirim untuk menjemput sang profesor di bandara. Setelah saling memper kenalkan diri, mereka menuju ke tempat pengambilan kopor. Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal yang dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka. Kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas. Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Setiap kali, ia kembali ke sisi profesor itu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Dari mana Anda belajar melakukan hal-hal seperti itu ?” tanya sang profesor.
“Melakukan apa ?” kata Ralph.
“Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu?”
“Oh,” kata Ralph, “selama perang, saya kira.”
Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam. Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau, dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya. “Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah,” katanya. “Saya tak pernah tahu apakah langkah berikutnya merupakan pijakan yang terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki. Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini.”
Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas

Saya Bersamamu Sayang 




Seorang anak lahir setelah 11 tahun pernikahan. Mereka adalah pasangan yang saling mencintai dan anak itu adalah buah hati mereka.
Saat anak tersebut berumur dua tahun, suatu pagi si ayah melihat sebotol obat yg terbuka. Dia terlambat untuk ke kantor maka dia meminta istrinya untuk menutupnya dan menyimpannya di lemari. Istrinya, karena kesibukannya di dapur sama sekali melupakan hal tersebut.
Anak itu melihat botol itu dan dengan riang memainkannya. Karena tertarik dengan warna obat tersebut lalu si anak memakannya semua.
Obat tersebut adalah obat yang keras yg bahkan untuk orang dewasa pun hanya dalam dosis kecil saja.
Sang istri segera membawa si anak ke rumah sakit. Tapi si anak tidak tertolong. Sang istri ngeri membayangkan bagaimana dia harus menghadapi suaminya.
Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia melihat kepada istrinya dan mengucapkan 3 kata.
**
Pertanyaan :
1. Apa 3 kata itu ?
2. Apa makna cerita ini ?
Jawaban :
(1) Sang Suami hanya mengatakan “Saya bersamamu sayang
Reaksi sang suami yang sangat tidak disangka-sangka adalah sikap yang proaktif. Si anak sudah meninggal, tidak bisa dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang istri. Lagipula seandainya dia menyempatkan untuk menutup dan menyimpan botol tersebut maka hal ini tdk akan terjadi. Tidak ada yg perlu disalahkan. Si istri juga kehilangan anak semata wayangnya. Apa yang si istri perlu saat ini adalah penghiburan dari sang suami dan itulah yang diberikan suaminya sekarang.
Jika semua orang dapat melihat hidup dengan cara pandang seperti ini maka akan terdapat jauh lebih sedikit permasalahan di dunia ini.
“Perjalanan ribuan mil dimulai dengan satu langkah kecil”
Buang rasa iri hati, cemburu, dendam, egois dan ketakutanmu. Kamu akan menemukan bahwa sesungguhnya banyak hal tidak sesulit yang kau bayangkan.
(2) Moral Cerita
Cerita ini layak untuk dibaca. Kadang kita membuang waktu hanya untuk mencari kesalahan orang lain atau siapa yang salah dalam sebuah hubungan atau dalam pekerjaan atau dengan orang yang kita kenal. Hal ini akan membuat kita kehilangan kehangatan dalam hubungan antar manusia.

Penjual Kue Semprong Itu 




Semalam saya keluar dari Ranch Market jam 8.30. Hujan deras. Petugas Ranch Market setengah berlari mendorong trolly berisi barang-barang belanjaan saya. Saya juga berlari-lari kecil menjajari langkahnya menuju mobil. Saya membukakan bagasi dan petugas memindahkan barang-barang belanjaan saya. Seorang penjaja kue semprong mendekati kami. Memang setahu saya banyak penjaja kue semprong disana menjajakan barang dagangannya dengan sedikit memaksa.
Karena terlalu biasa saya tidak mengacuhkannya, apalagi di hujan deras seperti ini.
Setelah memberikan tip saya masuk mobil, namun masih saya dengar ucapan penjaja kue semprong tersebut, ‘ Bu, beli kue semprongnya untuk ongkos pulang ke Tangerang”.
Didalam mobil saya berpikir saya kasih uang saja karena penganan yang saya beli di supermarket sudah cukup banyak, bagaimana jika tidak ada yang menghabisnya. Nanti jatuhnya mubazir. Saya memang lebih suka dengan para penjaja kue seperti ini ketimbang pengemis. Pelajaran berharga yang pernah saya dapat dari mantan bos saya sembilan tahun lalu. Masih teringat ucapannya ketika itu kami berdiskusi di kantor.
“Coba kalau ada penjaja makanan atau barang dan pengemis dilampu merah mana yang kamu berikan uang?, tanyanya. Belum sampai kami menjawab, ia berkata lagi “pasti yang kamu berikan uang si pengemis itu dan penjaja makanan atau barang itu kamu acuhkan”. Secara serempak kami mengiyakan. “coba pikirkan lagi, si pengemis itu pemalas tidak bermoral, kenapa kita kasih uang, sementara si penjaja makanan ataupun barang punya harga diri, dan pastinya secara pribadi lebih baik dari si pengemis, lalu kenapa kita tidak membeli barang dagangan si penjaja makanan atau barang tersebut? Teman saya nyeletuk,” karena kita ngga butuh”. Mantan bos saya bergumam, “Ya betul karena kita tidak butuh”.
Obrolan itu begitu singkat, tapi begitu mengena di hati saya. Pak Teddy Sutiman membuka mata hati saya untuk lebih bijaksana dalam melihat suatu persoalan, bukan hanya berpikir praktis saja. Dan sejak itu saya lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan atau barang di jalanan dibandingkan para pengemis.
Penjaja jual kue semprong itu masih dengan setia menanti disisi mobil saya. Saya menghela nafas.
Bukan karena tidak rela berbagi rejeki tapi karena menyesali banyak sekali penganan yang sudah saya beli tadi. Akhirnya saya membuka kaca, ” Pak, saya tidak mau beli kue semprongnya, tapi kalau bapak saya beri uang mau tidak?”. Tidak dinyana penjaja kue semprong itu menggelengkan kepalanya dan pergi dengan cepatnya dari sisi mobil saya. Saya tersentak dan menutup kaca jendela, hujan mengguyur deras dan membanjiri sisi kaca dalam mobil saya karena berbicara dengan si penjaja kue semprong.
Beberapa detik saya kehilangan daya ingat saya, karena tidak menyangka ucapan yang keluar dari penjaja kue semprong tadi. Sembilan tahun saya telah lebih memberi perhatian kepada para penjaja makanan ataupun barang dibanding pengemis. Sesekali jika saya tidak butuh barang mereka, selalu saya ucapkan kalimat tadi, dan hampir semuanya tidak pernah menolak pemberian saya. Baru kali ini ada yang menolaknya. Baru kali ini …
Hujan mengguyur makin deras dan saya masih terpaku di mobil, terbayang ucapannya ” untuk ongkos pulang ke Tangerang..” sementara total nilai belanjaan saya tadi mungkin bisa untuk ongkos pulang Bapak penjaja kue semprong selama tiga bulan.
Tersentak saya mencari-cari bayangan penjaja kue semprong ditengah kabut dari derasnya hujan, terlihat pikulannya ada di pinggir teras sebuah toko tutup.
Hujan masih deras mengguyur kaca mobil. Mudah-mudahan hujan cepat reda supaya bapak penjaja kue semprong tadi bisa pulang tanpa kehujanan.
Penjajanya duduk dibawah dengan muka pasrah. Saya mundurkan mobil menuju kearahnya. Kembali saya buka kaca jendela sebelah kiri ditengah guyuran hujan dan menjerit,’ Pak, memang harganya berapa ?”. Ia menyebutkan sejumlah harga yang sangat murah. Akhirnya saya katakan,” ya sudah deh beli satu”. Dia membawa kue semprong pesanan saya didalam plastik. Sampai di mobil,” saya serahkan uang, dan dia bengong karena saya tidak menyerahkan uang pas. Saya tau dia pasti bingung memikirkan kembaliannya, tapi dengan cepat saya katakan, “kembaliannya ambil buat Bapak saja”. Dia bengong. “ambil saja Pak, ini rejeki Bapak, memang hak Bapak”. Dia meneguk ludah, sebelum sempat dia mengucapkan apa-apa saya langsung menutup kaca mobil dan pergi.
Tiba-tiba air mata ini mengalir deras melebihi derasnya hujan diluar sana.
Kalau Bapak itu tidak menerimanya, saya tidak tahu seberapa sakitnya hati saya, karena didalam rejeki saya ada hak mereka termasuk hak Bapak penjaja kue semprong itu. Tiap bulan memang selalu saya sisihkan buat mereka, tapi mengetahui bahwa saya telah memberikan betul-betul kepada orang yang berhak menerimanya, betul betul kepada orang yang berhati mulia, dan betul-betul kepada orang yang membutuhkannya, betul-betul membuat saya merasa hidup saya begitu bermakna dan saya sangat bersyukur atas rahmat-Nya.
Ditengah leher saya yang sakit sekali karena tercekat, saya berdoa kepada Allah agar Bapak penjaja kue semprong tersebut dan keluarganya diberikan rahmat, kemurahan rezeki dan kemudahan hidup oleh Allah. Dan saya bersyukur atas segala rahmat dan kemudahan hidup yang diberikan Allah kepada saya dan keluarga saya.

Dajjal vs Isa Ibnu Maryam 



Sebagaimana diketahui, bahwa beriman terhadap hari akhir merupakan salah satu rukun iman dalam aqidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Hari Akhir tiba dengan didahului tanda-tanda kecil dan besar. Adapun yang tergolong tanda-tanda besar adalah: Munculnya Dajjal Dan Turunnya Isa Ibnu Maryam.
Ada sebagian orang-orang (ulama lokal) seperti. Prof. Hamka, Quray Shihab, Hj. Irene (mantan biarawati) yang tidak percaya akan turunnya Isa Ibnu Maryam dan munculnya Dajjal. (lihat buku: Jangan Tunggu Nabi Isa Turun) Hal ini dikarenakan, bahwa Hadits Abi Umamah al Rahili “sanadnya lemah”, juga (oleh Hj. Irene) dikatakan cerita “Dajjal dan turunnya Isa” hanya berasal dari Bibel.
TETAPI seorang Mujaddid dan Ahli Hadits dunia, yaitu: Asy-Syaikh al-Allamah al-Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad Nasirudin Albani Rahimahullah, telah menyatakan, bahwa, Hadits-Hadits tentang munculnya Dajjal dan turunnya Isa Ibnu Maryam “setelah di takhrij dan tahqiq” adalah SHAHIH dan MUTAWATIR (banyak yang meriwayatkan). (lihat, Nabi Isa vs Dajjal. Hal.33)
Kisah ini dikumpulkan hanya sebagian dari hadits-hadits dari sekian banyak hadits-hadits yang mengkisahkan tentang Dajjal vs Nabi Isa. Sumber: NABI ISA vs DAJJAL oleh: Ahli Hadits Syekh Albani, HURU-HARA HARI KIAMAT oleh: Ibnu Katsir
(baca dengan sabar!)
**
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Allah tidak pernah menurunkan ke bumi sejak penciptaan Adam hingga tejadi hari kiamat, sebuah fitnah yang lebih besar dari fitnah Dajal. Saya telah mengatakan suatu perkataan yang belum pernah seorangpun mengatakannya (dari nabi) sebelumku.Dia (Dajjal) itu dari golongan manusia, dengan (ciri-ciri): rambut keriting, mata kiri buta, diatas mata kanannya ada alis yang tebal, dan ia mampu menyembuhkan kebutaan, dan penyakit belang-belang,
Dajjal keluar pada saat agama mulai melemah dan ilmu pengetahuan tidak lagi di gubris. Ia akan tinggal dan berjalan dibumi selama 40 hari. Sehari bagaikan setahun, setahun bagaikan sebulan, dan sehari bagaikan satu jumat. Kemudian seluruh hari-harinya seperti harimu ini.
Ia mengajak manusia untuk mengikuti lalu diikuti, dan mengajak orang-orang lalu ia membunuh mereka. Ia menampakkan dirinya pada mereka hal seperti itu terjadi hingga ia mendatangi Madinah.
Maka nampaklah agama Allah dan diamalkan; agama Allah diikuti dan ia (Dajjal) suka akan hal itu. Kemudian ia berkata setelah itu, “sesungguhnya aku seorang nabi!” lalu bergetarlah semua yang berakal dan mereka pun pergi meninggalkannya. Lalu ia tinggal setelah itu dan berkata, “Aku adalah Allah!” maka matanya menjadi tertutup, telinganya terpotong dan tertulis diantara kedua matanya kafir, yang terbaca oleh segenap mukmin yang mampu menulis dan yang tidak mampu menulis.
Dia membawa fitnah (cobaan bagi manusia) yang besar. Dia memerintahkan langit untuk menurunkan hujannya, maka turunlah hujan itu dan disaksikan oleh orang-orang.
Ketika Dajjal muncul, seorang lelaki dari orang-orang yang beriman mencarinya, maka ia bertemu dengan sekelompok dajjal-dajjal (kecil), lalu mereka bertanya kepadanya, “Apa yang kamu cari?” Dia (lelaki itu) menjawab, “saya mencari orang yang keluar!” lalu mereka bertanya kepadanya (kembali), “Apakah kamu tidak mempercayai tuhan kami?” Dia menjawab: “Tuhan kami tidaklah samar.” Lalu mereka membawanya ke hadapan Dajjal (terbesar). Ketika orang beriman itu melihatnya, dia berkata, “Wahai sekalian mamusia, inilah dajjal yang telah disebutkan oleh Rasulullah s.a.w.
Maka Dajjal segera menyuruh merebahkan tubuh orang beriman tersebut, dan memerintahkan untuk mengupas kulit dan memukuli punggung dan perutnya. Lalu Dajjal bertanya, “Apakah engkau masih tidak mempercayai kami?” Dia menjawab, “Engkau adalah Dajjal si pendusta. Kemudian diperintahkan supaya (mukmin tersebut) digergaji dari atas kepalanya hingga kakinya menjadi dua bagian, lalu Dajjal tersebut berjalan ditengah dua bagian badan yang telah tebelah dua.
Kemudian Dajjal memerintahkan kepadanya, “Bangunlah!” maka bangunlah dan tegaklah dia. Kemudian Dajjal bertanya lagi, “Apakah kamu masih belum percaya kepadaku?” dia menjawab, “Tidak berkurang pengetahuanku tentang kamu, bahkan bertambah yakin.” Kemudian orang beriman tersebut berkata, “Wahai sekalian orang, dia (Dajjal) tidak dapat berbuat demikian lagi kepada seorangpun (membunuh kembali mukmin tersebut).
Maka dia (Dajjal) berusaha untuk membunuh kembali orang beriman tersebut. Tetapi Allah telah meletakkan diantara lehernya dan bagian belakang orang itu sebuah tembaga, hingga tidak mampu disembelih. (karenanya) kemudian dipeganglah tangan dan kaki orang (mukmin) tersebut lalu dilemparkannya. Mereka menyangka ia dilemparkan ke dalam neraka, padahal ia dilemparkan ke surga. Itulah manusia yang paling besar kesaksiannya (mati syahid) di sisi Tuhan Rabbul ‘Alamin.
Kemudian kaum muslimin lari kegunung Dukhan di Syam, lalu (Dajjal) datang kepada mereka dan mengepungnya. Kepungan itu sangat hebat dan sangat membuat mereka lelah.
Isa turun!
Ketika keadaan mereka seperti demikian keadaannya (genting), tiba-tiba terdengar suara panggilan dari sudut bukit, “Wahai sekalian manusia, aku mendatangkan untuk kalian pertolongan. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Sesungguhnya suara ini adalah suara laki-laki yang tidak pernah kelaparan.”
Ibnu Maryam akan turun kepada umatnya (umat muhammad) diwaktu antara adzan dan iqomah. Ia turun di menara putih di timur Damaskus antara dua tempat. Ia menyandarkan kedua punggungnya pada sayap-sayap dua malaikat.
Lalu turunlah (hadirlah) Isa ibnu Maryam ketika shalat shubuh, dan pemimpin (imam) mereka berkata kepadanya (Isa): “semoga Allah memberi ketenangan; silahkan (Nabi Isa) maju untuk memipin shalat!” Lalu dia (Nabi Isa) berkata: “Ummat ini adalah pemimpin (bagi) sebagian mereka kepada yang lainnya!” Lalu pemimpin (Imam) mereka maju dan memimpin shalat.
Setalah menyelesaikan shalatnya, Isa mulai berperang, dan dia pergi kearah Dajjal. Ketika ia (Dajjal) melihatnya (melihat Isa), dia (Dajjal) merasa ketakutan (kemudian meleleh) sebagaimana timah meleleh, lalu dia (Isa) meletakkan antara dua dadanya (Dajjal), lalu membunuhnya, dan dia (Isa) juga memerangi para pengikut-pengikutnya. Pada saat itu tidak ada sesuatu yang dapat melindungi salah satu diantara mereka (pengikut Dajjal), sampai pohon akan berkata kepadanya: “Wahai orang beriman, ini orang kafir (bersembunyi)!” dan batu juga berkata: Wahai orang beriman, ini orang kafir!”
Kemudian nabi Isa a.s. menetap di bumi selama 40 tahun sebagai pemimpin yang adil dan penengah yang jujur.
Sabda Nabi s.a.w.: “Tidak ada antaraku dengannya (Isa) seorang nabi, dan sesungguhnya dia akan turun. Jika kalian melihatnya maka percayailah, seorang laki-laki yang kulitnya antara merah dan putih, pertengahan antara kedua warna tersebut, seakan-akan kepalanya basah sekalipun tidak dikenai air. Maka dia memerangi manusia demi islam, dia menghancurkan salib, menbunuh babi, membebaskan pajak, dan Allah menghancurkan pada zamannya itu semua agama kecuali Islam. Dia (Allah pada zaman itu) membinasakan si pembohong (Dajjal) (sehingga akhirnya penduduk di muka bumi ini merasa aman, sampai unta hitam bersusuhan dengan unta, singa dengan sapi, serigala dengan kambing, anak kecil bermain dengan ular tapi tidak membahayakannya.) Nabi Isa a.s. menetap di bumi selama 40 tahun sebagai pemimpin yang adil dan penengah yang jujur, kemudian dia wafat, maka orang-orang beriman menshalatkannya.


Tabiat si Yahudi 



Suatu ketika Isa as pergi mengembara diatas bumi ditemani oleh seorang Yahudi. Nabi Isa membawa bekal sepotong roti dan si Yahudi membawa dua potong roti. Maka Isa as berkata kepada si Yahudi, “Bolehkah aku ikut makan rotimu?” Si Yahudi menjawab, “Tentu.”. Tatkala si Yahudi mengetahui bahwa Isa as hanya membawa sepotong roti, ia menyesal telah mengiyakannya. Maka pada saat Isa as menunaikan shalat, ia pergi dan memakan sepotong roti miliknya. Selesai shalat, kedua orang itu mengeluarkan bekal makanannya. Nabi Isa as kemudian bertanya kepada temannya, “Dimana sepotong rotimu yang lain?” Si Yahudi menjawab, “Ternyata aku hanya membawa sepotong roti saja.” Maka kedua orang itu makan rotinya masing-masing.
Kemudian kedua orang itu melanjutkan perjalanannya. Ketika mereka sampai didekat sebatang pohon, Nabi Isa as berkata kepada temannya, “Wahai kawanku, sebaiknya kita bermalam di bawah pohon ini sampai pagi menjelang.” Si Yahudi menjawab, “Baiklah.” Maka kedua orang itu bermalam dibawah pohon itu hingga pagi datang. Lalu merekapun melanjutkan perjalanan.
Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang buta. Isa berkata kepadanya, “seandainya aku mengobatimu dan Allah mengembalikan penglihatanmu kembali, apakah engkau mau bersyukut kepada-Nya?” Orang buta itu menjawab, “Tentu.” Maka Isa as mengusap kedua matanya sambil membaca doa. Orang buta itupun dapat melihat kembali. Kemudian Isa as berkata kepada si Yahudi, “Demi Zat yang telah mengembalikan penglihatannya, dimanakah rotimu yang lain?” Si Yahudi menjawab, “Demi Allah, aku tidak membawa kecuali sepotong roti.” Nabi Isa as terdiam mendengar jawabannya.
Kemudian keduanya melewati beberapa ekor kijang yang sedang merumput. Isa as menangkap seekor kijang dan menyembelihnya, “Hiduplah enkau dengan izin Allah.” Kijang itupun hidup kembali. Si Yahudi merasa takjub melihat kejadian itu dan berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah.” Lalu Isa as berkata kepadanya “Demi Zat yang telah memperlihatkan kebesaran-Nya ini, siapakah yang telah makan roti ketiga?”. Si Yahudi menjawab, “sungguh aku hanya membawa satu potong roti saja.”
Kedua orang itu melanjutkan perjalanan hingga tiba disebuah sungai besar, lalu Isa as memegang tangan si Yahudi dan membawanya berjalan di atas air hingga keseberang sungai. Si Yahudi merasa takjub dan berkata, “Mahasuci Engkau ya Allah!”. Nabi Isa bertanya kepadanya, “Demi Zat yang telah memperlihatkan tanda kebesaran-Nya ini, siapakah pemilik roti yang ketiga?” Si Yahudi menjawab, “Sungguh, Demi Allah aku hanya membawa sepotong roti saja.”
Kemudian mereka melanjutkan perjalalan hingga disebuah kampung besar yang porak poranda. Tiba-tiba didekat mereka ada 3 bongkahan besar emas, lalu Isa as berkata kepada si Yahudi, “Satu bongkahan emas untukku, satu bongkahan emas untukmu, dan satu bongkahan emas lagi untuk pemilik roti yang ketiga.” Maka si Yahudi berkata, “Akulah pemilik roti yang ketiga. Aku telah memakannya saat engkau melaksanakan shalat.” Isa as berkata kepadanya, “Ambillah emas ini untukmu semua!” Lalu Isa as meninggalkannya seorang diri. Si Yahudi tidak mempunyai alat untuk membawa emas itu, sehingga ia hanya bisa menungguinya.
Tak lama kemudian datang tiga orang jahat. Melihat si Yahudi menunggui emas, mereka lalu membunuh si Yahudi dan mengambil bongkahan emas tersebut. Dua orang dari mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah ke kampung dan bawalah makanan untuk kami.” Maka orang yang disuruh memberli makanan itu pergi sambil berkata dalam hati, “Aku akan menaruh racun pada makanan mereka sehingga mereka berdua mati dan aku bisa menikmati emas itu sendirian.” Maka orang itupun melaksanakan niat yang dibisikkan setan, kemudian datang menemui kedua orang temannya. Saat ia datang membawa makanan, ia dibunuh kedua orang temannya. Mereka menyantap makanan beracun itu tanpa curiga hingga akhirnya mereka berdua mati keracunan didekat bongkahan emas.
Beberapa hari kemudian Isa as lewat ditempat itu. Tatkala ia melihat ke-4 orang itu mati tergeletak didekat bongkahan emas, ia berkata kepada pengikutnya (Hawariyyun), “Seperti inilah dunia memperlakukan penghuninya. Maka hati-hatilah terhadapnya.”

Malu Tak Seperti Kupu-Kupu 

kupu-kupu

Ramadhan baru saja berlalu. Semua telah kembali seperti semula. Sisa-sisa keteduhan nuansa ramadhan hanya tinggal sekedarnya saja. Bahkan nyaris tak berbekas. Kue-kue lebaran masih banyak di meja, karena memang persiapan buat lebaran sangat mantap. Lengkap dengan berbagai jenis kue, cat rumah yang baru, interior serba baru dan yang tentu tidak ketinggalan pakaian baru yang serba bagus. Indah memang.
Tapi sebenarnya bukan itu yang kita tuju. Bukankah hati ini gersang? Lisan kita tetap mengumpat, mata kita masih saja liar dan nafsu masih menjadi nomor wahid? Perilaku kita masih semrawut.
Lalu indahkah kita? Bila lidah kita bisa merasakan lezatnya kue lebaran, tapi nikmatnya iman tak jua mampu kita cicipi? Bila rumah kita indah karna warna dan interior yang serba baru namun hati dan perilaku kita masih dengan warna dan interior yang dulu, kusam, lusuh dan tak terurus?
Warna kusam yang semakin suram. Aurat kita terbungkus hijab serta baju baru sedang jiwa kita masih setia dg nafsu sebagai pakaiannya. Adilkah ini? Apakah kita rela? Fisik kita rapi dan cantik tapi “jeroan”nya pada sakit. Ternyata kita ini belum bisa bersikap dewasa. Hanya sekedar usia yang makin bertambah.
Seorang kawan saya, pernah berkata; “Kupu-kupu itu mulanya adalah makhluk yang menjijikkan (siapa sih yang gak geli dan jijik ngeliat ulet?), tapi setelah ia berpuasa dan melewati masa kepompong makan ia berubah menjadi makhluk yang indah. Yang siapapun akan senang melihatnya. Apalagi dengan warna-warni yang Subhanalloh cantiknya.”
Sedikit pesimis ia tanyakan atau tepatnya menyatakan isi hatinya; “Apakah manusia yang berpuasa akan mendapatkan keindahan layaknya kupu-kupu?” Tentu anda bisa menjawabnya. Betapa malunya kita yang tak bisa seindah kupu-kupu, walaupun telah berpuasa sebulan panjangnya.
Semoga Alloh terus membimbing kita untuk mencapai maqamamahmudah nan indah. Amiiin.

Indahnya Berprasangka Baik 




Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.
Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.
Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.
Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.
Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.
Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.
Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.
Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul.
Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya:
“Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat,”
Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya

Cara Rasul Merayakan Idul Fitri 



Fajar 1 Syawal menyingsing, menandai berakhirnya bulan penuh kemuliaan. Senyum kemenangan terukir diwajah-wajah perindu Ramadhan, sambil berharap kembali meniti Ramadhan di tahun depan. Satu persatu kaki-kaki melangkah menuju tanah lapang, menyeru nama Allah lewat takbir, hingga langit pun bersaksi, di hari itu segenap mata tak kuasa membendung airmata keharuan saat berlebaran. Sementara itu, langkah sepasang kaki terhenti oleh sesegukan gadis kecil di tepi jalan. “Gerangan apakah yang membuat engkau menangis anakku?” lembut menyapa suara itu menahan beberapa detik segukan sang gadis.
Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan. “Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,” tutur gadis kecil itu menjawab tanya lelaki di hadapannya tentang Ayahnya.
Seketika, lelaki itu mendekap gadis kecil itu. “Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?” Sadarlah gadis itu bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain Muhammad Rasulullah SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Siapakah yang tak ingin berayahkan lelaki paling mulia, dan beribu seorang Ummul Mukminin?
Begitulah lelaki agung itu membuat seorang gadis kecil yang bersedih dihari raya kembali tersenyum. Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmata. Lelaki agung itu, shalawat dan salam baginya.
Lebaran, bagi kita sangat identik dengan pakaian bagus. Tak harus baru, setidaknya layak dipakai saat bersilaturahim dihari kemenangan itu. Namun tak dapat dipungkiri, bagi sebagian besar masyarakat kita, memakai pakaian baru sudah menjadi budaya. Mungkin budaya ini merujuk pada kisah di atas, bahwa Rasul pun memakai pakaian yang bagus dihari raya. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk menyambut lebaran, bahkan bagi sebagian orang, tak cukup satu stel pakaian baru disiapkan, mengingat tradisi silaturahim berlebaran di Indonesia yang lebih dari satu hari.
Tak ada yang salah dengan budaya baju baru itu, ambil sisi positifnya saja, bahwa keceriaan hari kemenangan bolehlah diwarnai dengan penampilan yang lebih baik. Sekaligus mencerminkan betapa bahagianya kita menggapai sukses penuh arti selama satu bulan menjalani Ramadhan. Baju baru bukan cuma fenomena, bahkan sudah menjadi budaya. Tetapi ada cara berlebaran Rasulullah yang tak ikut kita budayakan, yakni menceriakan anak yatim dengan memberikan pakaian yang lebih pantas dihari istimewa.
Anak-anak kita bangga menghitung celana dan baju yang baru saja kita belikan. Tak ketinggalan sepatu dan sandal yang juga baru. Dapatlah kita bayangkan betapa cerianya mereka saat berlebaran nanti mengenakan pakaian bagus itu. Tapi siapakah yang akan membelikan pakaian baru untuk anak-anak yatim? Tak ada Ayah atau Ibu yang akan mengajak mereka menyambangi pertokoan dan memilih pakaian yang mereka suka. Dapatkah kita bayangkan perasaan mereka berada di tengah-tengah riuh rendah keceriaan anak-anak lain berbaju baru,sementara baju yang mereka kenakan sudah usang.
Rasulullah tak hanya berbaju bagus saat berlebaran, tetapi juga mengajak seorang anak yatim ikut berbaju bagus, sehingga nampak tak berbeda dengan Hasan dan Husain. Lelaki agung itu, tahu bagaimana menjadikan hari raya juga istimewa bagi anak-anak yatim. Mampukah kita meniru cara Rasul berlebaran?
Kalau kita mampu membeli beberapa stel pakaian untuk anak-anak kita, adakah sedikit yang tersisihkan dari rezeki yang kita dapat untuk membeli satu saja pakaian bagus untuk pantas dipakai oleh anak-anak yatim tetangga kita. Kebahagiaan 1 Syawal semestinya tak hanya milik anak-anak kita, hari istimewa itu juga milik mereka.
Maka, ikutilah! Gerakan LCR (Lebaran Cara Rasul). Gerakan ini, saya yakin sudah banyak yang melakukannya diberbagai tempat. Namun jika lebih banyak lagi orang-orang beruntung seperti kita yang mau membudayakan LCR ini, akan lebih banyak senyum anak yatim yang tercipta dihari bahagia.
Note: Jika berkenan meneruskan tulisan ini ke berbagai milist dan komunitas, setidaknya Anda berkesempatan mengukir senyum anak-anak yatim. Apalagi jika ada yang bekerja di media, atau punya akses ke berbagai media cetak maupun elektronik, sehingga Gerakan LCR ini menjadi sebuah gerakan nasional. Akan indahlah dunia dengan berbagi.
Maha Suci Allah.

Suara Emas dari Ethiopia 



Bilal bin Rabah: Suara Emas dari Ethiopia Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
“Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal. “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. “Marhaban ya Rasulullah,” bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah.” Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. “Adzanlah wahai Bilal,” perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab perintah itu, “Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku.” “Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal,” kata Abu Bakar. “Maka biarkan aku memilih pilihanku,” pinta Bilal. “Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah,” lanjut Bilal. “Kalau demikian, terserah apa maumu,” jawab Abu Bakar.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal disiksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walinya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, “Ahad, ahad,” puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membuktikan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah. “Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu.” Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. “Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat.”
“Ya, dengan itu kamu mendahului aku,” kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya. Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
“Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan, Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka, lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.
Amin, ya Rabbal A’lamin.”


Izinkan Aku Menangis 

sajadah

Jam menunjukkan pukul 21.20 malam… Kecurian. Aku tertidur sekitar 3,5 jam setelah berbuka puasa petang tadi. Seingatku aku sedang kejar-kejaran dengan waktu di etape sulit ini. Al Qur’anku belum selesai. Tapi entah mengapa, mushaf itu tetap diam disamping bantal; dekat kepalaku? Aku menyerah lagi. Kelelahan fisik dan kepenatan pikiran. Aku hendak berapologi pada diriku sendiri.
Kegundahan apakah ini? Kekhawatiran apakah ini? Kecemasan apa lagi?
Mengapa pelupuk mataku panas. Namun, aku malu untuk menumpahkan air mata. Ya, air mata bening itu hanya boleh kutunjukkan pada-Nya. Bukan untuk memperturutkan rasa dan emosi serta mengalahkan rasio yang wajar. Meski… jebol juga tanggul itu.
Aku membuka hadits ini lagi, ”Orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan berbuat untuk masa setelah mati. Orang yang lemah adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan berharap (banyak) pada Allah”. (HR.Turmuzi, dari riwayat Syaddad bin Aus ra.)
Jika kebodohan (tidak cerdas) tidaklah berakibat kepada kemurkaan Allah? Dan ternyata pengharapan pada-Nya saja tak cukup. Sering menyerah pada diri sendiri di tengah komitmen hendak berbuat. Harapan tanpa kekuatan itu disabdakan Rasulullah Saw. sebagai kelemahan. Mengapa aku lemah?
Jika saja ini bukan di etape final. Aku boleh berharap banyak untuk menjadi sang pemenang. Jika saja aku boleh berandai, jarum jam diputar. Namun, agamaku melarang pengandaian. Benar. Konsentrasi di babak ini seringkali buyar.
Aku membuka genggaman tangan kiriku. Ya, tinggal itulah hitungan hari-hari pembekalan tahun ini. Aku tak pernah tahu, mampukah aku sampai di penghujungnya. Mampukah aku menjadi yang terbaik diantara sekian juta para pemburu satu cinta, sejuta pengampunan dan seribu keberkahan? Aku malu menanyakannya pada diriku sendiri.
Masih tersisa kedengkian. Masih ada pertanyaan sikap dan prasangka buruk. Masih juga bersemanyam ketersinggungan dan gerutu ketidakpuasan. Masih ada pandangan mata khianat. Masih ada ketajaman lidah yang melukai hati. Masih juga mengoleksi berita-berita tak bernilai. Masih saja melafazkan kata-kata tak bermakna. Lantas, apa makna tengadahan tangan di tengah malam yang diiringi isak pengharapan. Sekali lagi, pengharapan yang lemah yang kalah oleh nafsu.
Aku terduduk lemas. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan untuk mengungkapkannya. Aku pandangi lama-lama refleksi kegundahan itu.
Aku hanya boleh bertanya, kemudian kujawab sendiri. Selain itu hanya kesunyian. Meski dunia sekelilingku ramai dengan hiruk pikuk malam. Kedai sebelah rumah masih ramai. Coffee shop masih dipenuhi orang yang asyik menonton el Ahli–mungkin–, klub kebanggaan mereka sedang berlaga. Aku dibangunkan teriakan itu. Mengapa tidak suara Syeikh Masyari Rasyid yang melantunkan surat al Qiyamah, misalnya. Atau suara siapa saja yang menembus gendang telinga ini. Namun, melantunkan suara pengharapan yang kuat yang bisa menembus langit-Nya.
Atau suara-suara dari rumah-Nya yang dipenuhi isakan harapan hamba-hamba-Nya yang berlomba memburu seribu keberkahan dan sejuta pengampunan. Atau senyuman malaikat yang menyaksikan bocah-bocah kecil yang menahan kantuk berdiri sambil memegangi mushaf kecil dipojok-pojok masjid.
Sebagaimana aku boleh berharap di penghujung hari pembekalan ini, aku menjadi sang jawara. Namun, aku malu untuk berharap demikian. Sebagaimana aku juga boleh berharap menutup hariku di dunia dengan syahadah di jalan-Nya. Toh, semua menjadi misteri yang tak terjawab.
Ya, Khalid bin Walid pun yang sangat pemberani akhirnya menutup harinya di atas pembaringan. Lantas, tidakkah malu aku membandingkan pengaharapanku dengan kelemahan diriku menghadapi diri sendiri.
Sebagaimana aku mengandaikan bidadari surga. Apakah ia takkan cemburu dan marah dengan pandangan khianatku pada hal-hal yang tak seharusnya kulihat.
Sebagaimana aku berharap istana megah setelah matiku. Sudah berapakah aku menabung untuk itu. Sementara hidupku dipenuhi ambisi dan obsesi yang penuh dengan tabungan materi dan memegahkan istana duniaku. Dan aku telah mencintai dunia itu.
Sebagaimana aku berharap menikmati seteguk susu dari aliran sungai di surga-Nya. Aku lalai mengumpulkan “dana” untuk membelinya. Juga madu dan jus mangga.
Sebagaimana aku tetap berharap ingin terus mencicipi delima merah dan jeruk sankis serta buah khukh di masa setelah kefanaan ini. Tapi aku terlalu terpana oleh keindahannya yang sementara. Entah berapa tahun, bulan, hari atau bahkan hitungan detik aku masih bisa melihatnya di toko buah-buahan di sebelah rumahku.
Aku memaknai keterlaluan yang fatal ini dengan sikap yang tidak seimbang. Khayalanku dipenuhi pengaharapan. Namun, hatiku disesaki kelemahan. Akibatnya seluruh organ tubuhku lemah. Mata, telinga, mulut, kaki, tangan… semua menolak untuk diajak menggapai cinta-Nya.
Etape final ini banyak tikungan tajam. Dan aku terjatuh. Putaran roda keinginan tersebut trrgelincir oleh kerikil kecil bernama kelalaian. Alhamdulillah, aku masih bisa bangkit meneruskan perjalanan. Meski aku tahu, kini aku jauh tertinggal. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku masih bisa berharap untuk menjadi baik. Karena aku masih bersama orang-orang baik bahkan mereka ada di depanku; orang-orang terbaik itu.
Aku masih harus melewati tikungan tajam lainnya. Tergesa-gesa, kecerobohan, cinta dunia, rasionalisasi kesalahan, buruk sangka. Namun, aku masih punya bekal. Cinta, hati nurani dan bahan bakar ketelitian serta nasihat orang-orang shalih. Dan tikungan tajam yang paling membahayakan di akhir etape ini adalah: menduakan cinta-Nya. Ada cinta lain yang menyesak hendak menggeser kemuliaan itu.
Ada beberapa materi terakhir di ujian final ini: menanggalkan kesombongan dan ingin dipuji serta disanjung berlebihan. Menanggalkan kecintaan dunia yang berlebihan dengan qanaah dan tawadhu’.
Tiba-tiba aku ingin menangis. Namun, aku tak mampu. Ya Allah aku ingin mengeluarkan air mata ini untuk-Mu. Aku khawatir kesulitan ini tersendat karena kemurkaan-Mu.
Air bening itu tersendat. Jangan-jangan karena kesalahanku. Karena tumpukan-tumpukan egoisme. Karena tumpukan-tumpukan kotoran buruk sangka. Karena tumpukan-tumpukan gerutu. Karena tumpukan-tumpukan doa-doa yang kosong. Terkunci oleh hawa nafsu.
Jika demikian, jangan Kau murkai hamba ini ya Allah. Hamba masih terus berharap pembebasan dari murka-Mu di hari-hari pembebasan ini.
“… dan sepertiga terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka,” demikian Rasulullah Saw. menjelaskan karakteristik bulan pembekalan ini. Ya Allah, jadikanlah nama hamba ada dalam daftar pembebasan itu. Juga nama kedua orang tua hamba, keluarga hamba, para guru hamba, saudara-saudara hamba serta siapa saja yang mempunyai hak atas hamba. Amin.

Kata-Kata Kasar. 



Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. “Oh, maafkan saya” adalah reaksi saya. Ia berkata, “Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda.” Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda. Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. “Minggir,” kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.
Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku, “Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, ketika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu.”
“Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu.”
Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, “Bangun, nak, bangun,” kataku.
“Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?” Ia tersenyum, ” Aku menemukannya jatuh dari pohon. “
“Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru.”
Aku berkata, “Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi.”
Si kecilku berkata, “Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu.” Aku pun membalas, “Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru.”
Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.
Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan? Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA?
Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ATHER (A)ND (M)OTHER, (I), (L)OVE, (Y)OU
Teruskan cerita ini kepada orang-orang yang kau pedulikan. Saya telah melakukannya.

Saya Beri Dia Waktu 3 Bulan 



Pagi hari Kamis lalu, 13 Juli 2006, seorang wanita mudah berusia 24 tahun datang ke Islamic Cultural Center of New York. Dengan pakaian Muslimah yang rapi, nampak seperti santri bule duduk menunggu kedatangan saya di Islamic Center New York. Dengan sedikit malu dan menundukkan muka, dia memulai percakapan dengan bertanya, “Apa hukumnya seorang Muslimah bersuamikan non Muslim? Dan apakah seorang wanita yang bersuamikan non Muslim bisa diterima menjadi Muslimah?
Tentu saja saya terkejut dengan pertanyaan itu. Mulanya saya mengira bahwa sang wanita yang duduk di hadapan saya ini adalah seorang Muslimah, barangkali dari negara Balkan, Bosnia atau Kosovo. Tapi setelah saya tanya, ternyata dia hanyalah seseorang yang baru menemukan Islam lewat internet (beberapa website Islam), dan kini secara bulat berniat untuk memeluk agama, yang menurutnya, the right way for her.
Wanita muda itu bernama Jessica Mendosa. Kelahiran Albany, ibukota negara bagian New York dan kini tinggal di kota New York (New York City) sebagai mahasiswi di salah satu universitas di kota ini. Diapun baru menikah dengan suaminya sekitar 4 bulan yang lalu.
Setelah berta’aruf lebih dekat barulah saya bertanya kepadanya: “Kenapa anda menanyakan tentang boleh tidaknya seorang Muslimah bersuamikan non Muslim? Dan kenapa pula Anda tanyakan apa diterima seorang wanita masuk ke dalam agama Islam jika bersuamikan non Muslim?”
Dengan sedikit grogi atau malu, Jessica menjawab: “I am very much interested in Islam. I have learned it many months“.
Saya kemudian memotong: “Where did you learn Islam?” Dia menjawab: “throughn the internet (Islamic websites)“.
Saya kemudian menanyakan apa hubungan antara keingin tahuan dia tantang Islam dan seorang wanita bersuamikan non Muslim. Maka dengan berat tapi cukup berani dia katakan: “I’ve learned Islam and I am sure this is the right way for me. I am willing to embrace Islam now. But I’ve a problem. I am a wife of a non Muslim”.
Ketika saya tanyakan apakah suaminya tahu keinginannya tersebut? Dia menjawab: “yes, and he is very much hostile to my intention“.
Saya tidak langsung menjawab pertanyaannya karena saya yakin dia masih mencintai suami yang baru menikahinya sekitar 4 bulan silam. Saya justru menjelaskan kepadanya pokok-pokok keimanan dan Islam, khususnya makna berislam itu sendiri. Bahwa menerima Islam berarti bersedia menerima segala konsekwensi dari setiap hal yang terkait dengan ajarannya.
“Islam is not only a bunch of ritual teachings, it’s a code of life,” jelasku.
Dalam hal ini seseorang yang mengimani ajaran Islam dan dengan kesadarannya memeluk Islam berarti bersedia mengikuti ajaran-ajaran atau aturan-aturan yang mengikat. Dan penerimaan inilah yang merupakan inti dari keislaman itu sendiri.
Nampaknya Jessica mendengarkan penjelasan itu dengan seksama. Hampir tak pernah bergerak mendengarkan penjelasan-penjelasan mengenai berbagai hal, dari masalah-masalah akidah, ibadah, hingga kepada masalah-masalah mu’amalah, termasuk urgensi membangun rumah tangga yang Islami dalam rangka menjaga generasi Muslim masa depan.
Ketika saya sampai kepada permasalahan pasangan suami isteri itulah, Jessica memberanikan diri menyelah: “But I am still in love with my husband whom I married to just 4 months ago”
Saya juga terkejut dan kasihan dengan Jessica. Hatinya telah mantap untuk menjadi Muslimah. Bahkan menurutnya: “Nothing should prevent me to convert to Islam“. Tanpa terasa airmatanya nampak menetes. Saya ikut merasakan dilema yang dihadapinya.
Saya kemudian menjelaskan perihal hukum nikah dalam Islam dan berbagai hal yang terkait, termasuk persyaratan bagi wanita Muslim untuk menikah hanya dengan pria Muslim. Penjelasan saya tentunya tidak bertumpu kepada nash atau berbagai opini ulama, tapi diserta dengan berbagai argumentasi “aqliyah” (rasional) sehingga dapat meyakinkan Jessica dalam hal ini.
Pada akhirnya, mau tidak mau, harus terjadi kompromi. Saya katakan, ketika anda sudah yakin bahwa inilah jalan hidup yang benar untuk anda ikuti, maka jangan sampai hal ini tersia-siakan. Namun di satu sisi saya perlu tegaskan bahwa sebagai Muslimah jika tetap bersuamikan non Muslim maka itu adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum Islam.
Untuk itu, setelah mempertimbangkan berbagai pertimbangan yang terkait, baik berdasarkan “masalih al mursalah” (manfaat-manfaat yang terkait) maupun realita-realita kehidupan di Amerika, serta yang paling penting adalah pengalaman-pengalaman mengislamkan selama ini, saya sampaikan kepada Jessica: “You may embrace Islam. But you have to find any possible way to convince your husband that you are not allowed to maintain this marriage if he insists to oppose Islam”.
Dengan penjelasan terakhir ini Jessica nampak cerah, dan dengan tegas mengatakan: “I’ll give him a chance in 3 months. If he doesn’t want to follow my way, I will ask for a divorce“, katanya tanpa ragu.
Saya katakan: “Hopefully people will not perceive that Islam separates between husbands and wives. But this is the rule and I have to tell you about it”.
Oleh karena Islamic Center memang masih sepi, dengan hanya disaksikan dua orang Brothers, dengan diiriingi airmata, Jessica Mendosa mendeklarasikan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”. Allahu Akbar wa lillah alhamd!
Sabtu kemarin, Jessica telah resmi bergabung dengan kelas khusus yang dirancang untuk para muallaf “The Islamic Forum for new Muslims” di Islamic Cultural Center. Saya terkejut, Jessica hadir di kelas itu seperti seorang Muslim yang telah lama mempelajari agama ini. Bersemangat menjawab setiap ada hal yang dipertanyakan oleh muallaf lainnya. Sayang saya belum sempat menanyakan perihal suaminya!,

Pelajaran Dari Seorang Anak, Cerita dari India 



Istriku berkata kepada aku yang sedang baca Koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
Aku taruh Koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu. Tampak ketakutan, air matanya banjir didepannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam / yogurt (nasi khas India / curd rice).
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku msh kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”.
Aku mengambil mangkok dan berkata, “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku.
Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata, “Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta ..”. Agak ragu-ragu sejenak, “…akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya.”
“Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”. Aku menjawab, “Oh pasti sayang.” Sindu tanya sekali lagi, “Betul nih ayah? Yah pasti”. Sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju. Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, “Iya, janji”, kata istriku.
Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.” Sindu menjawab, “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang-barang mahal kok. Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu”
Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap. Dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin / dibotakin pada hari Minggu.
Istriku spontan berkata permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin. Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk, “Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak. Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, tidak ada ‘yah, tak ada keinginan lain kata Sindu.
Aku coba memohon kepada Sindu, “Tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.” Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya, kenapa ayah sekarang mau menjilat ludah sendiri?”
Sindu melanjutkan “Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi, seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta / kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “Janji kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “Apakah kamu sudah gila?”. “Tidak”, jawabku, “Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.”
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus. Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, Sindu tolong tunggu saya. Yang mengejuntukanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak. Aku berpikir mungkin “botak” model jaman sekarang.
Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “Anak anda, Sindu, benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish, adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”
Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu, “Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi kesekolah takut diejek / dihina oleh teman2 sekelasnya.”
“Nah Minggu lalu Sindu datang kerumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi, hanya saya betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.” Lanjut Ibu tersebut.
Aku berdiri terpaku dan aku menangis. Malaikat kecilku tolong ajarkanku tentang kasih.

Sedekah 



Diantara sunnah puasa adalah memperbanyak sedekah selama bulan Ramadhan dalam rangka membantu fakir miskin, anak-anak yatim, serta orang-orang yang memerlukannya.
Rasulullah mengajarkan, bahwa sedekah yang paling utama, yaitu sedekah dibulan Ramadhan. Hal ini merujuk sebuah hadits, “Seutama-utama sedekah adalah sedekah dibulan Ramadhan.” (HR. Turmudzi)
Berbicara masalah keutamaan sedekah, teringatlah kita pada wasiat Rasulullah kepada putra menantunya yang bernama Ali bin Abu Thalib, “Wahai Ali! Janganlah kamu abaikan sedekah, karena sedekah dapat menolak kejahatan dari dirimu. Segeralah bersedekah, karena bencana tidak dapat melangkah mendahului sedekah. Wahai Ali! Sedekah secara sembunyi-sembunyi dapat merekam murka Allah, serta dapat menarik keberkahan dan rezeki sebanyak mungkin”.
Keutamaan sedekah memang sering diwasiatkan Rasul kepada ummatnya. Orang yang bersedekah dapat terhindar dari Mati Suul Katimah. “Sedekah itu dapat menolak mati dalam keadaan yang tidak baik”. (HR. Qudha-I)
Dapat menghindarkan dari panas kubur. “Sedekah itu dapat menghindarkan seseorang dari panas kubur, dan seorang pada hari kiamat hanya bernaung dibawah naungan sedekahnya”. (HR. Thabrani)
Juga sebagai pelepas dari siksa api neraka. “Bersedekahlah kamu, karena sedekah itu sebagai pelepasmu dari api neraka” (HR. Thabrani)
“Jagalah dirimu dari api neraka walaupun sedekah separuh dari biji kurma, maka jika tidak dapat, yaitu dengan sepatah kata yang baik” (HR Bukhari Muslim)
**
Dikisahkan oleh Aisyah, suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah s.a.w, seraya bercerita, “Ya rasul, kulihat dalam mimpiku, ibuku disiksa di dalam api neraka, sedang tangan kirinya tidak terlalap oleh si jago merah. Setelah kuteliti secara cermat, ternyata tangan kirinya memegang sehelai kain bekas”
Kemudian aku bertanya, “wahai Ibu, mengapa hal ini terjadi, sedang ibu rajin shalat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya?”
Sang Ibu menjawab, “Wahai anakku! Selama hidup didunia, aku termasuk wanita bakhil yang enggan bersedekah. Dan di neraka inilah memang tempat penyiksaan bagi orang2 yang bakhil”
“Mengapa tangan Ibu yang memegang sehelai kain bekas tidak terlalap api?”
“Ketahuilah, kain bekas ini adalah sesuatu yang pernah kusedekahkan selama hidup didunia. Ya, sesobek kain yang biasa kupakai untuk membersihkan perabot-perobot rumah tangga seperti piring, gelas, meja, kursi, sepatu, sandal dan lain-lain yang dapat menyelamatkan tangan kiriku dari bakaran siksa api neraka” jawab sang Ibu.



Riya’ 

lily water

Pada satu waktu sahur, seorang Abid membaca al-Qur’an al-Karim, surah “Thaha”, di biliknya yang berhampiran dengan jalan raya. Selesai membaca, dia berasa amat mengantuk, lalu tertidur.
Dalam tidurnya itu dia bermimpi melihat seorang lelaki turun dari langit membawa naskah al-Qur’an al-Karim. Lelaki itu datang menemuinya dan segera membuka kitab suci itu di depannya. Didedahkannya surah “Thaha” dan dibiliknya halaman demi halaman untuk tatapan si Abid.
Si Abid melihat setiap kalimah surah itu dicatatkan sepuluh kebajikan sebagai pahala bacaannya kecuali satu kalimah sahaja yang catatannya dipadamkan. Lalu katanya, “Demi Allah, sesungguhnya telah kubaca seluruh surah ini tanpa meninggalkan satu kalimah pun. Tetapi kenapakah catatan pahala untuk kalimah ini dipadamkan?”
Lelaki itu berkata, “Benarlah seperti katamu itu. Engkau memang ttidak meninggalkan kalimah itu dalam bacaanmu tadi. Malah, untuk kalimah itu telah kami catatkan pahalanya, tetapi tiba-tiba kami terdengar suara yang menyeru dari arah ‘Arasy: ‘Padamkan catatan itu dan gugurkan pahala untuk kalimah itu’. Maka sebab itulah kami segera memadamkannya”.
Si Abid menangis dalam mimpinya itu dan berkata, “Kenapakah tindakan itu dilakukan?”
” Sebabnya engkau sendiri. Ketika membaca surah itu tadi, seorang hamba Allah melewati jalan di depan rumahmu. Engkau sedar hal itu, lalu engkau meninggikan suara bacaanmu supaya didengar oleh hamba Allah itu. Kalimah yang tiada catatan pahala itulah yang telah engkau baca dengan suara tinggi itu”.
Si Abid terjaga dari tidurnya. “Astaghfirullaahal-’Azhim! Sungguh licin virus riya’ menyusup masuk ke dalam kalbuku. Dan, sungguh besar kecelakaannya. Dalam sekejap mata saja ibadahku dimusnahkannya. Benarlah kata alim ulama, serangan penyakit riyak atau ujub, boleh membinasakan amal ibadat seseorang hamba Allah selama tujuh puluh tahun”.

Tiket ke Neraka Mahal 






SUARANYA sedikit serak dan matanya berkaca-kaca. Ia menuturkan betapa gembira istri dan anak-anaknya waktu mereka diajak makan malam di sebuah restoran di Bandung Utara. “Rasanya sudah lama sekali saya tidak berbincang-bincang dengan istri dan anak-anak saya,” tuturnya.
“Sekali-sekali makan di luar bersama keluarga sangat menyenangkan. Istri dan anak-anak saya kelihatan sangat berbahagia. Anak-anak saya banyak bercerita tentang berbagai kegiatannya dan juga banyak bertanya tentang berbagai macam hal. “Yang terpenting, kata teman saya itu, biaya untuk membahagiakan keluarga ternyata murah, tidak mahal”.
**
LALU ia membandingkan dengan berbagai kegiatannya sebelumnya. Ia bukan pemabuk, hanya sekali-sekali ia mabuk, kalau kelewat batas meminum minuman beralkohol. Pada restoran sedikit di atas kelas menengah, satu gelas single Whiskey dan Tequila adalah Rp 30.000. Kalau ingin gaya sedikit, sebotol Champagne harganya lebih dari Rp 1 juta. “Dengan uang sebanyak itu, saya dapat membahagiakan istri dan anak-anak saya untuk makan-makan di restoran lebih dari lima kali,” katanya.
Ia juga bukan penyanyi, tetapi ia pintar menyanyi dan suaranya lumayan bagus. Pernah ia berseloroh, “Kalau saya lelah jadi pengusaha, saya akan menjadi penyanyi”. Biasanya, ia minum-minuman keras di karaoke. Biaya yang dikeluarkan untuk menyewa ruang karaoke kelas VIP adalah Rp 1 juta dan untuk lebih meriah ia menyewa pemandu lagu (PL) dengan harga Rp 200.000 per jam.
“Mas tahu sendirilah,” katanya. “Seringkali saya kebablasan. Dari ruang karaoke pindah ke kamar hotel”. Jumlah uang yang dihamburkannya dalam semalam, menyamai gaji guru besar dalam sebulan.
“Itu belum seberapa mas,” katanya. Suaranya terdengar bangga namun terselip ada nada pahit. “Pada diskotek yang elite dan mewah, teman saya menyewa hostes dua juta tiap jamnya. Dan Mas dapat memperkirakan berapa besar uang yang harus dibayar teman saya kalau ia membawa hostes itu ke kamar hotel.”
**
“Itu adalah bagian dari masa lalu saya Mas,” tambahnya. “Kini saya kembali ke pangkuan keluarga. Kembali kepada istri dan anak-anak saya.”
“Mungkin inilah yang dinamakan hidayah,” katanya dengan mata menerawang jauh. “Saya hampir bangkrut karena judi. Mula-mula hanya iseng, recehan, seribu dua ribu rupiah, agar main gaplenya lebih serius. Namun, sekali lagi saya kebablasan, sebagian perusahaan saya sudah hilang dalam perjudian itu. Saya diselamatkan oleh rasa letih yang luar biasa, saya istirahat dan berhenti berjudi sehingga tidak semua perusahaan saya lenyap”.
“Saya hanya sedikit berkomentar, untunglah ia tidak seperti Pendawa Lima yang menjadikan negara sebagai taruhan dalam perjudian dan Pendawa Lima kalah.
“Ya, untunglah saya tidak seperti Pendawa Lima. Masih ada harta yang tersisa untuk hidup bahagia,” katanya sambil menarik napas lega.
“Hidup ini aneh,” tambahnya. “Semua yang saya lakukan dahulu itu, seperti mabuk-mabukan, melacur, dan berjudi, adalah tiket menuju neraka yang menyengsarakan. Kenapa lumayan banyak orang mau membeli tiket ke neraka yang harganya sangat mahal?”

Kisah Si Belang, Si Botak, dan Si Buta yang Diuji Oleh Allah 





Zaman dahulu kala, ada tiga orang Bani Israil. Orang yang pertama berkulit belang (sopak), yang kedua berkepala botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji ketiga orang tersebut. Maka Dia mengutus kepada mereka satu malaikat.
Malaikat mendatangi orang yang berpenyakit sopak (Si Belang) dan bertanya kepadanya, “Sesuatu apakah yang engkau minta?”
Si Belang menjawab, “Warna yang bagus dan kulit yang bagus serta hilangnya dari diri saya sesuatu yang membuat orang-orang jijik kepada saya.”
Lalu malaikat itu mengusapnya dan seketika itu hilanglah penyakitnya yang menjijikkan itu. Kini ia memiliki warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Onta.”
Akhirnya orang itu diberikan seekor onta yang bunting seraya didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberi berkah untukmu dalam onta ini.”
Kemudian malaikat mendatangi si Botak dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”
Si Botak menjawab, “Rambut yang indah dan hilangnya dari diri saya penyakit yang karenanya aku dijauhi oleh manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya, hingga hilanglah penyakitnya dan dia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Sapi.”
Akhirnya si Botak diberikan seekor sapi yang bunting dan didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberkahinya untukmu.”
Selanjutnya malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, “Apa yang paling engkau sukai?”
Si Buta menjawab, “Allah mengembalikan kepada saya mata saya agar saya bisa melihat manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya hingga Allah mengembalikan padangannya. Si Buta bisa melihat lagi. Setelah itu malaikat bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Kambing.”
Akhirnya diberilah seekor kambing yang bunting kepadanya sambil malaikat mendoakannya.
Singkat cerita, dari hewan yang dimiliki ketiga orang itu beranak dan berkembang biak. Yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Kemudian sang malaikat – dengan wujud berbeda dengan sebelumnya–mendatangi si Belang. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin telah terputus bagiku semua sebab dalam safarku, maka kini tidak ada bekal bagiku kecuali pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda demi (Allah) Yang telah memberi Anda warna yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, satu ekor onta saja yang bisa menghantarkan saya dalam safar saya ini.”
Orang yang tadinya belang itu menanggapi, “Hak-hak orang masih banyak.”
Lalu malaikat bertanya kepadanya, “Sepertinya saya mengenal Anda. Bukankah Anda dulu berkulit belang yang dijauhi oleh orang-orang dan juga faqir, kemudian Anda diberi oleh Allah?”
Orang itu menjawab, “Sesungguhnya harta ini saya warisi dari orang-orang tuaku.”
Maka malaikat berkata kepadanya, “Jika kamu dusta, maka Allah akan mengembalikanmu pada keadaan semula.”
Lalu, dengan rupa dan penampilan sebagai orang miskin, malaikat mendatangi mantan si Botak. Malaikat berkata kepada orang ini seperti yang dia katakan kepada si Belang sebelumnya. Ternyata tanggapan si Botak sama persis dengan si Belang. Maka malaikat pun menanggapinya, “Jika kamu berdusta, Allah pasti mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
Lalu malaikat – dengan rupa dan penampilan berbeda dengan sebelumnya-mendatangi si Buta. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin dan Ibn Sabil yang telah kehabisan bekal dan usaha dalam perjalanan, maka hari ini tidak ada lagi bekal yang menghantarkan aku ke tujuan kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda, demi Allah yang mengembalikan pandangan Anda, satu ekor kambing saja supaya saya bisa meneruskan perjalanan saya.”
Maka si Buta menanggapinya, “Saya dulu buta lalu Allah mengembalikan pandangan saya. Maka ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkanlah apa yang kamu suka. Demi Allah aku tidak keberatan kepada kamu dengan apa yang kamu ambil karena Allah.”
Lalu malaikat berkata kepadanya, “Jagalah harta kekayaanmu. Sebenarnya kamu (hanyalah) diuji. Dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua sahabatmu.”
Demikianlah kisah ini, Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya. Dan kita pun senantiasa diuji oleh-Nya. Dalam kisah tadi, ada dua hal yang menjadi bahan ujian, yaitu kesehatan/penampilan fisik dan harta. Mudah-mudahan kita adalah yang orang yang lulus ujian sebagaimana si Buta. Jika kita ingin seperti si Buta, maka kita harus berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur dan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah (muroqobatullah).
Semoga Allah senantiasa ridho kepada kita dan tidak murka kepada kita semua.. Aamiin.


Kisah Nyata Seorang Pemuda Arab Yang Menimba Ilmu Di Amerika 




Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berkenalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.
Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk.
Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, “Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini.”
Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Hingga akhirnya pendeta itu berkata, “Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya.” Barulah pemuda ini beranjak keluar.
Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pendeta, “Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim.” Pendeta itu menjawab, “Dari tanda yang terdapat di wajahmu.”
Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.
Sang pendeta berkata, “Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat.”
Si pemuda tersenyum dan berkata, “Silahkan!
Sang pendeta pun mulai bertanya, “Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada empat belasnya. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh! Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya? Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu! Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar! Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?”
Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata,
  • Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.
  • Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman, “Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami).” (Al-Isra’: 12).
  • Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.
  • Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.
  • Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.
  • Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ketika Allah SWT menciptakan makhluk.
  • Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis. Allah SWT berfirman, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” (Al-Mulk: 3).
  • Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah SWT berfirman, “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka.” (Al-Haqah: 17).
  • Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang. (*
  • Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat.” (Al-An’am: 160).
  • Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudara Yusuf as.
  • Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu’jizat Nabi Musa as yang terdapat dalam firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.” (Al-Baqarah: 60).
  • Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.
  • Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT berfirman, “Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.” (At-Takwir: 18).
  • Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.
  • Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf AS, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala.” Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, ” tak ada cercaaan terhadap kalian.” Dan ayah mereka Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
  • Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai.” (Luqman: 19).
  • Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.
  • Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, “Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim.” (Al-Anbiya’: 69).
  • Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).
  • Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar.” (Yusuf: 28).
  • Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.
Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta. Pemuda ini berkata, “Apakah kunci surga itu?” mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.
Mereka berkata, “Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!” Pendeta tersebut berkata, “Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah.” Mereka menjawab, “Kami akan jamin keselamatan anda.” Sang pendeta pun berkata, “Jawabannya ialah: Asyhadu an La Ilaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah.”
Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugrahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa.


 


Kalimat Terindah

Setelah berbulan-bulan tak ada kabar yang jelas. Setelah sekian waktu jadwal kepulangan saya ke tanah air belum bisa dipastikan, maka suatu malam saya dipanggil sang majikan untuk berbicara empat mata. Saat pertemuan itu ada kalimat terindah yang pernah saya dengar dari mulutnya. Kalimat itu adalah, “Akhir bulan ini kamu pulang ke Indonesia.”
Saya terdiam. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang bergejolak di dada ini. Pulang! Sebuah kata yang sangat indah di telinga saya. Setelah dua tahun lebih saya meninggalkan orang-orang yang saya cintai: isteri, anak, keluarga yang lain, teman dan siapa saja orang-orang yang dekat dengan saya sebelum berangkat merantau ke negeri seberang.
Terlintas dalam pikiran saya, tentang masa lalu. Tentang sepenggal dari episode kehidupan saya pada masa duduk di sekolah menengah. Waktu di mana saya harus meninggalkan kampung halaman yang amat sangat saya cintai.
Selepas tamat sekolah dasar, orang tua saya mengirim saya untuk meneruskan pendidikan di kota. Karena kampung saya jauh dari kota, maka saya harus kost. Itu saya jalani dari SMP sampai tamat SMA. Dan saya selalu teringat saat yang paling indah, saat yang paling menyenangkan, yaitu saat datang hari Sabtu. Sebab di akhir pekan itu saya pulang kampung. Saking gembiranya kalau datang hari Sabtu, saya sering menyebutnya “Pulang ke pinggir sorga.” Sebab akan bertemu dengan orang tua. Dan biasanya ibu saya sudah menyediakan makanan-makanan kesukaan saya. Yang tentunya sangat jarang saya temui di rumah kost.
Nah, saat mendengar kalimat dari majikan saya itu, hati saya sama persis seperti ketika mau pulang kampung di masa-masa menempuh pendidikan di kota saya, beberapa tahun yang lalu.
Sejak itu, hari-hari saya diliputi kegembiraan. Walaupun pekerjan yang saya tangani sebenarnya sangat banyak. Ocehan-ocehan dari majikan yang bersifat memarahipun tak begitu saya pedulikan. Artinya, apa yang ia omongkan hanya saya masukan telinga kanan dan saya keluarkan lewat telinga kiri. Bahkan terkadang, hati dan pikiran saya seolah sudah di kampung sendiri, padahal jasad saya masih bermandi keringat di negeri orang.
Suatu hari seorang teman menangkap perangai saya. Dan teman saya itu berkomentar. “Duh, gembiranya mau pulang kampung, ya….” Saya senyum-senyum saja mendengar itu. Memang itulah adanya.
Namun, di siang bolong yang terik mataharinya mencapai titik kulminasi, saat saya merebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba saya berpikir keras. Sambil melihat langit-langit kamar, saya bergumam sendiri. “Apakah kegembiraan ini bisa bertahan lama, atau setidaknya sampai ke Indonesia nanti?’
Saya tak bisa menjawab pertanyaan saya sendiri itu. Bahkan tiba-tiba pikiran saya melayang terlalu jauh ke depan. “Mampukah saya segembira ini jika nanti Allah juga memberikan kalimat itu kepada saya?”
Ya, setelah merantau, pasti saya akan pulang. Sama juga setelah saya diberi kesempatan hidup di dunia, pasti juga akan dipanggil pulang. Dan kepulangan yang terahir ini jelas tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Cepat atau lambat, Allah akan menyapa juga dengan kalimat yang tak beda jauh dengan kalimat majikan saya, walau dengan nuansa yang berbeda, tentunya.
Kalau pertemuan saya dengan semua keluarga nanti di tanah air mampu memberikan kegembiraan yang luar biasa pada saya, mampukah saya juga berperasaan yang sama tatkala saya nanti akan berjumpa dengan Sang Pencipta?
Saya tertunduk lama. Lama sekali. Bahkan tak terasa air mata ini memberontak ingin keluar. Seolah memerintahkan saya untuk cepat-cepat berintrospeksi diri, tentang apa yang telah saya perbuat di “rantau” ini.
Bekal saya belum seberapa. Entah dalam tingkatan yang mana derajat keimanan saya. Komitmen saya terhadap aturanNya belum bisa saya jadikan barometer untuk menjadikan saya tersenyum di hadapanNya. Apalagi merasa gembira.
Namun, walaupun demikian, mudah-mudahan kepulangan saya ke tanah air tercinta akan menjadi pelajaran besar untuk menyongsong kepulangan saya yang sebenarnya, yaitu pulang ke pangkuanNya. Sehingga ketika kalimat terindah dari Allah, yang dibawa malaikat penyabut nyawa,datang menyapa saya, mudah-mudahan saya bisa menyambutnya dengan senyum kegembiraan. Seperti senyumnya para kekasih Allah ketika dipanggil pulang menuju kampung abadi, kampung akhirat.


Sandal Jepit Isteriku 




Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak ketulungan.
“Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
“Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.
“Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!” Jawabku masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
“Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?”
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah… wanita gampang sekali untuk menangis,” batinku. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.
“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?!
***
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku.
“Aduh, Mi… Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.
“Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku.
“Lho, kok bilang gitu…?” selaku.
“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi.
“Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal.”Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh.
“Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku.
“Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
“Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
“Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini.
“Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus.
Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

Sebuah Kisah Untuk Para Pelaku Pornografi dan Pornoaksi 




Apa jadinya bila seorang pemuda sholeh digoda oleh wanita cantik? Kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi, bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Kecantikan dan keindahan tubuh adalah ujian. Kisah ini pun bisa menjadi inspirasi bagi da’i dalam berdakwah. Bahwa berda’wah itu harus lemah lembut, bukan dengan kekerasan ataupun caci maki kepada pelakunya. Karena hati, hanya bisa disentuh oleh hati. Selamat membaca.
Rabi’ bin Khaitsam adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau mendekati tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh tertunduk. Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui oleh banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan membaca surat Al Jatsiyah. Ketika sampai pada ayat keduapuluh satu, ia menangis. Ayat itu artinya, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan (dosa) itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu!”
Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat itu. Kehidupan dan kematian orang berbuat maksiat dengan orang yang mengerjakan amal shaleh itu tidak sama! Rabi’ terus menangis sesenggukan dalam shalatnya. Ia mengulang-ngulang ayat itu sampai terbit fajar.
Kesalehan Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan orang tua sering menjadikan Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus dicontoh oleh anak-anak mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah. Wajahnya tenang dan murah senyum kepada sesama.
Namun tidak semua orang suka dengan Rabi’. Ada sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan kezuhudan Rabi’. Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka ingin mempermalukan Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh jalur kekerasan, tapi dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi sekelompok orang yang ingin menguji sampai sejauh mana ketangguhan iman Rabi’.
Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa seorang wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar bisa jatuh dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa menaklukkan Rabi’, maka ia akan mendapatkan upah yang sangat tinggi, sampai seribu dirham. Wanita itu begitu bersemangat dan yakin akan bisa membuat Rabi’ takluk pada pesona kecantikannya.
Tatkala malam datang, rencana jahat itu benar-benar dilaksanakan. Wanita itu berdandan sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat sedemikian lentiknya. Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang terindah dan memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia mendatangi rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu Rabi’ bin Khaitsam datang dari masjid.
Suasana begitu sepi dan lenggang. Tak lama kemudian Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu dayanya. Mula-mula ia menutupi wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan kain hitam. Ia menyapa Rabi’, “Assalaamu’alaikum, apakah Anda punya setetes air penawar dahaga?”
“Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu sebentar.” Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
“Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum. Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang cangkir.
Rabi’ agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan pintu lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan tubuhnya ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi tubuhnya. Ia lalu merayu Rabi’ dengan kecantikannya.
Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu, “Wahai saudari, Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
“Saudariku, seandainya saat ini Allah menurunkan penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh borok busuk. Kecantikanmu hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah kau juga masih berani bertingkah seperti ini ?!
“Saudariku, seandainya saat ini malaikat maut datang menjemputmu, apakah kau sudah siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri menghadap Allah dengan keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada malakaikat munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa mempertanggungjawabkan apa yang kau lakukan saat ini pada Allah di padang mahsyar kelak?!”
Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa yang penuh cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu. Mendengar perkataan Rabi’ mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya meleleh. Ia langsung memakai kembali kain hitam dan cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’ dipenuhi rasa takut kepada Allah swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di telinganya dan menggedor dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di tengah jalan. Sejak itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.
Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan, “Malaikat apa yang menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam hati wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus beribadah dan mengiba ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak memikirkan apa-apa kecuali nasibnya di akhirat. Ia terus shalat, bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya wanita itu wafat dalam keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang seperti batang korma terbakar di tengah padang pasir. [Sang Hikmah]



Yang Terindah 





Seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung.
“Untuk apa?” tanya sang ayah.
“Untuk kado, mau kasih hadiah.” jawab si kecil.
“Jangan dibuang-buang ya!” pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil.
Pagi-pagi si cilik sudah bangun dan membangunkan ayahnya, “Pa, Pa… Ada hadiah untuk Papa.”
Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab, “Sudahlah nanti saja.”
Tetapi si kecil pantang menyerah, “Pa, Pa, bangun Pa sudah siang.”
“Ah, kamu gimana sih? Pagi-pagi sudah bangunin papa.” Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya.
“Hadiah apa nih?” tanya si ayah.
“Hadiah untuk Papa. Buka dong Pa, buka sekarang.” jawab si kecil.
Dan sang ayah pun membuka bingkisan itu. Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak KOSONG. Tidak berisi apa pun juga.
“Ah, kamu bisa saja. Bingkisannya kok kosong. Buang-buang kertas kado Papa. Kan mahal?”
Si kecil menjawab, “Nggak Pa, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak ciuman untuk Papa.”
Sang ayah terharu, ia mengangkat anaknya. Dipeluknya, diciumnya. “Putri, Papa belum pernah menerima hadiah seindah ini. Papa akan selalu menyimpan boks ini. Papa akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri, Papa akan mengambil satu. Nanti kalau kosong, diisi lagi ya!”
***
Boks kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apapun, tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Lalu, kendati kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang ayah, di mata orang lain tetap juga tidak memiliki nilai apapun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong. Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain. Sebaliknya, penuh bagi seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain. Kosong dan penuh, dua-duanya merupakan produk dari “pikiran” kita. Sebagaimana kita memandangi hidup, demikianlah kehidupan kita. Hidup menjadi berarti, bermakna, karena kita memberikan arti kepadanya, memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, maka hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong.

Tubuhku Adalah Milikku 









Ada sebagian wanita yang berpendirian, karena tubuhnya adalah miliknya maka ia bebas memperlakukan tubuhnya itu, bebas menampilkan tubuhnya melalui dandanan yang sesuai dengan keinginannya di depan publik.
Kisah nyata berikut ini terjadi di sebuah apotek di bilangan Jakarta Barat. Seorang wanita muda masuk ke dalam apotek dan langsung menuju petugas penerima resep. Ia berpenampilan seksi, dengan rok pendek dan kaus ketat membalut sebagian tubuhnya sehingga masih nampak bagian perut (pusar).
Setelah menyerahkan resep dokter, ia mengambil tempat duduk persis di sebelah laki-laki muda yang sejak awal mengikuti kedatangan wanita muda ini dengan tatapan matanya.
Dengan suara perlahan namun dapat didengar orang di sekitarnya, lelaki muda itu membuka percakapan, “mbak tarifnya berapa?”
Si perempuan muda nampak terkejut. Ia menatap dengan marah kepada lelaki tadi. Kemudian dengan nada ketus menjawab, “saya bukan pelacur, bukan wanita murahan…”!!
Si lelaki muda tak kurang marahnya. “Siapa yang bilang mbak pelacur atau wanita murahan. Saya cuma menanyakan tarif, karena cara mbak berdandan seperti sedang menjajakan sesuatu.”
Terjadi ‘perang mulut’ yang membuat pengunjung apotek ikut menyaksikan. Dengan nada tinggi si wanita muda berkata ketus, “tubuh saya milik saya, saya bebas mau ngapain aja dengan tubuh ini, dasar pikiranmu saja yang kotor…”
Si lelaki muda tak mau kalah. “Saya bebas menggunakan mata saya. Saya juga bebas menggunakan mulut saya termasuk untuk menanyakan berapa tarif kamu. Saya juga bebas menggunakan pikiran saya…”
Si wanita muda tak kehabisan argumen. “Saya bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan.”
“Silakan,” kata si lelaki. “Saya juga bisa menuntut kamu dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan, antara lain karena kamu telah mengganggu ketenangan ‘adik’ saya. Kamu ke apotek mau menebus obat atau mau membangunkan ‘adik’ saya?”
Mungkin karena malu, si wanita muda itu sekonyong-konyong meninggalkan apotek, padahal urusannya sama sekali belum selesai. Sedangkan si lelaki, setelah selesai dengan urusannya ia pergi ngeloyor dengan wajah bersungut-sungut.

Lebih Besar Dari Dosa Zina 





Suatu Senja, seorang wanita melangkahkan kaki mendekati kediaman Nabi Musa. Setelah mengucapkan salam, dia masuk sambil terus menunduk. Air matanya berderai tatkala berkata,  “Wahai Nabi Allah, tolonglah saya. Doakan agar Allah mengampuni dosa keji saya.”
“Apakah dosamu wahai wanita..?” Tanya Nabi Musa. “Saya takut mengatakannya,”  jawab wanita itu. “Katakanlah, jangan ragu-ragu..!” desak Nabi Musa.
Maka perempuan itu pun dengan takut bercerita, “Saya telah berzina.”Kepala nabi Musa terangkat, hatinya tersentak. “Dari perzinaan itu saya Hamil. Setelah anak itu lahir, langsung saya cekik lehernya sampai mati,” lanjut perempuan itu seraya menangis.
Mata Nabi Musa berapi-api. Dengan muka yang berang dia menghardik “Perempuan celaka, pergi dari sini. Agar Siksa Allah tak jatuh ke dalam rumahku. Pergi!!!” teriak nabi Musa sambil berpaling karena jijik.
Hati perempuan itu bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh. Dia menangis tersedu-sedu dan keluar dari Rumah Nabi Musa. Ia Tak tahu harus kemana lagi mengadu. Bahkan dia tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana manusia lain bakal menerimanya?
Sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa. Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak BERTAUBAT dari dosanya..? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar dari itu..?“
Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu..? Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang hina itu..? “Tanyanya.
“Ada..!!” jawab Jibril dengan tegas. “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar daripada SERIBU kali Berzina.”
Mendengar penjelasan ini Nabi Musa memanggil wanita tadi, lalu berdoa memohon ampunan kepada Allah. Nabi Musa menyadari, Orang yang meninggalkan Shalat dengan sengaja tanpa penyesalan seakan menganggap remeh perintah Allah. Sedangkan BERTAUBAT dan menyesali Dosa dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai IMAN di dadanya dan Yakin Allah itu ada.

Keutamaan Sholat 2 Rakaat 





Allah S.W.T selesai menciptakan Jibril as dengan bentuk yang cantik, dan Allah menciptakan pula baginya 600 sayap yang panjang, sayap itu panjangnya antara timur dan barat (ada pendapat lain menyatakan 124.000 sayap). Setelah itu Jibril as memandang dirinya sendiri dan berkata, “Wahai Tuhanku, adakah engkau menciptakan makhluk yang lebih baik daripada aku?.”
Lalu Allah S.W.T berfirman “Tidak”
Kemudian Jibril as berdiri untuk sholat dua rakaat karena syukur kepada Allah S.W.T dan tiap-tiap rakaat itu lamanya 20.000 tahun.
Setelah selesai Jibril as sholat, maka Allah S.W.T berfirman yang bermaksud. “Wahai Jibril, kamu telah menyembah aku dengan ibadah yang bersungguh-sungguh, dan tidak ada seorang pun yang menyembah kepadaku seperti ibadah kamu, akan tetapi di akhir zaman nanti akan datang seorang nabi yang mulia yang paling aku cintai, namanya Muhammad.’ Dia mempunyai umat yang lemah dan sentiasa berdosa, sekiranya mereka itu mengerjakan sholat dua rakaat yang hanya sebentar sahaja, dan mereka dalam keadaan lupa serta serba kurang, fikiran mereka melayang bermacam-macam dan dosa mereka pun besar juga. Maka demi kemuliaannKu dan ketinggianKu, sesungguhnya sholat mereka itu aku lebih sukai dari sholatmu itu. Karena mereka mengerjakan sholat atas perintahKu, sedangkan kamu mengerjakan sholat bukan atas perintahKu.”
Kemudian Jibril as berkata: “Ya Tuhanku, apakah yang Engkau hadiahkan kepada mereka sebagai imbalan ibadah mereka?”
Lalu Allah berfirman, “Ya Jibril, akan Aku berikan syurga Ma’waa sebagai tempat tinggal..”
Kemudian Jibril as meminta izin kepada Allah untuk melihat syura Ma’waa.
Setelah Jibril as mendapat izin dari Allah S.W.T maka pergilah Jibril as dengan mengembangkan sayapnya dan terbang, setiap dia mengembangkan dua sayapnya dia menempuh jarak perjalanan 3000 tahun, terbanglah malaikat Jibril as selama 300 tahun sehingga ia merasa letih dan lemah dan akhirnya dia turun berteduh di bawah bayangan sebuah pohon dan dia sujud kepada Allah S.W.T lalu ia berkata dalam sujud, “Ya Tuhanku apakah sudah aku menempuh jarak perjalanan setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya?”
Kemudian Allah S.W.T berfirman, “Wahai Jibril, kalau kamu dapat terbang selama 3000 tahun dan meskipun aku memberikan kekuatan kepadamu seperti kekuatan yang engkau miliki, lalu kamu terbang seperti yang telah kamu lakukan, niscaya kamu tidak akan sampai kepada sepersepuluh dari beberapa perpuluhan yang telah kuberikan kepada umat Muhammad terhadap imbalan sholat dua rakaat yang mereka kerjakan…..”
Marilah sama-sama kita renungkan dan berusaha lakukan. Sesungguhnya Allah S.W.T telah menyembunyikan enam perkara yaitu :
  1. Allah S.W.T telah menyembunyikan ridha-Nya dalam taat.
  2. Allah S.W.T telah menyembunyikan murka-Nya di dalam maksiat.
  3. Allah S.W.T telah menyembunyikan nama-Nya yang Maha Agung di dalam Al-Quran.
  4. Allah S.W.T telah menyembunyikan Lailatul Qadar di dalam bulan Ramadhan.
  5. Allah S.W.T telah menyembunyikan sholat yang paling utama di dalam sholat (yang lima waktu).
  6. Allah S.W.T telah menyembunyikan (tarikh terjadinya) hari kiamat di dalam semua hari.

Untung Secukupnya Saja 





Barangkali ada diantara kita yang menjadi seorang pedagang. Biasanya, rumus dagang yang kita gunakan adalah mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dari barang yang kita jual. Dengan begitu, arus keuangan yang bisa didapatkan akan besar. Dan, ketika hal itu bisa dilakukan, kemudian kita bangga karena kita telah sukses dalam berdagang.
Tapi, rumus itu tidak dipakai olah Bu Murah, seorang pedagang warung nasi.
Di rumahnya yang kecil, dia membangun sebuah warung makan untuk para mahasiswa. Menunya tak jauh berbeda dengan warung-warung lainnya. Nasi rames, minuman (teh, jeruk) dan berbagai gorengan (tahu, tempe). Tapi, ada yang beda dari warung itu, yaitu harganya. Makanan disana harganya cukup murah, maka dikenalah sang ibu penjual nasi rames itu dengan sebutan Bu Murah
Bandingkan saja. Di warung lainnya, untuk sebungkus nasi dan telur dihargai Rp 2.500 bahkan ada yang menjualnya dengan harga Rp.2.700. Sedangkan, di warung Bu Murah ini, untuk menu yang sama cukup mengeluarkan uang Rp.1.500 saja. Kadang saya berpikir, apa tidak rugi berdagang seperti itu. Tapi, kemudian saya tahu, cara berdagang Bu Murah menggunakan rumus untung secukupnya saja.
Dengan cara berdagang demikian, warung Bu murah tetap eksis sampai sekarang. Bahkan selalu rame dikunjungi pelanggannya. Warung Bu Murah menjadi alternatif mahasiswa dalam mencukupi kebutuhan perut sehari-hari. Sepanjang pengamatan saya, pelanggannya tak hanya mahasiswa di sekitar warungnya. Mereka yang jauhpun berdatangan kesitu.
Lantas, apa yang bisa kita petik dari sepenggal cara hidup Bu Murah ini.
Hidupnya sederhana, tidak serakah. Dia tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan keuntungan yang terlalu besar. Baginya, sudah merasa senang bisa memberikan pelayanan kepada mahasiswa yang membeli makanannya dengan harga terjangkau. Dengan begitu, mahasiswa diuntungkan, sementara Bu murah juga tidak merasa dirugikan.
Begitulah cara Bu Murah memaknai hidupnya.
Ah…andai saja negeri ini dipenuhi dengan orang-orang yang mempunyai padangan seperti Bu Murah, tentu saja keserakahan di negeri ini bisa terkurangi. Lihat saja bagaimana kondisi sekarang. Banyak kita temukan lewat pemberitaan diberbagai media massa, koruptor meraja lela. Sebenarnya, hidup mereka sudah berkecukupan bahkan boleh dibilang mewah. Tapi, karena nafsu serakahlah yang membuatnya masih merasa kurang. Maka, korupsi, mengambil uang negara dilakukan untuk sebuah ambisi berlebihan.
Untuk itulah, hari ini kita belajar tentang kesederhanaan dalam hidup. Ketika hati kita dipenuhi oleh ambisi yang berlebihan, yang kadang menjadikan kita menghalalkan segala cara, ingatlah Bu Murah, hadirkan dia dalam kehidupan kita sehingga kita tidak terlalu berlebihan dalam hidup ini. Harta memang perlu, tapi toh dia tidak akan turut serta ketika ajal telah menjempul kita. Amal kebaikanlah yang nantinya menyertai kita.

Sebab Tiada Amarah 

 



Dan bara tak kan terus berkobar, Jika tersentuh tirta kesejukan, Maka, terhempaslah kecamuk angkara, Tak kan mampu merasuk, dalam bening hati
Siang tadi, sehabis sholat jum’at, ketika saya berjalan menuju ke warnet, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara benturan keras “brak”. Seorang pengendara motor jatuh tersungkur. Motor, lumayan hancur, sementara pengendaranya, seorang mahasiswa, hanya bisa mengerang kesakitan. Celananya robek terkena gesekan aspal dan darah bercucuran di kakinya.
Namanya juga kecelakaan, kejadiannya tidak terduga dan terencana. Mahasiswa tadi menjelaskan kronologisnya, dia menyeruduk badan belakang truk karena truk tadi berhenti secara mendadak. Sementara, sang sopir truk menjelaskan bahwa mendadaknya berhenti karena ada motor juga didepannya, kalau tidak di rem, justru akan menabraknya dan dalam prediksinya, pasti akan parah. Maksud sopir truk memang baik, menghindari motor didepannya agar tak tertabrak, tapi tak disangka, justru ada sepeda motor lain dibelakangnya yang menyeruduknya. Agak lama keduanya bernegosiasi untuk mendapatkan solusi terbaik
Sementara saya yang menyaksikan kecelakaan itu memutar otak, bagaimana penyelesaiannya agar masing-masing tidak merasa dirugikan ?
Cukup dilematis, pikir saya. Saya tidak tega menyalahkan sang sopir, sementara saya juga kasihan kepada mahasiswa tadi, apalagi ketika dia bilang “Pak, ini gimana, soalnya bukan motor saya, ini motor pinjaman milik teman saya”. Di tengah kebuntuan, tiba-tiba ada salah satu orang yang juga menyaksikan kejadian itu menyeletuk dari belakang “Diselesaikan secara kekeluargaan saja”. Benar juga, akhirnya saya mengiyakan saja saran itu, diselesaikan secara kekeluargaan. Sopir truk kemudian memberikan uang Rp 100 ribu kepada mahasiswa tadi untuk memperbaiki motornya yang rusak, sementara mahasiswa tadi juga meminta maaf kepada sang sopir truk. Kasus kecelakaan selesai dan saya melanjutkan perjalanan ke warnet.
Di sepanjang jalan, saya merenung, hikmah apa dibalik kecelakaan ini.
Lantas, merenung juga, apa kunci kasus kecelakaan itu bisa diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Kemudian saya menemukan jawabnya. Kuncinya adalah tiada amarah. Ya, karena tidak ada amarah yang meluap-luap dari sang sopir atau mahasiswa tadi. Keduanya cukup legowo menerima kecelakaan yang tak terduga dan tak terencana itu. Sehingga, pada akhirnya, kasus kecelakaan bisa terselesaikan dengan baik tanpa melibatkan polisi yang biasanya justru akan rumit.
***
Kejadian itu berbeda dengan yang saya saksikan beberapa waktu yang lalu. Kasusnya sama, kecelakaan. Waktu itu, motor dengan motor. Seorang pemuda yang memboncengkan dua orang bertabrakan dengan seorang pedagang telur asin yang membawa barang dagangan di belakang motornya. Kejadianya di depan masjid kampus Nurul ‘Ulum Purwokerto.
Setelah bertabrakan, amarah yang muncul. Semua merasa menang sendiri, tidak ada yang mau mengaku salah. Bahkan, ketika ada seorang satpam kampus yang mencoba melerainya, malah kena bogem mentah dari salah satu mereka yang bertabrakan itu. Akhirnya, terjadi saling pukul dan terjadi perkelahian hebat antar mereka. Saya agak ngeri juga menyaksikan kejadian itu. Akhirnya, saya tinggalkan saja sebab sudah banyak orang yang mengerumuninya. Entah apa yang terjadi selanjutnya.
Dari kejadian ini, saya memetik sebuah hikmah dimana kemarahan selalu berujung kepada kondisi yang tidak baik. Berujung dendam dan pemusuhan. Bayangkan seandainya sang sopir dan mahasiswa yang tadi saya ceritakan diawal meluapkan amarahnya. Bisa jadi, kondisinya akan sama dengan peristiwa kecelakaan yang saya ceritakan di kasus kedua.
Kini, setelah saya menyadari hal ini, semoga saja saya dan kita semua bisa mengelola kemarahan agar tidak meluap keluar secara berlebihan, karena ujungnya selalu tidak baik.
Untuk itulah, kita bisa belajar atas kejadian itu agar dalam keadaan apapun, ketika ada yang tidak sesuai dengan hati kita, cobalah untuk bisa menahan amarah. Dengan begitu, kita bisa menghindarkan diri dari kerusakan, dendam, permusuhan, perselisihan dll yang muncul sesudahnya. Harapannya, setiap permasalahan yang kita hadapi bisa diselesaikan dengan kepala jernih sehingga akan baik hasil akhirnya.
Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menahan amarah, kita juga bisa berharap atas janji Allah seperti dalam sebuah hadist yang bunyinya, “Barang siapa menahan amarahnya padahal ia sanggup melampiaskannya. Maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat dihadapan makhluk sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya” (HR Timidzi).
Bidadari….Ya Bidadari. Ingin sekali saya bisa mendapatkannya, bagaimana dengan Anda…?

Rencana Allah Pasti Indah 




Ketika aku masih kecil, waktu itu Ibuku sedang menyulam sehelai kain.
Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.
Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut, “Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara Ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan Ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”
Aku heran, mengapa Ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara Ibu memanggil, ” Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan Ibu. “
Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.
Kemudian Ibu berkata, “Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau,tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, Ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang Ibu lakukan.”
Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah,”Allah, apa yang Engkau lakukan?”
Ia menjawab, ” Aku sedang menyulam kehidupanmu.”
Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”
Kemudian Allah menjawab, “Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini..”
Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu.
Subhanallah, beruntunglah orang-orang yang mampu menjaring ayat indah Allah dari keruwetan hidup di dunia ini. Semoga Allah berkenan menumbuhkan kesabaran dan mewariskan kearifan dalam hati hamba-Nya agar dapat memaknai kejadian-kejadian dalam perjalanan hidupnya, seruwet apapun itu. Amin….
Subhanallah, tulisan ini benar-benar membuka pikiran kita bahwa Allah adalah Dzat Yang maha pengatur segala sesuatu di alam ini.
Cerita ini mengingatkan saya bahwa kendati pun manusia punya keinginan, tetapi Allah mempunyai keputusan yang tak mungkin dapat kita ubah, mari kita senantiasa bertawakkal kepada Nya.


Rezeki Besar Orang Bodoh 





Waktu itu, hari Senin, pukul 07.30 WIB, saya dari Tanjungkarang berniat pergi ke Terminal Rajabasa, Bandar Lampung, untuk berjualan asongan. Ketika sedang menunggu angkot, tiba-tiba saya melihat sebuah dompet warna hitam tergeletak di tengah jalan. Beberapa sepeda motor dan mobil yang lewat telah melindas dompet itu. Karena, penasaran saya pun menghampiri dompet itu, tentu saja dengan bersusah payah karena lalu lintas pagi itu cukup padat dan beberapa pengendara sepeda motor banyak yang kebut-kebutan.
Setelah berhasil mendapatkan dompet itu saya buru-buru membukanya. Dan, ternyata di dalamnya berisi uang lima puluh ribu rupiah, KTP, SIM, STNK, ATM BCA, kartu mahasiswa dan sebuah jimat berbentuk keris mini (semar mesem?). Ketika temuan itu saya ceritakan pasa salah seorang teman, ia pun tertawa girang. Ia meminta bagian lima ribu rupiah. Katanya, menurut cerita dari orang tua, jika ia menemukan uang di jalan maka harus berbagi rezeki dengan teman, sebagai ‘buang sial’ agar nantinya uang kita tidak hilang.
Mendengar itu saya hanya tersenyum. Sebaliknya saya ingin mencari alamat pemilik dompet itu sebagaimana tercantum di KTP, karena dompet itu bukan milik saya dan saya tidak berhak untuk mengambil uangnya.
”Bodoh betul kamu! Tuhan telah memberimu rezeki besar tanpa harus memeras keringat. Jika dompet itu kamu kembalikan paling-paling kamu dikasih uang sepuluh ribu rupiah. Itu pun kalau orangnya tidak pelit-pelit amat. Mendingan uangnya kamu ambil dan dompetnya buang. Dasar bodoh!” makinya sambil menunjuk-nunjuk.
”Niat saya hanya ingin mengembalikan dompet itu dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan, karena itu bukan milik saya,” kata saya sambil berlalu dari hadapannya.
Keesokan harinya saya mencari alamat pemilik dompet itu dan dengan mudah dapat saya temukan. Saya mengetuk pintu sambil mengucap Assalamualaikum. Dengan ramah tuan rumah menjawab uluk salam dan mempersilakan saya masuk.
”Pak, Bu, maksud kedatangan saya kemari ingin mengembalikan dompet ini yang kemarin saya temukan di jalan,” kata saya membuka pembicaraan. Suami istri itu saling berpandangan sambil mengambil dompet yang saya letakkan di meja lalu memeriksa isinya.
”Memang benar ini dompet anak saya yang kemarin terjatuh waktu berangkat kuliah. Dia sudah mencarinya kemana-mana, bahkan sudah lapor polisi. Terima kasih, Nak, terima kasih!”
Mereka bergantian menyalami saya dan tangan saya pun diciumnya. Saya menjadi kikuk dan salah tingkah.
Kami mengobrol ke sana kemari ditemani secangkir teh manis dan kue kering, mulai dari soal politik sampai polah tingkah tukang copet di Terminal Rajabasa. Ketika saya berpamitan pulang, tiba-tiba tuan rumah menyelipkan amplop ke kantong baju saya sambil berbisik, ”Terimalah ini ala kadarnya dengan ikhlas, sabagai ungkapan rasa terima kasih kami.”
Sampai di rumah amplop itu saya buka. Alangkah terkejutnya saya mendapati isinya: uang dua ratus ribu rupiah! Hari itu juga saya menemui teman yang kemarin memaki-maki saya sebagai orang bodoh di terminal. Tanpa basa-basi saya masukkan ke kantong celananya selembar uang limapuluh ribu kemudian berlalu dari hadapannya. Ia berusaha menahan langkah saya.
”Ini uang buat saya?” tanyanya heran. ”Ya, buat kamu. Itu rezeki besar orang bodoh!” jawabku enteng. Ia tertawa ngakak sambil jingkrak-jingkrak dan menempelkan uang itu di jidat. Tobat… tobat!


Klakep 






KEMATIAN datang tanpa dinyana. Tanpa mengetuk pintu, tiada sinyal maupun aba-aba. Itu yang sering membuat gelo yang ditinggalkan; anak, istri, atau suami yang jadi sigaraning nyowo, belahan jiwa. Apalagi jika kematian itu menyisakan nadar yang belum terlaksana. Nyesal-nya sampai bulanan.
Minggu siang lalu, maut juga muncul tanpa diduga. Suasana resepsi pernikahan di rumah H. Tamri di Desa Jambu, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berubah jadi jerit tangis air mata. Sebuah tronton bermuatan 500 sak semen nggelondor mundur, lalu menghajar rumah itu.
Truk tersebut baru berhenti setelah menghantam gardu listrik dan menimbulkan ledakan dahsyat. Seorang saksi mata, Jarkoni, sempat berteriak: ”Masya Allah! Allahu Akbar! Minggir-minggir!” Toh, musibah itu tidak terelakkan. 17 orang tamu undangan tewas dan 13 orang luka-luka.
Sebenarnya, tronton yang mogok kurang lebih satu jam di tanjakan Kethekan –sekitar 50 meter dari lokasi musibah– itu sedang dibetulkan oleh sopirnya, Wawan. Rodanya diganjal balok kayu. Jarkoni sudah mengingatkan agar ditambahi pengganjal. Wawan tak menggubris. Musibah pun tak terhindarkan, walau mati adalah takdir.
Itu pula, mungkin, yang membuat orangtua sering mengingatkan agar punya ”bekal” kalau sewaktu-waktu dijemput maut. Tak mengherankan jika tiba-tiba teman saya, seorang seniman, di-SMS keluarganya. Isinya: ”Cepat pulang. Penting. Bapak mau bicara.”
Ada apa? Ternyata dia diwejang. Umur sudah hampir 40 tahun, tapi salat belum sempurna. Rupanya, itu yang membuat orangtua gelisah. Terlebih setelah orangtuanya mengikuti pengajian. Waktu itu, kepada kiai yang juga pemilik pondok pesantren, dia bertanya: ”Kiai sudah bisa salat atau belum?”
Sang kiai menjawab polos: ”Belum!” Lho, jadi kiai kok belum bias salat? Diakui secara jujur bahwa salatnya sering sekadar njengkang-njengking tapi batinnya melayang entah ke mana. Pengakuan jujur itu yang membuat ayah si seniman mengacungkan jempol. Salut. Berarti kiai ini menyadari yang benar dan yang salah.
Sejak itu, rahasia kehidupan yang dicari sejak muda hingga menjelang 70 tahun seakan terjawab. Itu yang membuat dia buru-buru meng-SMS anaknya yang seniman. Dia diwejang agar tidak hidup dalam kegelapan. Agar mengerti kebenaran. Harus sunyi dari pamrih. Tidak iri hati, sebab iri ibarat api yang membakar kebaikan.
Pendeknya, manusia itu harus bisa mengekspresikan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya. Theodore Roszack, seorang tokoh mistik, pernah mengatakan pada diri manusia itu ada ruang spiritual yang kalau ruang itu tidak diisi dengan hal-hal baik, secara otomatis akan diisi hal-hal buruk.
Hati akan menjadi semakin bening jika ucapan dan hati sejalan. Perbanyaklah zikir, yang dengan rendah hati merasakan keagungan Allah. Mintalah selalu ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al- mustaqim) yang tak hanya horizontal juga vertikal. ”Dalam pemahaman saya, frekuensi saya harus sesuai dengan frekuensi Allah,” kata si seniman.
Artinya, dia selalu menyadari dalam pengawasan Allah. Itu sebabnya, pergi ke mana saja, jika waktu salat sudah masuk –dan belum salat– seniman ini gelisah. Sepertinya dia sedang menuju kehidupan sejati yang ”tak tersentuh” oleh kematian, saking dekatnya dengan Ilahi.
Dia ingin dekat pada Allah secara total. Dia ingin mati dengan membawa ”bekal”. Dia tak ingin tertipu oleh angan-angan panjang, oleh kepongahan duniawi. Apalagi, siksa kubur itu bukan omong kosong. Perubahan drastis itu, tak urung membuat rekan-rekannya heran.
Memang, dalam sebuah pengajian, Kiai Syarif Hidayatullah dari pondok Nurul Huda, Sragen, Jawa Tengah, pernah mengajak jamaahnya menyimak siksa kubur. ”Saya mau bercerita tentang siksa kubur. Tapi, saya minta semua diam dan tenang,” katanya. Cep klakep. Sekitar 1.000 jemaah kontan tak bercuap.
Di saat hening itulah, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang wanita. ”Sampeyan dengar? Itulah tangisan siksa kubur,” kata Kiai Syarif. Tangisan perempuan di malam Jumat Legi itu membuat orang terlarut dalam pikiran masing-masing. Siapa yang menangis dan mengapa dia menangis?
”Mari kita cari suara tangisan itu. Kita doakan bersama-sama agar siksa kuburnya diringankan Allah,” ujar Kiai. Lima orang santri pondok diminta menjadi ”penunjuk jalan” menelusuri arah tangisan tersebut. Para jamaah mengikuti dari belakang.
Suara itu makin lamat-lamat, walau sumbernya jelas: dari sebuah kuburan baru di pinggir desa. Tanah kubur itu belum ditumbuhi rumput. Lalu ramai-ramai mereka jongkok, berdoa, dan terlarut dalam emosi masing-masing. Surat Al-Fatihah, Alam Nasyrah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, serta salawat Nabi dilantunkan.
Gemuruh doa itu terdengar hingga meluruhkan tangisan dari dalam kubur. Di atas kubur, justru para ibu yang menangis. Mungkin trenyuh, mungkin menyesali perbuatan yang lalu. Makanya, Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ziarahilah kubur, karena itu akan mengingatkanmu akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena mengurus jasad yang tidak bernyawa merupakan pelajaran yang sangat berharga.”
Sepulang dari pengajian masing-masing orang punya kesan sendiri. ”Saya betul-betul merinding,” ujar Joko, seorang santri. Sejak itu hamba Allah ini selalu berusaha tidak batal dari wudhu. Jika melihat atau mendengar ada orang kena musibah, misalnya, dengan enteng ia mengirim Al-Fatihah: ”Semoga penderitaannya diringankan Allah.”
Cerita tentang siksa kubur memang sering membawa makna yang dalam. Perenungan tentang mati yang terus menerus juga bisa mengobati dari kelumpuhan spiritual. Jangan heran jika rekan saya yang seniman belakangan ini ingin selalu ”dekat” dengan Ilahi. Dan, itu nikmat!

Busuknya Sebuah Kebencian 





Seorang Ibu Guru taman kanak-kanak ( TK ) mengadakan “permainan”. Ibu Guru menyuruh tiap-tiap muridnya membawa kantong plastik transparan 1 buah dan kentang. Masing-masing kentang tersebut diberi nama berdasarkan nama orang yang dibenci, sehingga jumlah kentangnya tidak ditentukan berapa … tergantung jumlah orang-orang yang dibenci.
Pada hari yang disepakati masing-masing murid membawa kentang dalam kantong plastik. Ada yang berjumlah 2, ada yang 3 bahkan ada yang 5. Seperti perintah guru mereka tiap-tiap kentang diberi nama sesuai nama orang yang dibenci. Murid-murid harus membawa kantong plastik berisi kentang tersebut kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun, selama 1 minggu.
Hari berganti hari, kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang membawa 5 buah kentang, selain berat baunya juga tidak sedap.
Setelah 1 minggu murid-murid TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.
Ibu Guru, “Bagaimana rasanya membawa kentang selama 1 minggu ?”
Keluarlah keluhan dari murid-murid TK tersebut, pada umumnya mereka tidak merasa nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut ke manapun mereka pergi.
Guru pun menjelaskan apa arti dari “permainan” yang mereka lakukan.
Ibu Guru, “Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi. Itu hanya 1 minggu. Bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup ? Alangkah tidak nyamannya …”

Berhentilah Sejenak 




Suatu ketika, tersebutlah seorang pengusaha muda dan kaya. Ia baru saja membeli mobil mewah, sebuah BMW seri 7 merah metalic. Kini, sang pengusaha, sedang menikmati perjalanannya dengan mobil baru itu,dengan kecepatan penuh. Di pinggir jalan, tampak beberapa anak yang sedang bermain. Namun, karena berjalan terlalu kencang, tak terlalu diperhatikannya anak-anak itu. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang melintas dari arah mobil-mobil yang di parkir di jalan. Tapi, bukan anak-anak itu yang tampak melintas. Aah…, ternyata, ada sebuah batu yang menimpa mobil BMW-nya.
Sisi pintu mobil itupun koyak, tergores batu yang dilontarkan seseorang. Cittt….ditekannya rem mobil kuat-kuat. Dengan geram dan bersumpah serapah, di mundurkannya mobil itu menuju tempat arah batu itu dilemparkan. “Kurang ajar!!”. Amarahnya memuncak. Dia pun keluar mobil dengan tergesa-gesa. Di tariknya seorang anak yang paling dekat, dan di pojokkannya anak itu pada sebuah mobil yang diparkir.
“Apa yang telah kau lakukan!!! Lihat perbuatanmu pada mobil kesayanganku!! Lihat goresan itu”, teriaknya sambil menunjuk goresan di sisi pintu.
“Kamu tahu nggak, mobil baru semacam itu akan butuh banyak ongkos di bengkel kalau sampai tergores.” Ujarnya lagi dengan geram, tampak ingin memukul anak itu.
Sang anak tampak ketakutan, dan berusaha meminta maaf. “Maaf Pak, maaf. Saya benar-benar minta maaf. Sebab, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa.”
Air mukanya tampak ngeri, dan tangannya bermohon ampun. “Maaf Pak, aku melemparkan batu itu, karena tak ada seorang pun yang mau berhenti….”
Dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi dan leher, anak tadi menunjuk ke suatu arah, di dekat mobil-mobil parkir tadi. “Itu disana ada kakakku. Dia tergelincir, dan terjatuh dari kursi roda. Aku tak kuat mengangkatnya, dia terlalu berat. Badannya tak mampu kupapah, dan sekarang dia sedang kesakitan..”Kini, ia mulai terisak. Dipandanginya pengusaha tadi. Matanya berharap pada wajah yang mulai tercenung itu. “Maukah Bapak membantuku mengangkatnya ke kursi roda? Tolonglah, kakakku terluka, tapi dia terlalu berat untukku.”
Pengusaha muda itu terdiam. Kerongkongannya tercekat. Ia hanya mampu menelan ludah. Segera, di angkatnya anak yang cacat itu menuju kursi rodanya. Kemudian, diambilnya sapu tangan mahal miliknya, untuk mengusap luka di lutut anak itudan dioleskannya Betadine. Memar dan tergores, sama seperti sisi pintu BMW kesayangannya. Setelah beberapa saat, kedua anak itu pun berterima kasih.
“Terima kasih, dan semoga Allah akan membalas perbuatan Tuan.” Begitu katanya…
Keduanya berjalan beriringan, meninggalkan pengusaha yang masih nanar menatap kepergian mereka. Matanya terus mengikuti langkah sang anak yang mendorong kursi roda itu, melintasi sisi jalan menuju rumah mereka.
Berbalik arah, pengusaha tadi berjalan sangat perlahan menuju BMW miliknya.Disusurinya jalan itu dengan lambat, sambil merenungkan kejadian yang baru saja dilewatinya. Kerusakan yang dialaminya bisa jadi bukanlah hal sepele. Namun, ia memilih untuk tak menghapus goresan itu. Ia memilih untuk membiarkan goresan itu, agar tetap mengingatkannya pada hikmah ini. Ia menginginkan agar pesan itu tetap nyata terlihat:
“Janganlah melaju dalam hidupmu terlalu cepat, karena, seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu.”
***
Sahabat, sama halnya dengan kendaraan, hidup kita akan selalu berputar dan dipacu untuk tetap berjalan. Di setiap sisinya, hidup itu juga akan melintasi berbagai macam hal dan kenyataan. Namun, apakah kita memacu hidup kita dengan cepat… mengejar karir dan harta, pergi jam 6 pulang jam 11 malam, sehingga tak pernah ada masa buat kita untuk menyelaraskannya untuk melihat sekitar? Kita kadang memang terlalu sibuk dengan bermacam urusan, hingga terlupa pada banyak hal yang melintas di sekitar kita.
Sebagai orang yang terpelajar dan dikaruniai kelebihan, mungkin kita ingin serba cepat belajar, bergelar, dan menjadi maju. Celaan pun kita lontarkan untuk mereka yang malas danbodoh. Sebagai orang yang sukses berkarir, mungkin kita akan terus haus dengan jabatan danmengejar kekayaan. Cibiran pun kita sandangkan pada mereka yang tidak sekayadanseperlente kita. Sebagai orang yang dikaruniai hidayah, mungkin kita juga rajin sholat danberamal .. tanpa mengajak mereka yang kita anggap awam, tidak taat beragama,dan ahli maksiat. Namun, apakah kita ingin pintar, ingin maju, ingin kaya, ingin masuk surga .. sendirian saja??
Sahabat, kadang memang, ada yang akan “melemparkan batu” buat kita agar kita mau dan bisa berhenti sejenak. Semuanya terserah pada kita. Mendengar bisikan-bisikan dan kata-kata-Nya, atau menunggu ada yang melemparkan batu-batu itu buat kita.

Kisah Masuk Islamnya Seorang Dokter Amerika Karena Satu Ayat Al-Qur’an 





Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita kepadaku tentang kisah masuknya seorang dokter Amerika ke dalam Islam. Dari apa yang kuingat dari kisah yang indah ini adalah : Kisah ini terjadi pada salah satu rumah sakit di Amerika Serikat.
Di rumah sakit tersebut, seorang dokter muslim bekerja dengan keilmuan yang sangat baik, sehingga memberi pengaruh besar untuk mengenal beberapa dokter Amerika. Dan dia, dengan kemampuan tersebut mengundang decak kagum mereka. Diantara para dokter Amerika ini, dia mempunyai satu teman akrab yaitu orang yang memiliki kisah ini. Mereka berdua selalu bertemu dan keduanya bekerja pada bagian persalinan.
Pada suatu malam, di rumah sakit tersebut terjadi dua peristiwa persalinan secara bersamaan. Setelah kedua wanita itu melahirkan, dua bayi tersebut tercampur dan tidak ada yang mengetahui masing-masing pemilik kedua bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu. Kerancuan ini terjadi disebabkan kecerobohan perawat yang seharusnya dia menulis nama ibu pada gelang yang diletakkan di tangan kedua bayi tersebut. Dan ketika kedua dokter tersebut tahu bahwa mereka berada dalam kebingungan; Siapakah ibu bayi laki-laki dan siapakah ibu bayi perempuan, maka dokter Amerika berkata kepada dokter Muslim, ”Engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu dan engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur’an itu mencakup semua permasalahan-permasalahan apapun. Maka tunjukkanlah kepadaku cara mengetahui siapa ibu dari masing-masing bayi ini..!!”
Dokter Muslim itupun menjawab, ”Ya, Al-Qur’an telah menerangkan segala sesuatu dan akan aku buktikan kepadamu tentang hal itu. Biarkan kami mendiagnosa ASI kedua ibu dan kami akan menemukan jalan keluar.” Setelah nampak hasil diagnosa, dengan sangat percaya diri dokter muslim itu memberitahu temannya si dokter Amerika, siapakah ibu sebenarnya dari masing-masing bayi tersebut…!!!!
Dokter Amerika itupun terheran-heran dan bertanya, ”Bagaimana kamu tahu?”
Dokter Muslim menjawab ”Sesungguhnya hasil yang nampak menunjukkan bahwasanya kadar banyaknya ASI pada payudara ibu si bayi laki-laki dua kali lipat kandungannya dibanding ibu si bayi perempuan. Perbandingan kadar garam dan vitamin pada ASI si ibu bayi laki-laki itu juga dua kali lipat dibanding ibu si bayi perempuan.” Kemudian dokter muslim tersebut membacakan ayat Al-Qur’an yang dia jadikan dasar argumen dari jalan keluar itu,
”Bagi laki-laki seperti bagian dua perempuan.” (QS. An-Nisa:11)
Dan setelah mendengarkan dokter Amerika itu arti ayat tersebut, dia jadi bengong, dan dia menyatakan keislamannya secara spontan tanpa ragu-ragu. Subhanallah, Maha Suci Allah Robb semesta alam.

Mukena Untuk Syana 





Detik ini aku berada di sebuah kamar yang sumpek dengan tempat tidur yang tidak empuk lagi, seperti tidur di papan saja. Walaupun begitu aku tetap saja memilih menyendiri di kamar ini dan mengunci pintu rapat-rapat. Aku kesal sekali hari ini. Kesal dengan mereka. Ayah, ibu, kakek, dan nenekku. Dasar orang tua dan anak sama saja sifatnya. Like father like son.
Aku sudah membayangkan betapa meriahnya pesta teman-temanku di Bali. Aku dan teman-teman sudah menyiapkan pesta gila-gilaan selama berbulan-bulan. Capek, benar-benar capek. Aku yang paling mati-matian menyiapkan pesta ini. Aku sudah booking kamar hotel, sampai pernah ke Bali sendiri melakukan survey tempat biar tidak mengecewakan teman-teman.
Itu semua sudah kandas. Pesta yang kurencanakan dan kusiapkan selama berbulan-bulan kandas. Tidak ada kamar hotel yang empuk, tidak ada dugem yang sudah kuimpi-impikan, tidak ada hingar bingar musik, tidak ada teriakan dan ocehan teman-teman gaulku. Semuanya sudah kandas!. Rangkaian kata-kata yang berisi permintaan ijin ortu untuk main ke rumah teman saat liburan sudah tidak bermanfaat lagi. Ayah ibuku mengetahui rencanaku. Aku tahu pasti ada yang membocorkan rencanaku. Hasilnya, liburan tahun ini, aku dibuang di sini. Di tempat kakek nenek. Sebuah desa yang sangat sepi dan membosankan. Rumah kakek nenekku benar-benar menjadi tempat pengasinganku. Tanpa HP, tanpa telepon rumah, tanpa teman-teman dekatku, tanpa kemewahan yang sering kudapat di kota, tanpa semua yang kuinginkan. Aku benar-benar bisa gila dengan semua ini.
“Syan, buka pintu, nak. Sudah waktunya makan siang. Kamu belum makan dari pagi, nak”, suara nenekku mampu membangunkanku dari lamunanku.
“Nggak! Syana nggak mau makan. Nggak lapar.” Jawabku dengan ketus. Nenekku sebenarnya sangat baik. Lebih baik dari ibuku. Setidaknya, nenek selalu menyempatkan diri buat ngurus orang-orang di sekitarnya. Tidak seperti ibu yang selalu sibuk dengan arisan, ngerumpi ke tetangga, jalan-jalan dan ngabisin uang ke mall, bla bla bla, de el el. So what gitu loh kalau aku juga ngehabisin waktu buat main sama temen-temenku. Gak ada bedanya,kan ?
Kakekku juga lebih baik dari ayahku. Walaupun hanya lulusan Sekolah Rakyat, dia adalah orang yag sangat keren bila diajak bicara. Tidak seperti ayahku, seorang sarjana denagn predikat cum laude. Orang yang sangat dingin. Tidak pernah mendengar alasan putrinya. Diktator. Jahat, selalu benar… menurutku.
Kakek, nenek, ayah, ibu sekarang sama. Semuanya sama. Tidak ada yang baik. Fyiuh!! Kenapa aku harus seperti ini ? Cuman karena tidak bisa main bareng temen, aku menyamakan kakek nenek dengan ortuku? Lapar. Aku kelaparan. Aku belum makan sejak kemarin. Sejak aku berangkat dari rumah menuju tempat pembuangan ini. Ihh aku ingin makan, tapi aku lagi marah. Kesel sebel. Bila sudah sebel, aku tahan nggak makan.
“Syan…Ini kakek, kalo nggak mau makan, sholat dulu gih. Udah jam satu,” kini gantian suara serak kakekku yang muncul dari balik pintu. Hah… sholat? Sejak kapan aku sholat ? Kakek dan nenek pasti bercanda. Mereka sudah tahu kalau aku bukan tipe orang yang melakukan ibadah itu. Lucu, benar-benar lucu.
“Syan nggak sholat! “ teriakku.
“Ya udah, kalau gitu. Nenek mau sholat dulu. Syan kalau mau makan ambil sendiri yah,”
“Nek, Syan nggak pernah sholat,” jawabku mempertegas jawabanku tadi.
“Syan….!” suara nenekku lirih. Nenek nangis. Aku nggak habis pikir. Kakek nenek adalah orang-orang yang sangat taat beragama, tapi tidak satupun anak-anak mereka yang alim. Termasuk ayahku, putra pertama mereka.
Masih kudengar suara tangisan nenekku dari balik pintu. Aku paling nggak tahan mendengar tangisan. Kudengar juga suara kakek yang berusaha menenangkan nenek. Aku bingung, sebel sama diriku sendiri. Kuangkat tubuhku dan berjalan menuju pintu. Kubuka pintu perlahan.
“Syan…,” ucap nenek dan langsung memelukku sesaat setelah kubuka pintu.
“Nek, Syan nggak bawa mukena,” ucapku.
“Pake punya nenek, Syan.”
Aku sholat diimami nenek. Air mata nenek membasahi sajadahnya, aku terbawa suasana. Ini adalah sholat pertamaku sejak SMP. Kini aku sudah kelas dua SMA. Sholat terakhir yang kulakukan saat SMP adalah sholat karena ujian praktek agama. Ahhh seburuk itukah aku?
“Nek, maapin Syan yaa.” Ucapku seusai sholat, disambut senyuman lembut nenekku.
**
Sudah seminggu aku tinggal di rumah kakek nenek. Pagi ini sudah saatnya pulang. Jam kuno di ruang tamu berdentang enam kali. Sedih sekali meninggalkan tempat ini. Tempat yang kubenci saat hari pertama aku menginjakkan kaki di sini, kini menjadi tempat yang sangat berat kutinggalkan.
Delman yang akan mengantarkanku menuju terminal sudah datang. Kakek ikut mengantarkanku sampai terminal. Nenek tidak bisa ikut mengantarkan karena pagi ini rumah nenek mendapat giliran tempat untuk pengajian desa. Sedih sekali harus berpisah dengan nenek. Sebelum pulang, kucium tangan nenek dan kupeluk tubuh nenek yang lebih kecil dariku.
“Syan, kalau udah pake jilbab, nggak perlu pake topi !” nenek membuka topiku lalu menjitak kepalaku.
“Syan, topinya buat kakek aja ya!” seloroh kakekku, disambut tawa nenek.
“Assalamualaikum, nek…!”
Delman membawaku pergi meninggalkan nenek. Tubuh nenek mengecil dan menghilang. Nek, i will miss u.
“Ehh katanya kamu bukan bocah cengeng ! udah.. udah. Kalau liburan ke sini, ya. Sebentar lagi kalau udah musim panen, kakek ma nenek juga mau datang ke rumahmu.” Ucap kakek sambil memakaikan topi ke kepalaku.
“Bener, janji lho. Oleh-olehnya yang banyak.” Jawabku.
“Eh.. kata nenek, ‘kalau udah pake jilbab, nggak perlu pake topi’, hehe,” ucapku sambil meniru gaya bicara nenek yang lirih. Kulepas topiku.
“Kubilangin nenekmu lhoo.”
“Bilangin aja weeeeee…”
**
Capek. Udah gonta-ganti bus sampai tiga kali. Untung nggak tersesat. Maklum, aku pergi ke desa diantar temen ayah pake mobil. Akhirnya sampai juga aku di kota Solo tercinta. Kulihat jam tanganku. Wahh sudah jam dua lebih. Aku belum sholat Dhuhur. Kucari mushola. Penuh dan sesak. Ya udah jalan satu-satunya yaitu cepat-cepat mencari taksi and go home soon. Alhmdulillah. sampai di rumah juga, setelah kurang dari 15 menit perjalanan. Agak ragu aku memasuki rumah. Kuketuk pintu rumah.
“Assalamualaikum.” Kebiasaan salam yang kudapat selama seminggu di rumah nenek tak sengaja keluar dari mulutku.
Ibu membukakan pintu tanpa menjawab salam. Ibu bengong meihatku. Segera kucium tangan ibu.
Di ruang tengah, ayah hanya terdiam tanpa suara. Seperti biasanya. Dingin.
“Ibu, maapin Syan ya.”
Kulihat jam menunjukkan pukul 14.30. Aku belum sholat Dhuhur. Segera kuberlari ke lantai atas menuju kamar mandi lalu ke kamar. Kucari mukenaku. Ahh akhirnya ketemu juga. Mukena satu-satunya sejak SMP. Coba kukenakan. Hmm..kekecilan. Atasannya hanya menutup setengah lenganku. Bawahannya tidak mampu menutupi kakiku. Ya Allah, untuk menghadapMu pun aku tak punya pakaian yang layak. Beberapa menit lagi suara adzan Ashar akan berkumandang. Aku masih berdiri terpaku, bingung. Di lantai bawah. Kudengar mulai ada teriakan-teriakan.
“Aku sudah bilang. Bukan jalan baik ngirim anakmu ke rumah orang tuaku. Dia sudah teracuni. Mending dulu kau biarkan saja dia minggat ke Bali! “ ucapan ayahku terdengar jelas. Membuatku tambah bingung.
“Ayah, setidaknya dia nggak bersama anak-anak nakal. Iyya,kan.!” Jawab ibuku tak kalah kerasnya.
Ayah, ibu…….aku sayang kalian. Aku tak ingin gara-gara aku kalian bertengkar. Kudengar ketukan pintu dan suara ayah ibuku dari balik pintu.
“Syan.. buka pintu. Ayah dan ibu mau bicara.” Suara ibuku terdengar dari balik pintu.
Ragu tapi kubuka pintu kamarku. Mukena yang kekecilan masih melekat di tubuhku. Ayah dan ibu hanya terdiam membisu melihatku.
“Syan mau sholat tapi mukenanya kekecilan.” Ucapku.
Tak ada reaksi dari ayah dan ibuku. Sementara sayup-sayup terdengar suara adzan menunjukkan waktu sholat Ashar telah tiba.
“Syan berangkat dari rumah nenek tadi pagi. Belum sholat Dhuhur. Sekarang sudah Ashar. Syan nggak tahu cara menjamak sholat.” Ucapku lirih. Aku tak sengaja mengeluarkan air mata di depan ayah ibuku, sesuatu yang tidak pernah kulakukan dan menjadi pantangan bagiku.


Menjemput Maut 





Alkisah menurut shirah, pernah Nabi Ibrahim as berdialog dengan Malaikat Maut soal sakratulmaut. Sahabat Allah itu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?”
Malaikat menjawab pendek: “Engkau tak akan sanggup.”
“Aku pasti sanggup,” tegas beliau.
“Baiklah, berpalinglah dariku,” pinta si Malaikat.
Saat Nabi Ibrahim as berpaling kembali, di hadapannya telah berdiri sesosok makhluk berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk, dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim as jatuh pingsan!
Ketika tersadar kembali, beliau pun berkata kepada Malaikat Maut, “Wahai Malaikat Maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya.”
Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas ini, menceritakan Nabi Ibrahim as meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim as, Malaikat Maut pun mengubah wujudnya. Maka di hadapan Nabi yang telah membalikkan badannya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah dan menyebar aroma wewangian yang sangat harum.
“Seandainya orang beriman melihat rupamu di saat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan amal baiknya,” kata Nabi Ibrahim as.

Pengidap Kanker Sembuh Atas Izin Allah 

 



Wanita Pengidap Kanker Divonis Mati Oleh Dokter, Tapi Sembuh Atas Izin Allah
Ini adalah kisah yang patut dijadikan pelajaran zaman. Kisah seorang wanita bernama, Laila al-Hulw yang sebelumnya tidak penah mengingat Allah dan lupa kepada-Nya. Suatu ketika, ia diberi cobaan dengan penyakit yang menakutkan dan menjijikkan sekaligus mematikan. Barulah setelah itu, ia tersadar dan menyadari bahwa hanya Allah lah tempat berlindung dan memohon. Dia lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Yang Maha menyembuhkan. Kemudian ia habiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada-Nya di rumah-Nya, Baitullah al-Haram dan di sanalah terjadi kejadian aneh yang akhirnya merubah kehidupannya secara total.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak penuturannya:
Sudah 9 tahun aku mengidap penyakit yang sangat mengerikan sekali, yaitu penyakit kanker. Semua orang pasti tahu bahwa nama ini sangat menakutkan. Di negeriku, Maroko, orang tidak menyebutnya penyakit as-Sarathan (kanker) tetapi disebut ‘momok’ (al-Ghawl) alias ‘penyakit kotor (al-Maradl al-Khabits).
Penyakit ini mengenai bagian payudaraku. Sebelumnya, tingkat keimananku kepada Allah sangatlah lemah; aku lalai dari mengingat Allah. Aku mengira bahwa kecantikan seseorang akan abadi selama hidupnya dan masa muda dan kesehatannya juga demikian. Aku sama sekali tidak mengira akan menderita penyakit yang amat berbahaya, kanker. Namun setelah aku benar-benar menderita penyakit ini, jiwaku menjadi sangat guncang. Aku berpikir bagaimana bisa menghindar darinya tetapi hendak kemana? Sementara penyakitku ini akan selalu bersamaku di mana pun aku berada. Aku juga pernah berpikir untuk bunuh diri namun aku masih mencintai suami dan anak-anakku. Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa Allah akan menyiksaku bilamana aku jadi bunuh diri -sebagaimana yang aku jelaskan tadi- sebab aku orang yang lalai dari mengingat Allah.
Rupanya, melalui penyakit ini Allah ingin memberikan hidayah kepadaku dan melalui perantaraanku pula, Dia memberikan hidayah kepada banyak orang. Setelah itu, mulai semua urusan berkembang.
Ketika menderita penyakit tersebut, aku bersama suamiku pergi ke Belgia untuk berobat dan di sana aku mendatangi beberapa orang dokter terkenal namun mereka semua hampir sepakat mengatakan kepada suamiku bahwa payudaraku harus dihilangkan.
Tidak sebatas itu, aku juga harus menggunakan obat-obat dengan dosis tinggi di mana efek sampingnya dapat merontokkan rambut, melenyapkan bulu mata, kedua alis mata, menumbuhkan seperti jenggot di atas wajah bahkan merontokkan juga kuku dan gigi. Karena itu, aku menolaknya sama sekali seraya berkata, “Aku lebih baik mati dengan tetap memiliki payudara dan rambut serta semua apa yang diciptakan Allah untukku dari pada harus cacat. Lalu aku meminta kepada para dokter agar membuat resep pengobatan ringan untukku dan mereka pun mengabulkannya.
Kemudian aku kembali ke negeriku, Maroko dan aku gunakanlah obat yang diberikan para dokter tersebut. Ternyata obat itu tidak memiliki efek samping apa pun dan ini membuatku senang. Aku berkata pada diriku, “Barangkali saja para dokter itu salah dalam mendiagnosa dan aku sebenarnya tidak menderita penyakit kanker itu.”
Akan tetapi, setelah kira-kira enam bulan kemudian, aku mulai merasakan susutnya berat badanku, warna kulitku banyak berubah dan merasakan berbagai keluhan sakit. Yah, sakit yang selalu bersamaku. Lalu dokter pribadi kami di Maroko menyarankanku agar pergi ke Belgia, maka aku pun berangkat ke sana bersama suami.
Di sanalah, seakan bencana itu benar-benar tiba. Para dokter malah berkata kepada suamiku, “Penyakitnya sudah menyerang seluruh tubuhnya, termasuk kedua paru-paru.” Mereka menyatakan tidak memiliki resep apa pun yang dapat menyembuhkan kondisi yang aku alami tersebut. Kemudian mereka berkata kepada suamiku, “Sebaiknya, anda bawa kembali isterimu ini ke negerimu hingga ia menemui ajalnya di sana.”
Suamiku kaget alang kepalang mendengar pernyataan itu dan tidak mudah percaya begitu saja dengan ucapan mereka. Karena itu, kami bukannya pulang ke Maroko seperti yang disarankan tetapi malah ke Perancis. Kami mengira bahwa pasti ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakitku itu. Namun, kami tidak mendapatkan apa-apa sehingga akhirnya kami sangat ingin sekali untuk meminta tolong kepada seseorang di sana agar aku dimasukkan ke rumah sakit untuk menghilangkan payudaraku dan menggunakan obat-obat berdosis tinggi itu.
Akan tetapi, suamiku rupanya ingat sesuatu yang selama ini kami lupakan bahkan sepanjang hidup kami. Allah telah memberikan ilham kepada suamiku agar kami berziarah ke Baitullah al-Haram di Mekkah. Kami harus berdiri di hadapan-Nya guna memohon disembuhkan dari penyakit yang aku derita ini. Kami pun melakuan hal itu.
Kami berangkat dari Paris seraya bertahlil dan bertakbir. Aku sangat gembira sekali karena untuk pertama kalinya memasuki Baitullah al-Haram dan melihat Ka’bah yang dimuliakan. Di sebuah toko di kota Paris, aku membeli sebuah mushaf dan setelah itu, kami berangkat menuju Mekkah al-Mukarramah.
Akhirnya, kami sampai juga di Baitullah al-Haram. Tatkala sudah masuk dan melihat Ka’bah, aku banyak menangis karena menyesali atas perbuatanku yang telah lalu. Aku sudah tidak pernah melakukan berbagai kewajiban yang diperintahkan Allah; shalat, puasa, kekhusyu’an dan pasrah diri kepada-Nya.
Aku berkata, “Wahai Rabb, pengobatan terhadap penyakitku sudah membuat tak berdaya para dokter. Sedangkan penyakit itu berasal dari-Mu dan Engkau pulalah Yang Memiliki obatnya. Semua pintu telah tertutup di hadapanku, yang tinggal hanyalah pintu-Mu saja. Karena itu, janganlah Engkau kunci pintu-Mu dati hadapanku.”
Aku pun melakukan thawaf di Ka’bah dan banyak memohon kepada-Nya agar Dia tidak menyia-nyiakan harapanku dan tidak menghinakanku serta dapat membuat tercengang para dokter yang telah memvonisku.
Seperti yang telah aku katakan tadi, dulu aku orang yang lalai dari mengingat Allah dan jahil terhadap agama-Nya. Karena itu, aku mendatangi beberapa ulama dan syaikh yang berada di sana seraya meminta mereka menunjukiku buku dan doa yang mudah dan ringkas untuk aku jadikan pegangan. Lalu mereka menasehatiku agar banyak-banyak membaca al-Qur’an dan meminum air zam-zam sepuas-puasnya. Mereka juga menasehatiku agar memperbanyak berdzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW.
Berada di Baitullah, aku merasakan ketenangan jiwa yang luar biasa. Karena itu, aku minta izin kepada suamiku untuk tetap tinggal di al-Haram dan tidak pulang ke hotel. Dia pun mengizinkanku.
Di al-Haram kebetulan ada beberapa saudariku seiman dari Mesir dan Turki yang menjadi tetanggaku duduk-duduk. Mereka sering melihatku sedang menangis lalu bertanya perihal sebab aku menangis. Aku menjawab, “Karena aku sudah sampai di Baitullah padahal aku tidak mengira akan demikian mencintainya seperti sekarang ini. Kedua, karena aku mengidap kanker.”
Lalu mereka menemaniku dan tidak ingin berpisah. Aku beritahukan kepada mereka bahwa aku berniat I’tikaf di rumah Allah ini. Maka, mereka pun memberitahu kepada suami-suami masing-masing untuk meminta izin tinggal bersamaku. Kami tidak pernah memejamka mata, tidak makan kecuali hanya sedikit. Kami hanya banyak minum air zam-zam sebab di dalam hadits, Nabi SAW, bersabda, “Air zam-zam itu sesuai dengan (tujuan/niat) meminumnya.” (Hadits Shahih, HR.Ibn Majah dan lainnya) Meminumnya karena niat agar disembuhkan, maka Allah akan menyembuhkan anda, meminumnya karena niat agar hilang dahaga, maka Allah akan menghilangkan dahaga anda dan meminumnya karena niat agar berlindung kepada Allah, maka Dia akan melindungi anda.
Benar, Allah telah menghilangkan rasa lapar kami dan kami terus melakukan thawaf. Kami melakukan shalat dua raka’at, lalu mengulangi thawaf lagi. Kami meminum air zam-zam dan memperbanyak bacaan al-Qur’an. Demikianlah, siang dan malam, kami hanya sedikit tidur. Ketika aku sampai di Baitullah, tubuhku kurus sekali, pada sebagian tubuhku bagian atas banyak sekali tumbuh bintik-bintik dan benjolan-benjolan yang menandakan bahwa kanker telah menyerang seluruh anggota badanku bagian atas. Mereka menasehatiku agar membasuh separuh tubuhku bagian atas dengan air zam-zam akan tetapi aku takut bila menyentuh benjolan-benjolan dan bintik-bintik itu, aku akan teringat sakit lantas membuatku terlena dari berdzikir dan beribadah kepada Allah. Aku pun membasuhnya tetapi tanpa menyentuh tubuhku.
Pada hari ke-lima, teman-temanku itu memaksaku agar menyapu seluruh tubuhku dengan sedikit air zam-zam. Pada mulanya, aku menolak tetapi tiba-tiba aku merasa mendapatkan kekuatan yang mendorongku untuk mengambil sedikit air zam-zam lalu menyapunya ke tubuhku. Saat pertama kali, aku merasa cemas, kemudian aku merasakan ada kekuatan lagi, tetapi masih ragu-ragu namun ketika untuk kali ketiganya tanpa terasa aku memegang tanganku lalu menyapu air zam-zam ke tubuh dan payudaraku yang mengeluarkan darah, nanah dan bintik-bintik. Di sinilah, terjadi sesuatu yang tidak pernah aku sangka-sangka. Rupanya, semua bintik-bintik itu lenyap seketika dan aku tidak menemukan sesuatu pun di tubuhkku, tidak rasa sakit, darah atau pun nanah.!!
Pada awal mulanya, aku betul-betul kaget. Karenanya, aku masukkan kembali kedua tanganku ke dalam bajuku untuk mencari penyakit yang dulu bersarang di tubuhku, namun aku tidak mendapatkan sedikit pun benjolan-benjolan itu. Bulu kudukku merinding saking kagetnya, akan tetapi barulah aku teringat bahwa Allah Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu. Lalu aku meminta salah seorang temanku untuk menyentuh tubuhku dan mencari bintik-bintik dan benjolan-benjolan, barangkali saja ada. Tiba-tiba mereka berterik tanpa sadar, “Allahu Akbar, Allahu Akbar.!”
Tak berapa lama setelah itu, aku tidak kuasa lagi untuk segera pulang dan memberitahukan perihal tersebut kepada suamiku. Aku memasuki hotel tempat kami menginap, dan begitu sudah berdiri di hadapan matanya, aku robek bajuku seraya berkata, “Lihatlah rahmat Allah.!” Kemudian aku memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi tetapi ia tidak percaya. Ia menangis dan berteriak dengan suara kencang, “Tahukah kamu bahwa para dokter tempo hari telah bersumpah atas kematianmu setelah tiga minggu saja.?” Lalu aku berkata, “Sesungguhnya ajal itu di tangan Allah Ta’ala dan tidak ada yang mengetahui hal yang ghaib selain Allah.”
Setelah itu, kami tinggal di Baitullah selama seminggu penuh. Selama masa-masa itu, aku tidak putus untuk memuji dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya yang demikian tidak terhingga. Kemudian kam mengunjungi masjid nabawi untuk melakukan shalat dan berziarah kepada Rasulullah SAW, lalu setelah itu kembali ke Perancis.
Di sana, para dokter tampak benar-benar kaget dan bingung alang kepalang melihat kejadian aneh yang menimpaku. Mereka antusias bertanya, “Apakah benar anda ini si ibu tempo hari yang pernah datang kemari.?” Lalu dengan penuh rasa bangga, aku tegaskan kepada mereka, “Ya, benar dan si fulan itu adalah suamiku. Aku telah kembali kepada Rabbku dan aku tidak akan pernah takut lagi kepada siapa pun selain Allah. Semua takdir berada di tangan-Nya dan segala urusan adalah milik-Nya.” Mereka bertanya, “Sesungguhnya, kondisimu ini merupakan sesuatu yang sangat aneh sekali sebab benjolan-benjolan itu sudah hilang sama sekali. Izinkan kami untuk mengadakan pemeriksaan sekali lagi.”
Mereka kembali memeriksaku namun tidak mendapatkan sesuatu pun. Sebelumnya, gara-gara benjolan-benjolan itu, aku sama sekali sulit untuk bernafas akan tetapi ketika sampai di Baitullah al-Haram dan aku meminta kesembuhan hanya kepada-Nya, maka sesak nafas itu pun hilang.
Setelah peristiwa aneh itu, aku bergiat mencari tahu mengenai riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, riwayat hidup para shahabatnya dan aku banyak menangis. Aku menangisi masa laluku karena sudah sekian lama melewatkan waktu dengan sia-sia dan tidak dapat mengecap rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku menyesali hari-hari yang telah aku sia-siakan dan membuatku jauh dari-Nya itu. Aku memohon kepada Allah agar menerima amalanku dan menerima taubatku, suamiku dan seluruh kaum Muslimin.
***
(SUMBER: asy-Syifaa` Ba’da al-Maradl karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy, h.47-54, sebagai yang dinukilnya dari buku al-’Aa`iduun Ilallaah, h.65, disusun Muhammad al-Musnid)

Hilang dan Melayang 





Penyakit ini tidak seperti biasanya, sejak kambuh tiga hari yang lalu sampai hari ini rasanya malah bertambah parah. Malam itu pun sama.
Badan ini terasa menggigil, panas rasanya, bernafas menjadi sangat sulit. Lalu rasa sakit itu semakin menjalar, seluruh tubuh serasa ditusuk jarum panas. Lalu sekonyong konyong seseorang memelukku dari belakang dan menarik ku ke atas, semakin aku meronta, kekuatan itu semakin kuat mencengkeram. Seiring nafas ku yang tinggal satu persatu, apabila kutarik nafas, serasa badan ku memanjang, dan saat kukeluarkan nafasku, serasa badan ku mengkerut dan sakit nya bukan kepalang.
Demikian, cenkeraman itu begitu dahsyatnya. Rasanya seperti badan ini mengkerut dari arah kaki, panas dan serasa ditusuk tusuk, mulai ujung kaki kemudian merambat ke telapak dan terus ke tumit, dengkul, kemudian merambat keperut, kedada, semakin keatas semakin panas rasanya dan sakitnya tak terkira. Lalu tiba tiba…
Sekali renggut, hilang lah rasa sakit itu digantikan rasa “hilang” dan “mengambang”. Tiba tiba saja aku sudah terbangun di suatu tempat lapang yang sangat sangat luas, sepanjang mata memandang kulihat ribuan bahkan jutaan manusia berbaris rapi menuju sebuah gerbang. Satu persatu mereka “diperiksa”, dua makhluk yang berbeda berdiri di kedua samping gerbang menyambut manusia manusia ini.
Disebelah kanan kulihat penjaga yang dengan penuh kesopanan membawa mereka entah kemana, sementara di sebelah kiri penjaga yang menyeramkan dan berbahasa kasar, menarik dan menyeret manusia lainnya yang berteriak teriak. Lalu tibalah giliranku, di gerbang ini terdapat sebuah timbangan dan seseorang mengeluarkan segala sesuatu dari kaki ku, dari tangan ku kiri dan kanan, dari tubuhku, dari mulutku, dari mataku dan semuanya mengeluarkan isinya. Kemudian disimpanlah semuanya kedalam timbangan yang aku lihat berat kekiri, penjaga disebelah kiri itu mulai menyeringai dan siap untuk merenggut dan menyeretku. Pandangannya sangat mengerikan, kulihat api dibola matanya, kurasakan panas udara saat dia mendekat.
Tapi tiba tiba dari belakang datanglah seseorang, “orang ini belum waktunya, belum waktunya.” Sambil berkata demikian, dibawanya aku melesat dan “hilang” “melayang”.
Saat mataku terbuka, kulihat suamiku, anak anakku berkumpul. Berderai lah air mataku. Terimakasih Ya Alloh, Engkau berikan aku kesempatan kedua.
(Diilhami dari cerita seorang bibi yang pernah meninggal kemudian hidup lagi)
**
Akankah tangan kita, kaki kita, tubuh kita dan semuanya pada diri kita bisa menyumbangkan amal atau malah menumpahkan dosa kedalam timbangan di akhirat nanti…?.
Apakah kita siap untuk mati…???, mati yang tak akan hidup lagi, tanpa kesempatan kedua, mati yang akan mengantar kita ke alam selanjutnya, alam yang tak ada kata kata atau perbuatan untuk merubah semua amal dan dosa. Siapkah kita?

Aku dan Rabbku 

al-quran1 



  “Basahilah lidahmu dengan dzikir” duh.. sudah berapa kali saya dengar hadist ini tapi …waktu yang digunakan untuk berdzikir masih sedikit, padahal Allah berfirman “AKu bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku”. Allahu Akbar. Luar biasa, mencoba untuk melakukan variasi dalam berdzikir kenapa tidak ? La illahaillallah adalah sebaik2 dzikir …wueshh pikiranpun mulai menerawang balasan apa yang akan Allah kasih jika saya mengucapkan Laillahailallah 1x apakah senilai uang 1 juta,10 juta atau 100 juta, lebih, pasti lebih dari itu di hadapan Rabbul Izzati. Subahannallah. Rugiii…..berapa sudah waktu yag hilang, uang yang hilang, istana yang tertunda di surga nanti – InnaLillahiwainaillaihi’irojiun. Ga papa kan berdagang dengan Allah.
Imam Al Ghazali dalam risalahnya Al Asma Al Husna menuliskan kecintaan kepada Allah bisa ditingkatkan dengan tiga cara ; (i) mengingatnya (ii) mempercayainya (iii) mempertahankannya. Begitu pula Pak Ary Ginanjar dalam bukunya “Rahasia membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual” beliau menulis bahwa seorang hamba bisa menjadi manusia yang luar biasa jika mau meneladani sifat-sifat Allah dengan cara mengingat-ingatnya dan meneladani sifat-sifat-Nya.
Sesungguhnya antara hamba dengan Rabbnya ada 2 panghalang ; (i) ilmu dan (ii) ego (Aku). Perasaan jenuh, bosen, mandek atau tidak ada peningkatan terkadang datang pula, tapi ingat pesan “yang mencari akan menemukan” ada secercah harapan untuk mencari lagi, baik itu dari buku, artikel baik itu di majalah atau di internet, seminar , maupun taklim – apa saja. Alhamdulillah masih ada rasa haus yang belum terpuaskan dengan minuman yang standard.
Mencoba untuk flash back ke zaman para sahabat yang memiliki tingkat keimanan yang mempesona dan berdecak kagum setiap kali membaca kisahnya, sudah tentu pengetahuan mereka tentang surga, neraka, negri akhirat dan segala sesuatu yang terjadi didalamnya berbeda dengan pengetahuan saya dan itu mungkin yang membuat tingkat keimanan saya seolah tak bergerak. Ego, Aku “barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal dirinya maka tidak ada waktu untuk mencari kesalahan orang lain”.
Ada perasaan aneh menghampiri ketika mencoba berlama-lama bercermin. sudah berapa jauh saya mengenal diri saya dengan baik dan sudah berapa lama saya menyadari begitu sangat rentannya melakukan kesalahan setiap detik.
Menjadi milik-Nya bukan sebaliknya menjadikan Allah sebagai milik saya dan mengikuti semua keinginaan saya – Naudzubillahiminzalik, kebodohan apalagi yang saya lakukan berlarut-larut. STOP. “Ya Rabb biarkan aku menjadi milik-Mu selamanya…menyatu bersama-Mu, biarkan jiwa ini terbakar oleh cahaya-Mu..cinta-Mu”.
Teringat kembali firman Allah SWT “Sesungguhnya Aku mengikuti perasaan hamba-Ku terhadap-Ku” kenapa tidak saya coba untuk mengatakan ke diri saya sendiri dengan menggunakan 3 metode dari imam Al Ghazali diatas : “saya selalu bersamaMu ya Allah” ( bukannya saya ingin bersamaMu), “saya selalu mencintaiMu ya Rabb” (bukannya saya ingin mencintai-Mu), “saya selalu merindukan-Mu ya Tuhanku”. Ada perasaan puas yang mengalir, seolah-olah sesuatu yang sudah tercapai dan tinggal menikmati saja perjalanan hidup bersama Al Malik, Al Aziz. Perasaan tenang, aman, damai, bahagia yang selama ini dicaripun mulai rajin menjenguk orang pesakitan seperti saya.
WaLlahua’lam bi shawab.

Siapakah Ibunya 





Mungkin kita sudah sering membaca atau mendengar cerita semacam ini. Saya kagum dengan anak tersebut, siapakah ibunya, siapakah ayahnya.Dan saya juga kagum dengan pemuda yang memperhatikan nasib anak penjual kue tersebut, siapakah istrinya, siapakah ibu dari pemuda tersebut, siapakah ayahnya..dst..
Andaikan saja banyak manusia-manusia berhati semacam kisah dibawah ini, mungkin tak sebanyak ini manusia “sengsara/melarat” di “Indonesia khususnya”.
Tetapi teramat disayangkan sangat sedikit, bahkan tidak sedikit orang tua, ayah atau ibu yang melalaikan anak-anaknya, hanya karena alasan ini dan itu. Sibuk di kantor,karier, jabatan, sibuk dengan perempuan/lelaki lainnya yang bukan dari ibu kandung anak-anaknya sendiri.
***
= Siapakah Ibunya/Orang Tuanya? =
Selesai berlibur dari kampung, saya harus kembali ke kota. Mengingat jalan tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama.
Terasa mengantuk, saya singgah sebentar di sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia lebih kurang 12 tahun muncul di depan.
“Abang mau beli kue?” Katanya sambil tersenyum.
Tangannya segera menyelak daun pisang yang menjadi penutup bakul kue jajaannya.
“Tidak dik….abang sudah pesan makanan,” jawab saya ringkas, dia berlalu.
Begitu pesanan tiba, saya terus menikmatinya. Lebih kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi menghampiri pelanggan lain, sepasang suami istri sepertinya. Mereka juga menolak, dia berlalu begitu saja.
“Abang sudang makan, tak mau beli kue saya?” katanya tenang ketika menghampiri meja saya.
“Abang baru selesai makan di, masih kenyang nih,” kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma disekitar restoran. Sampai di situ dia meletakkan bakulnya yang masih penuh.
Setiap yang lalu ditanya, “Tak mau beli kue saya bang..pak.kakak atau ibu.”
Molek budi bahasanya.
Pemilik restoran itu pun tak melarang dia keluar masuk ke restorannya menemui pelanggan. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha.
Tidak nampak keluh kesah atau tanda-tanda putus asa dalam dirinya, sekalipun orang yang ditemuinya enggan membeli kuenya.
Setelah membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil.
Anak itu saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Saya buka pintu, membetulkan duduk dan menutup pintu. Belum sempat saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil.
Dia menghadiahkan sebuah senyuman.
Saya turunkan cermin. Membalas senyumannya.
“Abang sudah kenyang, tapi mungkin abang perlukan kue saya untuk adik-adik abang, ibu atau ayah abang,” katanya sopan sekali sambil tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul dengan menyelak daun pisang penutupnya. Saya tatap wajahnya, bersih dan bersahaja.
Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet, dan mengulurkan selembar uang Rp 20.000,- padanya.
“Ambil ini dik! Abang sedekah ….tak usah abang beli kue itu.” Saya berkata ikhlas karena perasaan kasihan meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut, lantas mengucapkan terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.
Setelah mesin mobil saya hidupkan . Saya memundurkan mobil saya. Alangkah terperanjatnya saya ketika melihat anak itu mengulurkan uang Rp 20.000,- pemberian saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua matanya.
Saya terkejut … saya hentikan mobil, memanggil anak itu.
“Kenapa bang mau beli kue kah?” tanyanya.
“Kenapa adik berikan duit abang tadi pada pengemis itu? Duit itu abang berikan adik!” kata saya tanpa menjawab pertanyaannya.
“Bang saya tak bisa ambil duit itu. Emak marah kalau dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja mencari nafkah karena Allah.
Kalau dia tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih banyak, mak pasti marah. Kata mak mengemis kerja orang yang tak berupaya, saya masih kuat bang!” katanya begitu lancar. Saya heran sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu. Tanpa banyak soal, saya terus bertanya berapa harga semua kue dalam bakul itu.
“Abang mau beli semua kah?” dia bertanya dan saya cuma mengangguk. Lidah saya kelu mau berkata.
“Rp 25.000,- saja bang…..”
Selepas dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya ulurkan Rp 25.000,-. Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi.
Saya perhatikan dia hingga hilang dari pandangan.
Dalam perjalanan, baru saya terfikir untuk bertanya statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang saya katakan , saya beli kuenya bukan lagi atas rasa kasihan, tetapi rasa kagum dengan sikapnya yang dapat menjadikan kerjanya suatu penghormatan. Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu.
Dia menyadarkan saya, siapa kita sebenarnya.
***
Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman, seperti Dia perintahkan kepada para rasul-Nya dengan firman-Nya, yang artinya, “Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.”
Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Ya Tuhanku .. Ya Tuhanku ..” Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, shahih).

Kejatuhan Iblis 

 



Sejarah Pertarungan antara Kebaikan dan Keburukan
Dimulai ketika Allah berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan di atas bumi seorang wakil-Ku (Khalifah).”
Kemudian para malaikat bertanya, “Apakah Engkau akan menjadikan sesuatu yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau.”
Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Kemudian Allah mengajarkan Adam nama-nama segala sesuatu. Kemudian ditanyakan kepada para malaikat, “Sebutkanlah kepada Ku nama-nama benda ini jika kamu benar!”
Para malaikat menjawab, “Maha suci Engkau! Tak ada pengetahuan kami, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kemudian Allah berkata, “Hai Adam, sebutkanlah kepada mereka nama-nama itu!”. Lalu Adam menerangkan kepada mereka nama-nama benda itu semuanya.
Kemudian Allah berkata lagi, “Bukankah telah Aku katakan kepada kalian, Aku mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi, dan Aku mengetahui juga apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan (dalam hati).”
Kemudian Allah memerintahkan kepada para malaikat, “Sujudlah kalian kepada Adam! Lalu mereka sujud. Kecuali Iblis. Ia enggan dan membesarkan diri. Dan jadilah ia golongan yang Ingkar (Kafir).” (QS Al A’raaf : 12 – 18)
Allah berkata, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam ketika Aku memerintahkanmu?”
Iblis menjawab, “Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah.”
Allah berfirman, “Turunlah kamu darinya , karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Maka keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk yang hina.”
Iblis berkata, “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.”
Berfirman Allah, “Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh.”
Iblis bersumpah, “Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, saya SUNGGUH-SUNGGUH akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus (shirootokal mustaqiim). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur.”
Allah berfirman, “Keluarlah kamu darinya sebagai yang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar aku akan mengisi neraka jahanam dengan kalian semuanya.”
**
Kisah kejatuhan Iblis ini merupakan salah satu bagian dari Aqidah Islam. Dari kisah itu, sejarah manusia di dunia ini bermula. Dan tak habis-habisnya pertempuran antara yang haq dan yang bathil, antara yang Benar dan yang Salah. Dari perspektif inilah kita harus memandang setiap kejadian yang dialami umat manusia.
Diawali dengan dialog antara Allah dengan para malaikat ketika Allah memberi pengumuman bahwa Ia akan menjadikan di muka bumi ini wakil-Nya (Khaliifah). Malaikat memprotes tapi berakhir dengan ketundukan pada Allah hanya dengan kalimat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan para malaikat tidak membantah lagi walaupun jika kita perhatikan, seakan-akan argumen para malaikat itu ada benarnya.
Dilanjutkan dengan demonstrasi keunggulan Adam di hadapan makhluk Allah yang lainnya, setelah Allah mengajari Adam nama-nama benda-benda semuanya. Sehingga Adam pantas untuk menduduki posisi sebagai khaliifah di muka bumi. Hal ini menunjukkan keunggulan makhluk yang bernama Adam ini (manusia) karena Adam mampu “memberi nama”. Mampu mendefinisikan apa yang dia lihat, dia dengar, dia cium, dia rasa dan dia raba dengan suatu “kata yang definitif”. Dalam peristiwa ini pula berarti Allah mengajarkan bahasa kepada Adam. Dengan kemampuan Adam untuk membuat definisi, maka berkembanglah ilmu pengetahuan. Adam dan keturunannya dapat memanfaatkan bumi untuk kepentingannya. Jika kita lihat bangunan-bangunan yang tinggi, yang tingginya ratusan kali tinggi manusia, jika kita melihat pesawat jet, yang kecepatannya jutaan kali kecepatan manusia, maka kita berkata: Maha Suci Engkau ya Allah dan Maha Besar Engkau. Kiranya benar perkataan Mu kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dapatkah kita bayangkan hasilnya jika yang menjadi khaliifah di muka bumi ini adalah makhluk halus seperti malaikat atau jin (asal Iblis)? Dan Allah mengatakan kepada mereka semua sekali lagi: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Setelah para malaikat menyerah kepada tantangan Allah dan setelah Adam mendemonstrasikan keunggulannya, maka Allah memerintahkan kepada mereka semua untuk sujud kepada Adam. Para ‘ulama Islam sepakat bahwa sujud di sini dalam arti hormat dan mengakui kemuliaan Adam, bukan menyembah. Karena semua mengerti hanya Allah sajalah yang patut untuk disembah.
Maka membangkanglah Iblis! Dan apa alasannya? Aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan Adam dari tanah. Demikianlah LOGIKA IBLIS. Dia mengira bahwa kemuliaan akan tersangkut pada hal-hal yang bersifat fisik. Api dapat membakar tanah. Padahal Allah telah berucap dua kali : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Namun Iblis masih juga membangkang. Dia seakan masih menyangkal pernyataan Allah itu : Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dia enggan (untuk patuh kepada perintah Allah dan bersikukuh pada logikanya) dan membesarkan diri (di hadapan Adam dan merasa lebih mulia dari Adam).
Kita manusia hendaknya berhati-hati dengan penyakit Iblis ini yang berdiri di atas LOGIKA IBLIS. Anaa khoirum minhu! Kholaqtanii min naar wa kholaqtahuu min thiin! TIDAK! Tidak mungkin! Saya lebih baik dari dia! Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah (di sini Iblis masih mengakui bahwa Allah yang menciptakan dia). Kitapun dapat terjangkiti penyakit dan logika Iblis. Jika (walau dalam hati) kita mengatakan: Saya lebih mulia dari kamu, karena:
  • saya kaya kamu miskin
  • saya kuat kamu lemah
  • saya tinggi kamu pendek
  • saya cantik kamu jelek
  • saya tampan kamu jelek
  • saya pintar kamu bodoh
  • saya sarjana kamu lulusan SMA
  • saya penguasa kamu rakyat
  • saya keturunan orang bebas kamu keturunan budak
  • saya majikan kamu pembantu
  • dst.
Akibat dari terjangkitinya penyakit dan logika Iblis ini kepada manusia, manusia akan bersikap APRIORI. Belum apa-apa sudah menolak kebenaran. Dia menolak kebenaran karena melihat siapa yang membawanya. Bagaimana Bibit-Bobot-Bebet nya. Inilah yang di dalam pelajaran akhlaq Islam yang disebut Kibir atau Sombong.
Dalam suatu hadits diceritakan, ada seorang sahabat nabi yang bertanya, “Wahai Rasul Allah, aku ini suka sekali mengenakan pakaian yang bagus-bagus dan aku tidak suka melihat orang lain lebih bagus pakaiannya daripada aku, walaupun hanya sandalnya. Apakah aku termasuk sombong/kibir?” Jawab nabi Muhammad, “Tidak, itu bukan kesombongan. Tuhan itu indah dan suka pada keindahan. Yang dimaksud dengan SOMBONG (KIBIR) ialah : menolak kebenaran dan (karena) menghinakan manusia. Al Kibru : bathorul haq wa ghomthun naas.” Dan nabi Muhammad memperingatkan, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada penyakit Sombong (Kibir), walaupun sebesar dzarrah (debu).”
Ditutup dengan sumpah Iblis : Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, saya SUNGGUH-SUNGGUH akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus (shirootokal mustaqiim). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur. Ya.. Iblis akan berusaha sekuat tenaganya, dalam masa penangguhannya, untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah sejauh-jauhnya. Menjadikan Adam dan keturunannya menjadi tidak bersyukur. Ya.. tidak bersyukur betapa Allah telah menyuruh kepada semua makhluq ciptaan Nya untuk sujud memuliakannya. Betapa dia telah dimuliakan oleh Allah atas segala alam. Tidak bersyukur karena dia melanggar petunjuk-petunjuk Nya yang menyebabkan dia terpedaya oleh syaithan dan menjadi terhina bersama syaithan. Bahkan sungguh-sungguh tidak bersyukur karena dia mengadakan sekutu bagi Allah yang telah memuliakan dirinya sedemikian rupa.
Maka Iblis bersumpah: Awass kamu Adam! Kamu telah membuat aku celaka! Aku tidak akan berdiam diri selama-lamanya! Awass kau! Aku akan membuat engkau mempersekutukan Allah! Aku akan membuat engkau dan keturunanmu menolak segala perintah-perintah Nya! Aku akan membuat engkau menyombongkan diri di hadapan Nya! Aku akan membuat keturunanmu mengaku: Ana Robbukumul A’laa, Aku Tuhanmu yang Maha Tinggi! Aku akan membuat keturunanmu berbuat segala macam pelanggaran! Aku akan mengajarkan keturunanmu untuk membuat berbagai macam agama dan isme! Pokoknya aku akan membuat anak keturunanmu tersesat dan dimurkai oleh Allah dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya dan dengan kemurkaan yang sebesar-besarnya! AWASS KAU ADAM!!!
Demikianlah.. mulai saat itu dimulailah pertarungan antara Adam dan keturunannya melawan Iblis dan keturunannya. Pertarungan antara yang haq dan yang bathil.
Namun Allah memberikan kepada Adam suatu janji. Karena Adam tidak meminta penangguhan sebagaimana Iblis meminta penangguhan hingga hari kiamat.
“Turunlah kamu berdua dari jannah, kemudian jika datang petunjuk Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqoroh : 38 – 39)
Allah menjanjikan kepada nabi Adam bahwa di antara keturunan-keturunannya banyak yang akan dijadikan nabi. Untuk membawa petunjuk-petunjuk Nya dalam menghadapi tipu daya Syaithan (Iblis dan keturunannya). Untuk memenangkan pertarungan. Untuk mengingatkan akan hari yang bersejarah itu. Untuk mengingatkan permusuhan bapak mereka dengan nenek moyang syeithan, Iblis. Untuk mengingatkan: Innahu lakum ‘aduwwum mubiin (Sesungguhnya syaithan itu musuh besar yang nyata bagimu). Untuk memenangkan agama Nya atas semua agama-agama yang lain, dan cukuplah Allah menjadi saksi. Dan dimulailah sejarah kenabian hingga nabi yang terakhir, yang turun di Arab dari benih nabi Ismail: nabi Muhammad.
Maka kita berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang dirajam.
Maha benar Allah dengan segala firman-firman Nya.
Mohon maaf atas kekhilafannya. Yang benar dari Allah, yang salah dari saya.

Si Gembala Domba 





Minggu itu seperti biasa saya ajak anak anak jalan jalan pagi, selepas subuh (alhamdulillah dari bayi anak anak saya sudah terbiasa bangun pagi) kami berangkat. Biasanya kami pergi ketempat lari pagi, tapi pagi itu saya putuskan untuk pergi kesebuah lokasi perumahan baru yang masih banyak tanah kosongnya.
Ternyata banyak juga para pelari pagi yang datang juga kesana dan memang tempatnya masih alami, masih banyak pepohonan dan ilalang yang tumbuh liar. Anak anak saya biarkan menjelajahi alam, si sulung saya lihat sibuk mengejar kupu kupu, dan si bungsu mulai asik menemukan tumbuhan “aneh” putri malu yang jika disentuh tumbuhan ini akan mengkerut dan dedaunannya akan menutup diri. Subhanalloh, setelah lama tidak melihat putri malu ini, saya jadi asik juga menyentuh nyentuh dan memperhatikan kehebatan tumbuhan ini, lama saya perhatikan sepertinya tumbuhan ini memiliki indra perasa yang bisa merasakan sentuhan atau getaran yang kita buat di sekitar tangkainya, subhanalloh, walhamdulillah, wallohuakbar.
Tak jauh dari situ, saya lihat segerombolan kambing berjalan ke arah kami dan dibelakangnya mengikuti seorang tua renta membawa tongkat kayu dan sebuah payung yang ternyata seorang gembala. Saya perhatikan mata gembala ini tak henti hentinya memperhatikan kambing kambing yang sibuk memakan rumput dan ilalang di sekitarnya. Sesekali orang tua ini bangun dari duduknya dan menghampiri kambing yang agak terpisah dari kelompoknya dan menggiringnya kembali. Begitu sabarnya orang tua ini dalam melakukan tugasnya menggembala kambing sehingga pada saat hujan turunpun (apalagi hujan pagi pagi dinginyaa…) tapi orang tua ini tetap saja tal bergeming, dia membuka payungnya dan tetap memperhatikan kambing kambing dengan penuh kesabaran.
Sambil menuntun anak anak, pikiran saya melayang kepada Rosululloh Saw muda yang yatim piatu, sendirian ditengah binatang gembalaanya seperti orang tua itu. Pemuda yang kelak menjadi Rosul penutup ini setiap hari menggambalakan kambing, siang hanya beratapkan langit dan awan juga teriknya sinar mentari, disaat malam tiba beliau Saw beralaskan bumi dan bertapkan langit dengan kemerlap bintang bintang dan rembulan. Inilah yang membawa kesadaran pemuda ini akan sesuatu yang Maha Besar dan Maha Hebat yang berdasarkan pengamatannya yang polos (baca:umiy) tanpa prasangka ataupun distorsi pemikiran, ada kekuatan yang melebihi dahsyatnya matahari yang membakar dan indahnya rembulan yang menerangi malam. Ada kekuatan yang melebihi apapu yang diperhatikannya selama ini. Apakah itu?, pertanyaan seorang lugu dan polos inilah yang menuntun pemuda ini kapada Sang Penguasa Segala Kekuatan di langit dan bumi.
Dengan menggembala kambing ini juga lah pemuda ini Saw, mengambil pelajaran dalam kesabaran, ketegasan, kasih sayang, leadership, dll untuk mempersiapkan hati dan pikirannya dalam menyambut tugas berat yang akan diembannya menjadi kekasih Alloh, Nabi dan Rosul penutup. Beliau Saw, menyampaikan bahwa: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.” Maka berbanggalah wahai engkau penggembala kambing, engkau melakukan perkejaan mulia yang juga dilakukan oleh para Nabi Rosul Alloh.
Saat ini, cobalah kita merenungi si gembala kambing, bisakah kita bersabar dalam menasehati, bisakah menasehati dengan kasih sayang, bisakah kita melihat sekeliling dan berkaca apakah sudah kita menjadi makhluk yang sesuai dengan keinginan Sang Kolik?….


Orang Kaya Dan Orang Miskin Bertemu Di Surga 





Alkisah, di suatu negeri pernah hidup seorang kaya raya, yang rajin beribadah dan beramal. Meski kaya raya, ia tak sombong atau membanggakan kekayaannya. Kekayaannya digunakan untuk membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga-tetangganya yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya. Di musim paceklik, ia membagikan bahan pangan dari kebunnya yang berhektar-hektar kepada banyak orang yang kesusahan. Salah satu yang sering dibantu adalah seorang tetangganya yang miskin.
Dikisahkan, sesudah meninggal, berkat banyaknya amal, si orang kaya ini pun masuk surga. Secara tak terduga, di surga yang sama, ia bertemu dengan mantan tetangganya yang miskin dulu. Ia pun menyapa.
“Apa kabar, sobat! Sungguh tak terduga, bisa bertemu kamu di sini,” ujar si kaya.
“Mengapa tidak? Bukankah Tuhan memberikan surga pada siapa saja yang dikehendaki-Nya, tanpa memandang kaya dan miskin?” jawab si miskin.
“Jangan salah paham, sobat. Tentu saja aku paham, Tuhan Maha Pengasih kepada semua umat-Nya tanpa memandang kaya-miskin. Cuma aku ingin tahu, amalan apakah yang telah kau lakukan sehingga mendapat karunia surga ini?”
“Oh, sederhana saja. Aku mendapat pahala atas amalan membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan kekurangan, serta berbagai amal sosial lainnya….”
“Bagaimana itu mungkin?” ujar si kaya, heran. “Bukankah waktu di dunia dulu kamu sangat miskin. Bahkan seingatku, untuk nafkah hidup sehari-hari saja kamu harus berutang kanan-kiri?”
“Ucapanmu memang benar,” jawab si miskin. “Cuma waktu di dunia dulu, aku sering berdoa: Oh, Tuhan! Seandainya aku diberi kekayaan materi seperti tetanggaku yang kaya itu, aku berniat membangun rumah ibadat, menyantuni anak yatim, membantu saudara, kerabat dan tetangga yang miskin dan banyak amal lainnya. Tapi apapun yang kau berikan untukku, aku akan ikhlas dan sabar menerimanya.”
“Rupanya, meski selama hidup di dunia aku tak pernah berhasil mewujudkannya, ternyata semua niat baikku yang tulus itu dicatat oleh Tuhan. Dan aku diberi pahala, seolah-olah aku telah melakukannya. Berkat semua niat baik itulah, aku diberi ganjaran surga ini dan bisa bertemu kamu di sini,” lanjut si miskin.
Maka perbanyaklah niat baik dalam hati Anda. Bahkan jika Anda tidak punya kekuatan atau kekuasaan untuk mewujudkan niat baik itu dalam kehidupan sekarang, tidak ada niat baik yang tersia-sia di mata Tuhan.

Alloh Batuk Yaa Bi? 

Hujan



 Kemarin saat hujan turun begitu derasnya, bahkan disertai es batu kecil kecil juga angin dan petir, sambil melihat keluar jendela, saya ngobrol sama anak anak saya, 5 tahun dan 3,5 tahun;
“Ini siapa yang buat ayooo?” saya menunjuk sebuah mainan perahu yang saya buat dari kertas, “Abi yang bikin” jawab anak saya, “Ini siapa yang buat?” sambil nunjukin kue yang di buat ibunya. “Umi” jawab anak saya lagi “Kalau abi sama umi sama aa sama ade, siapa yang bikin ayooo?” “Allooohhh!!!” jawab anak saya yang diikuti adiknya yang baru berumur tiga tahun.. “Terus kalau hujan, yang nurunin siapa ayoooo?”. “Allooh kan Bi?” jawab anak saya ragu ragu, apalagi jika hujannya berupa hujan lebat disertai angin kencang dan petir seperti ini. “Iyaa Alloh juga, hujan ini nanti masuk ke tanah terus airnya di minum sama tanaman, nanti tanamannya akan tumbuh dan berbuah, nanti buahnya kita makan deh…? “aku suka apel sama jeruk” jawab si sulung, “aku sukanya buah mangga yang manis yang manis yang manis bangeeet” jawab anak kedua saya.
Dhuarrrr! terdengan bunyi petir yang sangat keras yang membuat anak saya meloncat kepangkuan saya. “Itu Alloh lagi batuk yaaa Bi?. sambil masih memeluk erat, anak saya bertanya. Sambil tersenyun saya pandangi keduanya, Saya melihat bahwa otak kecil anak saya mulai menangkap Kebesaran Alloh, walau masih terbatas, dia sudah mulai mencerna bahwa Alloh itu Besar, batuk nya aja seperti itu.
Kemudian saya terdiam dan sedikit ragu untuk menjawab, tapi akhirnya saya lanjutkan, “Alloh itu Maha Besar dan Maha Tinggi, tinggi, tinggi banget”. “Sampai kelangit yaa BI?” tanya sibungsu. “Iya lebih tinggi lagi dari langit, Alloh itu ngga seperti abi atau umi atau aa atau ade, jadi… Alloh ngga batuk. Tadi itu namanya petir, Kalau hujan lebat memang suka ada petir. Jadi… siapa coba yang bikin peitr?”. “Alloohhhhh?” jawab anakku serentak.
Tiba tiba tep!, mati lampu dan akhirnya menghentikan obrolan yang saya rasa sangat berat ini, kebetullan ada tukang gorangan lewat didepan rumah kami pun akhirnya asik menikmati gorengan yang masih hangat.

Seorang Bayi Hanya Hidup 6 Jam, Tetapi Menyelamatkan 2 Nyawa 





Sepasang suami istri hidup bahagia. Sejak 10 tahun yang lalu, sang istri terlibat aktif dalam kegiatan untuk menentang ABORSI, karena menurut pandangannya, aborsi berarti membunuh seorang bayi. Setelah bertahun-tahun berumah-tangga, akhirnya sang istri hamil, sehingga pasangan tersebut sangat bahagia. Mereka menyebarkan kabar baik ini kepada famili, teman dan sahabat, dan lingkungan sekitarnya. Semua orang ikut bersukacita dengan mereka.
Tetapi setelah beberapa bulan, sesuatu yang buruk terjadi. Dokter menemukan bayi kembar dalam perutnya, seorang bayi lelaki dan perempuan. Tetapi bayi perempuan mengalami kelainan, dan ia mungkin tidak bisa hidup sampai masa kelahiran tiba. Dan kondisinya juga dapat mempengaruhi kondisi bayi lelaki. Jadi dokter menyarankan untuk dilakukan aborsi, demi untuk sang ibu dan bayi lelakinya. Fakta ini membuat keadaan menjadi terbalik. Baik sang suami maupun sang istri mengalami depressi. Pasangan ini bersikeras untuk tidak menggugurkan bayi perempuannya (membunuh bayi tersebut), tetapi juga kuatir terhadap kesehatan bayi lelakinya. “Saya bisa merasakan keberadaannya, dia sedang tidur nyenyak”, kata sang ibu di sela tangisannya. Lingkungan sekitarnya memberikan dukungan moral kepada pasangan tersebut, dengan mengatakan bahwa ini adalah kehendak Tuhan.
Ketika sang istri semakin mendekatkan diri dengan Tuhan, tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuhan pasti memiliki rencanaNya dibalik semua ini. Hal ini membuatnya lebih tabah. Pasangan ini berusaha keras untuk menerima fakta ini. Mereka mencari informasi di internet, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan banyak dokter, untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah bayi mereka. Satu hal yang mereka temukan adalah bahwa mereka tidak sendirian. Banyak pasangan lainnya yang juga mengalami situasi yang sama, dimana bayi mereka tidak dapat hidup lama. Mereka juga menemukan bahwa beberapa bayi akan mampu bertahan hidup, bila mereka mampu memperoleh donor organ dari bayi lainnya. Sebuah peluang yang sangat langka. Siapa yang mau mendonorkan organ bayinya ke orang lain?
Jauh sebelum bayi mereka lahir, pasangan ini menamakan bayinya, Jeffrey dan Anne. Mereka terus bersujud kepada Tuhan. Pada mulanya, mereka memohon keajaiban supaya bayinya sembuh. Kemudian mereka tahu, bahwa mereka seharusnya memohon agar diberikan kekuatan untuk menghadapi apapun yang terjadi, karena mereka yakin Tuhan punya rencanaNya sendiri. Keajaiban terjadi, dokter mengatakan bahwa Anne cukup sehat untuk dilahirkan, tetapi ia tidak akan bertahan hidup lebih dari 2 jam. Sang istri kemudian berdiskusi dengan suaminya, bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi pada Anne, mereka akan mendonorkan organnya. Ada dua bayi yang sedang berjuang hidup dan sekarat, yang sedang menunggu donor organ bayi.
Sekali lagi, pasangan ini berlinangan air mata. Mereka menangis dalam posisi sebagai orang tua, dimana mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan Anne. Pasangan ini bertekad untuk tabah menghadapi kenyataan yg akan terjadi. Hari kelahiran tiba. Sang istri berhasil melahirkan kedua bayinya dengan selamat. Pada momen yang sangat berharga tersebut, sang suami menggendong Anne dengan sangat hati-hati, Anne menatap ayahnya, dan tersenyum dengan manis. Senyuman Anne yang imut tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya. Tidak ada kata-kata di dunia ini yang mampu menggambarkan perasaan pasangan tersebut pada saat itu. Mereka sangat bangga bahwa mereka sudah melakukanpilihan yang tepat (dengan tidak mengaborsi Anne), mereka sangat bahagia melihat Anne yang begitu mungil tersenyum pada mereka, mereka sangat sedih karena kebahagiaan ini akan berakhir dalam beberapa jam saja. Sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili perasaan pasangan tersebut. Mungkin hanya dengan air mata yang terus jatuh mengalir, air mata yang berasal dari jiwa mereka yang terluka?? Baik sang kakek, nenek, maupun kerabat famili memiliki kesempatan untuk melihat Anne.
Keajaiban terjadi lagi, Anne tetap bertahan hidup setelah lewat 2 jam. Memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi keluarga tersebut untuk saling berbagi kebahagiaan. Tetapi Anne tidak mampu bertahan setelah enam jam???.. Para dokter bekerja cepat untuk melakukan prosedur pendonoran organ. Setelah beberapa minggu, dokter menghubungi pasangan tersebut bahwa donor tersebut berhasil. Dua bayi berhasil diselamatkan dari kematian.
Pasangan tersebut sekarang sadar akan kehendak Tuhan. Walaupun Anne hanya hidup selama 6 jam, tetapi dia berhasil menyelamatkan dua nyawa. Bagi pasangan tersebut, Anne adalah pahlawan mereka, dan sang Anne yang mungil akan hidup dalam hati mereka selamanya?..
***
Ada 3 point penting yang dapat kita renungkan dari kisah ini:
  1. Sesungguhnya, tidaklah penting berapa lama kita hidup, satu hari ataupun bahkan seratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang kita telah kita lakukan selama hidup kita, yang bermanfaat bagi orang lain.
  2. Sesungguhnya, tidaklah penting berapa lama perusahaan kita telah berdiri, satu tahun ataupun bahkan dua ratus tahun. Hal yang benar-benar penting adalah apa yang dilakukan perusahaan kita selama ini, memberikan manfaat bagi orang lain.
  3. Ibu Anne mengatakan “Hal terpenting bagi orang tua bukanlah mengenai bagaimana karier anaknya di masa mendatang, dimana mereka tinggal, maupun berapa banyak uang yang mampu mereka hasilkan. Tetapi hal terpenting bagi kita sebagai orang tua adalah untuk memastikan bahwa anak-anak kita melakukan hal-hal terpuji selama hidupnya, sehingga ketika kematian menjemput mereka, mereka akan menuju surga”.

Kisah Perjuangan Hidup Soichiro Honda 





Amati kendaraan yang melintasi jalan raya. Pasti, mata Anda selalu terbentur pada kendaraan bermerek Honda, baik berupa mobil maupun motor. Merek kendaran ini memang selalu menyesaki padatnya lalu lintas. Karena itu barangkali memang layak disebut sebagai raja jalanan.
Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri kerajaan bisnis Honda — Soichiro Honda — selalu diliputi kegagalan saat menjalani kehidupannya sejak kecil hingga berbuah lahirnya imperium bisnis mendunia itu. Dia bahkan tidak pernah bisa menyandang gelar insinyur. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru.
Saat merintis bisnisnya, Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah. Namun, ia terus bermimpi dan bermimpi. Dan, impian itu akhirnya terjelma dengan bekal ketekunan dan kerja keras. ”Nilaiku jelek di sekolah. Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya di sekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur Soichiro, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengidap lever.
Kecintaannya kepada mesin, jelas diwarisi dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah. Di kawasan inilah dia lahir. Kala sering bermain di bengkel, ayahnya selalu memberi catut (kakak tua) untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906 ini dapat berdiam diri berjam-jam. Tak seperti kawan sebayanya kala itu yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain penuh suka cita. Dia memang menunjukan keunikan sejak awal. Seperti misalnya kegiatan nekad yang dipilihnya pada usia 8 tahun, dengan bersepeda sejauh 10 mil. Itu dilakukan hanya karena ingin menyaksikan pesawat terbang. Bersepeda memang menjadi salah satu hobinya kala kanak-kanak. Dan buahnya, ketika 12 tahun, Soichiro Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Sampai saat itu, di benaknya belum muncul impian menjadi usahawan otomotif. Karena dia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke kota, untuk bekerja di Hart Shokai Company. Bossnya, Saka Kibara, sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja di situ, menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, Saka Kibara mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.
Di Hamamatsu prestasi kerjanya kian membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya tak jarang hingga larut malam, dan terkadang sampai subuh. Yang menarik, walau terus kerja lembur otak jeniusnya tetap kreatif.
Kejeniusannya membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik untuk kepentingan meredam goncangan. Menyadari ini, Soichiro punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia.
Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani patennya yang pertama. Setelah menciptakan ruji. Lalu Honda pun ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Mulai saat itu dia berpikir, spesialis apa yang dipilih ? Otaknya tertuju kepada pembuatan ring piston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada 1938. Lalu, ditawarkannya karya itu ke sejumlah pabrikan otomotif. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring Piston buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu dan menyesalkan dirinya keluar dari bengkel milik Saka Kibara. Akibat kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal ring pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin.
Siang hari, setelah pulang kuliah, dia langsung ke bengkel mempraktekkan pengetahuan yang baru diperoleh. Tetapi, setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. ”Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,” ujar Honda, yang diusia mudanya gandrung balap mobil. Kepada rektornya, ia jelaskan kuliahnya bukan mencari ijazah. Melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Tapi dikeluarkan dari perguruan tinggi bukan akhir segalanya. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya diterima pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Ini membawa Honda berniat mendirikan pabrik. Impiannya untuk mendirikan pabrik mesinpun serasa kian dekat di pelupuk mata.
Tetapi malangnya, niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak memberikan dana kepada masyarakat. Bukan Honda kalau menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia lalu nekad mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Namun lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar, bahkan hingga dua kali kejadian itu menimpanya.
Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik. Penderitaan sepertinya belum akan selesai. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik ring pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Akhirnya, tahun 1947, setelah perang, Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak poranda. Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya akibat krisis moneter itu. Padahal dia ingin menjual mobil itu untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Dalam keadaan terdesak, ia lalu kembali bermain-main dengan sepeda pancalnya. Karena memang nafasnya selalu berbau rekayasa mesin, dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu. Siapa sangka, sepeda motor– cikal bakal lahirnya mobil Honda — itu diminati oleh para tetangga. Jadilah dia memproduksi sepeda bermotor itu. Para tetangga dan kerabatnya berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan stok. Lalu Honda kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobilnya, menjadi raja jalanan dunia, termasuk Indonesia.
Semasa hidup Honda selalu menyatakan, jangan dulu melihat keberhasilanya dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. ”ORANG MELIHAT KESUKSESAN SAYA HANYA SATU PERSEN. TAPI, MEREKA TIDAK MELIHAT 99 PERSEN KEGAGALAN SAYA,” tuturnya. Ia memberikan petuah, ”KETIKA ANDA MENGALAMI KEGAGALAN, MAKA SEGERALAH MULAI KEMBALI BERMIMPI. DAN MIMPIKANLAH MIMPI BARU.” Jelas kisah Honda ini merupakan contoh, bahwa sukses itu bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan hanya berasal dari keluarga miskin

Nakalnya Anak-Anak 





Suatu hari seisi rumah dikejutkan oleh suara teriakan nyaring dari mulut seorang anak yang paling kecil di rumah itu.
Anak: “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….”teriaknya yang tanpa dosa sudah membuat onar seisi rumah.
Mama: “Ade, kenapa kamu teriak-teriak?!” tegur Mama yang sudah berlari ke luar dari kamar ingin melihat ada apa dengan buah hatinya.
Anak: “Ade teriak pake mulut Ade sendiri, Ade enggak pinjam mulut Mama?!” bantahnya sambil memonyongkan mulut kecilnya.
Mama: “ooohh, gitu, ya sudah, kamu teriak lagi yang keras, tapi awas?!Mama nda mau suara kerasmu itu masuk ketelinga Mama?! gangguin telinga Mama aja?!” mulai Mama berargumen dengan anaknya yang selalu cari perhatian.
Anak: “ Mama punya tangan?!tutup aja telinga Mama sama tangan Mama sendiri, kalau enggak mau denger teriakan Ade?!” mulai anak mencari gara-gara.
Mama: “Enak aja, kamu buat kerjaan Mama lagi ya, kamu nda lihat, tangan Mama lagi dipake nulis sama Mama, atau kamu yang tutupin telinga Mama sama tangan kamu, karena kamu yang pingin teriak kan, tapi awas, kalau sampai teriakan kamu masih masuk ke telinga Mama?!” jawab Mama mulai masuk ke logika anaknya dan langsung buat anak terdiam.
**
Hampir tiap hari sang Mama selalu mendengar cerita-cerita dari sekolah anaknya.
Anak: “Ma, kayanya pak Ramli guruku itu banci dech ma,” cerita anaknya yang tertua.
Mama: “Emang, kamu tahu dari mana kalau pak Ramli itu banci, ?” Tanya Mama sambil merhatiin wajah anaknya dengan menyelidik.
Anak: “Hmm, itu mah, kalau lagi ngomong, tangannya pasti begini-begitu dech, ?” ceritanya lagi sambil menirukan gaya banci yang biasa dilihat di TV.
Mama: “Ooohh, emang kalau banci, tangannya begini-begini ya, ?” jawab Mama sambil mengikuti gaya anak sebelumnya.
Anak: “Hehehe, enggak juga sich, ma, ?tapi aneh aja lihat gayanya kaya Tessy,” jawab anak sambil tersenyum merhatiin Mamanya yang sudah melotot.
Mama: “Lagi pula, kalau pak ramli banci, apa dia rugiin kamu?” Tanya Mama yang mulai berargumen sama anaknya yang besar.
Anak: “Nda sich ma,” jawab anak yang mulai tertunduk sambil menahan senyum.
Mama: “Masih mending pak ramli, walau disangka banci, dia masih bisa jadi guru?lha kamu apa?” Tanya Mama lagi dan membuat anak terdiam.
**
Tiba-tiba Mama dikejutkan oleh anaknya yang lari masuk kamar memanggil Mamanya
Anak: “Mama, beliin Ade mainan di tukang mainan itu dong, ?!” rengek anaknya yang kecil
Mama: “Hari ini Mama nda punya uang lebih untuk beliin mainan baru, nanti aja kalau Mama sudah punya uang lebih ya.” Jawab Mama sambil perhatikan anaknya yang suka protes.
Anak: “Pokoknya Ade enggak mau tahu, Ade mau mainan itu sekarang!!” rengek anak lagi yang mulai dengan senjata tangisannya.
Mama: “Ya, udah beli aja sana, ?” jawab Mama santai.
Anak: “Mana uangnya, cepet ma, nanti abangnya keburu pergi?!” pinta anak yang sudah mulai menarik baju Mamanya.
Mama: “Lho, emang yang mau beli mainan itu sekarang siapa, ?” Tanya Mama santai
Anak: “Ya, Ade lah, ”
Mama: “Ya, udah pake uang Ade dong, kan yang mau mainan Ade dan bukan Mama, ?”
Anak: “Ade kan enggak punya uang, pake uang Mama dong, ?!” jawab anak polos.
Mama: “Hehe, sama dong, Mama juga nda punya uang sekarang, kalau mau pake uang Mama, tunggu sampe Mama punya uang lagi ya, ?” jawab Mama sambil senyum.
Anak: “Mama jelek.!!” Protes anak yang memancing Mama untuk menggodanya.
Mama: “Jelekkan Ade dong, kan Ade keluar dari perut Mama campur sama kotoran” goda Mama yang melihat anaknya kesal
Anak: “Jelek Mama dari Nenek, Mama juga keluar dari perut nenek campur sama kotoran?!” Teriak anak yang mulai kesal dan hanya membuat Mamanya tersenyum sendiri
Mama: “Yeee, Mama kan nda katain Nenek jelek” jawab Mama sambil tertawa melihat anaknya yang mulai bingung
**
Seperti biasa pulang sekolah, pasti ada aja cerita yang disampaikan oleh anaknya yang tertua.
Anak: “Ma, aku kesal banget sama Sherly tadi, ?” cerita anak yang terlihat sekali wajah kesalnya.
Mama: “Hmm, memang si Sherly buat apa sama kamu?” Tanya Mama datar.
Anak: “Tadi si Sherly lempar uang untuk pengemis ke comberan, mentang-mentang dia pengemis, emang boleh apa lempar uang begitu, mending enggak usah dikasih aja kalau dilempar begitu.” Kesal anak yang terlihat hampir menangis.
Mama: “Lalu, kamu bilang apa sama Sherly, ?” Tanya Mama yang mulai merhatiin wajah anaknya yang mulai ingin menangis
Anak: “Aku bilang, Sherly kenapa kamu lempar uang itu ke comberan, terus jawab Sherly, biarin aja, toch, dia cuma pengemis, ?” cerita anak yang akhirnya menangis.
Mama: “Terus, ” Tanya Mama yang serius merhatiin anaknya cerita
Anak: “Akhirnya uang jajanku aku kasih ke Sherly untuk gantiin uang yang dikasih ke pengemis itu, kasihan pengemis itu ma, dia turun ke comberan ambil uang itu, aku bilang ke Sherly, ini uangnya aku gantiin, baru kasih segitu aja pake dilempar?!” cerita anak sambil terisak karena tangis.
Mama: “Hmm, harusnya kamu larang pengemis itu untuk ambil uang yang dicomberan, dan uang kamu itu yang kamu kasihkan ke pengemis dan biarkan si Sherly yang ambil uang itu ke comberan, ?” usul Mama sambil menghapus air mata anaknya.
Anak: “Aku lupa Ma.” isak anak yang menyesali dirinya dan wajahnya sudah dipenuhi oleh air matanya.

Cerita Sang Anak, Amanah Salah 





Seorang anak yang memperhatikan ibundanya sholat, dan menangis dalam sholatnya, hanya terdiam memandangi ibundanya, hingga selesai.
“Kamu sudah sholat atau belum sayang, ?” tanya sang mama.
“Aku baru mau sholat, tadi mau bareng sama mama, tapi aku sakit perut, ” hehe jawabnya sambil tersenyum
“Iya sudah, sekarang kamu sholat ya, :)” tegur mama
Dan ternyata, sang mama tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, sambil membersihkan wajahnya dihadapan cermin dan sesekali air matanya turun kembali, sambil memperhatikan sang anak yang sedang sholat. Hingga anak selesai sholat, dan memperhatikan wajah ibundanya yang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, sambil melipat mukenah yang habis dipakainya sang anak mulai memancing mamanya dengan candanya.
“Ma, tahu enggak?! Kalau amanah itu ada juga yang jadi buat orang salah dan membahayakan orang lain” ceritanya sambil tersenyum2
“Masak sich, amanah yang seperti apa tuch, ?” tanya mama sambil terus mengusap air matanya yang masih turun
“Aku punya cerita ma, tentang amanah itu ?”
“Coba ceritain dong sama mama, ” tanggap mama yang mecoba tertawa2 pada buah hatinya
“Waktu itu ada orang yang ingin bunuh diri di rel kereta api, lalu masinis itu melihat orang yang sedang duduk di rel itu.!! Kemudian masinis langsung menelphon petugas jaga, dan memberitahukan bahwa ada orang yang mau bunuh diri.”cerita anak dengan mimik lucunya
“Lalu, ” tanggap mama
“Hallo, pak petugas, !ada orang yang mau bunuh diri nich, kata masinis”
“Lho, emang yang mau bunuh diri ada berapa orang?tanya petugas jaga”
“Yang mau bunuh diri ada satu orang, kata masinis panik”
“Lalu, berapa penumpang yang sedang kamu bawa, tanya petugas”
“Penumpang yang ada dikereta saya ada 1000 orang pak.!! Kata masinis panik”
“Oh, ya sudah, tabrak aja yang 1 dan selamatkan yang 1000!! Kata petugas” cerita sang anak dengan serius sambil memperagakan gaya seorang masinis dan petugas penjaga kereta
“Lalu, amanah yang salahnya dimana dong, ?” tanya mama mulai bingung
“Lha, itu ma, ternyata orang itu enggak jadi bunuh diri, lalu bangun dari rel dan berniat untuk pergi menjauh dari kereta yang mau lewat, ya, karena si masinis sudah terima amanat untuk menabrak yang satu dan menyelamatkan yang 1000, akhrinya, kereta ini dibelokkan oleh masinis ke luar rel dan mengejar orang yang enggak jadi bunuh diri itu.?! Ya, akhirnya, kereta yang keluar rel itu terbalik dan penumpang yang 1000 itu jadi celaka, eeh, malah yang enggak jadi bunuh diri itu selamat dech,” hahaha akhirnya ibu dan anak sudah tertawa2 memegang perutnya
“Itulah, ma, kalau amanat diterima, dan yang menerima amanat itu bodoh!!” hahaha sang mama hanya tertawa2 sambil menggeleng2kan kepalanya, dan terlihat senyum bahagia dari wajah sang anak, yang sudah berhasil membuat mamanya tertawa2.
Robbi habbli minassholihin, ya, Allah, jadikanlah buah hatiku anak2 yang sholeh,  yang dapat menjadi penerang dalam rumah, penyejuk mata dan hatiku, pemanis hidup dan kehidupan, pemancing tawa dan menghapus kesedihan

Kisah Kepala Ikan 





Alkisah pada suatu hari, diadakan sebuah pesta emas peringatan 50 tahun pernikahan sepasang kakek-nenek. Pesta ini pun dihadiri oleh keluarga besar kakek dan nenek tersebut beserta kerabat dekat dan kenalan.
Pasangan kakek-nenek ini dikenal sangat rukun, tidak pernah terdengar oleh siapapun bahkan pihak keluarga mengenai berita mereka perang mulut. Singkat kata mereka telah mengarungi bahtera pernikahan yang cukup lama bagi kebanyakan orang. Mereka telah dikaruniai anak-anak yang sudah dewasa dan mandiri baik secara ekonomi maupun pribadi. Pasangan tersebut merupakan gambaran sebuah keluarga yang sangat ideal.
Disela-sela acara makan malam yang telah tersedia, pasangan yang merayakan peringatan ulang tahun pernikahan mereka ini pun terlihat masih sangat romantis. Di meja makan, telah tersedia hidangan ikan yang sangat menggiurkan yang merupakan kegemaran pasangan tersebut. Sang kakek pun, pertama kali melayani sang nenek dengan mengambil kepala ikan dan memberikannya kepada sang nenek, kemudian mengambil sisa ikan tersebut untuknya sendiri.
Sang nenek melihat hal ini, perasaannya terharu bercampur kecewa dan heran.Akhirnya sang nenek berkata kepada sang kakek, “Suamiku, kita telah melewati 50 tahun bahtera pernikahan kita. Ketika engkau memutuskan untuk melamarku, aku memutuskan untuk hidup bersamamu dan menerima dengan segala kekurangan yang ada untuk hidup sengsara denganmu walaupun aku tahu waktu itu kondisi keuangan engkau pas-pasan. Aku menerima hal tersebut karena aku sangat mencintaimu. Sejak awal pernikahan kita, ketika kita mendapatkan keberuntungan untuk dapat menyantap hidangan ikan, engkau selalu hanya memberiku kepala ikan yang sebetulnya sangat tidak aku suka, namun aku tetap menerimanya dengan mengabaikan ketidaksukaanku tersebut karena aku ingin membahagiakanmu. Aku tidak pernah lagi menikmati daging ikan yang sangat aku suka selama masa pernikahan kita. Sekarangpun, setelah kita berkecukupan, engkau tetap memberiku hidangan kepala ikan ini. Aku sangat kecewa, suamiku. Aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan hal ini.”
Sang kakek pun terkejut dan bersedihlah hatinya mendengarkan penuturan Sang nenek. Akhirnya, sang kakek pun menjawab, “Istriku, ketika engkau memutuskan untuk menikah denganku, aku sangat bahagia dan aku pun bertekad untuk selalu membahagiakanmu dengan memberikan yang terbaik untukmu. Sejujurnya, hidangan kepala ikan ini adalah hidangan yang sangat aku suka. Namun, aku selalu menyisihkan hidangan kepala ikan ini untukmu, karena aku ingin memberikan yang terbaik bagimu. Semenjak menikah denganmu, tidak pernah lagi aku menikmati hidangan kepala ikan yang sangat aku suka itu. Aku hanya bisa menikmati daging ikan yang tidak aku suka karena banyak tulangnya itu. Aku minta maaf, istriku.”
Mendengar hal tersebut, sang nenek pun menangis. Merekapun akhirnya berpelukan. Percakapan pasangan ini didengar oleh sebagian undangan yang hadir sehingga akhirnya merekapun ikut terharu.
**
Moral Of The Story:
Kadang kala kita terkejut mendengar atau mengalami sendiri suatu hubungan yang sudah berjalan cukup lama dan tidak mengalami masalah yang berarti, kandas di tengah-tengah karena hal yang sepele, seperti masalah pada cerita di atas.
Kualitas suatu hubungan tidak terletak pada lamanya hubungan tersebut, melainkan terletak sejauh mana kita mengenali pasangan kita masing-masing. Hal itu dapat dilakukan dengan komunikasi yang dilandasi dengan keterbukaan. Oleh karena itu, mulailah kita membina hubungan kita berlandaskan pada kejujuran, keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

Curhat Anak 





Hampir disetiap malam, seorang ibu dan anak selalu bercerita tentang semua kejadian yang dialami selama 1 harian di luar rumahnya
“Ma, tadi aku di sekolah, tampar mukanya si fulan.” cerita anak sambil memandang wajah mamanya yang dibuat senormal mungkin.
“Eemm, emang si fulan, salah apa..sampe kamu tampar mukanya?” tanya mama sedatar mungkin.
“Habis, aku kesal sama fulan Ma..”jawab sang anak yang terlihat mulai berkaca-kaca matanya
“Apa yang sudah si fulan lakukan..sampe kamu kesal padanya..?”
“Habis, dia katain mama, katanya mama masih kecil..” jawab anak polos.
“Hahaha, lho baru dikatain gitu aja, koq segitu kesalnya, sampe orang ditampar segala? Memang kenyataannya mama kecil, lagipula bagus dunk itu berarti mama masih muda, jadi si fulan bilang mama kecil.” goda mama.
“Tapi, aku enggak suka, dia katain mama.?” katanya yang mulai kesal.
“Lho, memang gara2nya apa sich sampe si fulan, pake bawa2 katain mama segala?” tanya mama.
“Tadi kita semua lagi bercanda ma, terus si fulan, pukul aku terus aku balas memukulnya, eeh dia langsung katain mama ku masih kecil, ya udah aku tampar aja lagi mukanya, aku bilang sama si fulan, kalau kamu marah sama aku, pukul dan katain aku aja, tapi jangan kamu bawa-bawa mamaku, memangnya mamaku salah apa sama kamu?” cerita sang anak yang mulai menangis.
“Terus..” tanya mama pada anaknya
“Terus kata si fulan, ya udah katain aja aku lagi, ya udah aku balas aja katain, dasar anak tukang sate?!”
“Hush..!!kenapa kamu jadi ikutan si fulan, katain ayahnya?! Memang ayahnya salah apa sama kamu?” tegur mama sedikit keras.
“Habis, fulan yang suruh aku balas ma?” bela sang anak.
“Kamu enggak suka, mama dikatain sama si fulan? Lalu kenapa kamu juga ikutan katain ayahnya si fulan? Kamu kasihan sama mama, karena kamu enggak mau mama dibilang seperti itu sama si fulan. Kasihan juga dunk, ayahnya si fulan yang enggak tahu apa-apa dibawa oleh keributan kamu berdua. Itu berarti kamu tidak ada bedanya sama si fulan. Harusnya tamparan itu sudah cukup, kamu berikan padanya, dan enggak usah lagi kamu bawa orang tuanya.”
Dan terlihat air mata yang masih menggenang di sudut matanya yang masih menyimpan rasa kesal, karena tidak ingin mamanya dibilang spt itu. Dan untuk mengalihkan pikirannya
“Hayo, sekarang tidur sudah malam.” Alihkan mama dan disambut masih ada rasa kesal terlihat diwajah anak tertuanya.

Alloh Maha Mengetahui Yang Terbaik Untuk Hambanya 





“Akhirnya ada juga Le Bis yang lewat. Kita pulang Le. Ya Allah, kok ya tega ya nda mau berhenti. Sabar ya Le, insya Allah akan ada lagi Bis yang lewat. “
Bayi lelaki berumur sebelas bulan itu hanya tersenyum senyum mendengar perkataan ibunya. Kembali Ibu itu melambaikan tangannya kepada Bis yang lewat tapi tetap saja Bis itu tidak mau berhenti. Bayi itu tertawa, “Le…le…kok kamu bisa bisanya tertawa.”
Bayi lucu itu tidak mau tahu teriknya mentari saat itu.
“Alhamdulillah…ada juga yang berbaik hati mau berhenti.”
“Cepet Bu cepet!“ ujar kondektur.
“Ya Allah, Bis nya penuh Le, tapi ga apa apa, yang penting kita bisa pulang Le.“
“Jogja , jogja!“ teriak sang kondektur mencari penumpang.
“Lha wong sudah penuh sesak begini kok masih cari penumpang. “
“Mas! Pie toh mas, sesak begini kok“ salah seorang penumpang geram.
Tiba tiba bayi lelaki itu menangis. “Aduh Le, jangan nangis toh Le”
Tapi bayi itu makin keras tangisnya. Suasana panas saat itu makin membuat para penumpang tidak nyaman, apalagi dengan kondisi penuh sesaknya manusia didalam bis tersebut.
“Bu, anak e bisa disuruh diam nda sih?“ ujar salah seorang penumpang di sebelahnya.
“Maaf pak, maaf. “
“Huh, udah banyar mahal mahal, tapi kaya begini“ salah seorang lagi marah marah.
“Saya ini mau tidur, disuruh diam bisa nda sih“ ujar seorang ibu ibu gemuk dibelakangnya.
“Hey, anak siapa itu, macet begini bikin pusing saja“ teriak pak sopir.
“Suruh turun saja pak sopir” teriak penumpang belakang.
“Iya, turuni saja. Wong sudah sesak begini kok“ tambah yang lain.
“Kalau anak itu nda mau diam, lebih baik kalian turun saja“ ujar pak kondektur.
“Bapak bapak, Ibu ibu, siapa yang nda setuju kalau ibu ini disuruh turun?“ tanya salah seorang penumpang sambil berdiri.
Semua terdiam.
“Suruh turun saja“ salah seorang kakek berkata.
“Ibu turun saja disini. Cari bis yang lain saja“ kata kondektur.
“Maaf bapak bapak ibu ibu, kalau anak saya ini mengganggu, tapi anak ini kan masih kecil, belum mengerti apa apa. Tolonglah kami. Tolong“
“Wah, nda bisa Bu, anak ibu ini main kenceng saja nangisnya. Disini banyak penumpang yang mau istirahat“ tambah pak Kondektur.
Dengan tidak hormat, Ibu dan anak itu dipaksa turun dari bis.
“Ya Allah, kok ya ada manusia manusia seperti itu. Kok ya nda kasihan sama anak bayi ini. Le, le, kamu tuh bikin susah ibumu saja le.“
Dengan tertatih, ibu itu mencoba menyetop mobil yang lewat saat itu sambil berjalan berkilo-kilo meter. Dan sampai akhirnya.
“Lho, ibu mau kemana, sudah hampir gelap begini kok. Kasihan anaknya.“ Tanya sang pengemudi.
“Maaf, dek. Boleh ibu menumpang sampai kota”
“Oh tentu tentu. Masuk Bu.“ jawab sang pengemudi.
“Ternyata masih ada anak muda baik hati seperti adik ini ya.” Si bayi itu tertawa tawa ketika mereka menumpang dimobil itu.
“Ibu ini sebenarnya mau kemana toh?“ Tanya sang pengemudi.
“Saya mau ke Jogja, mau pulang.“
“Wah, kebetulan kalau begitu, saya juga mau kerumah mbah yang ada di Jogja. Kalau begitu saya antar ibu sampai rumah, kasihan bayi ne.“ ujar sang pengemudi.
“Tapi saya masih bingung, kenapa kok ya bisa ibu ini sendirian ditengah sawah tadi?“
“Oh, saya itu juga bingung dek, kok ya ada orang yang tega menurunkan saya, gara gara anak saya ini terus terusan nangis.“ jawab si Ibu
“Masa sih bu.  Wah, kalau itu kebangetan toh bu.“ timpal sang pengemudi.
**
Beberapa jam kemudian.
“Wah, ada apa ya kok nda biasa biasanya macet begini. Mas mas, aqua nya satu mas. Mas, ada apa toh mas, kok bisa macet begini ? panjang ya mas macet nya?“ tanya anak muda itu.
“Wah iya mas, katanya ada kecelakaan bis didepan sana.“ jawab penjual minuman.
“Oh…terimas kasih ya..mas. Ini bu, kalau ibu haus.“
“Oh, ini toh bisnya, ya Allah bisnya hangus terbakar, oh pantes. Tabrakan dengan truk besar.“ heran anak muda itu.
Prit prit prit, seorang polisi sedang mengatur jalannya arus lalu lintas yang macet itu.
“Pak ada yang selamat pak?“
“Kasihan dek, semua penumpang dan sopirnya tewas.“ jawab Polisi.
“Ya Allah, alhamdulillah. Le, kamu untung kamu nangis le.“ kata si Ibu
“Lha kok, ibu malah alhamdulillah wong ada musibah seperti ini kok.“ timpal sang pengemudi
“Dek, ini lho dek bis yang ibu naiki itu.“
“Ha, yang bener toh bu? Ya Allah. Kalau begitu anak ibu ini sudah menyelamatkan ibu lho. Itu adalah kasih sayang Allah bu, lewat anak ibu ini.”
“Ya..Allah, apa jadinya kalau saya dan anak saya masih menumpang bis itu ya…dek, alhamdulillah Alhamdulillah.”
~ Diambil dari kisah nyata ~
Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui apa apa yang terbaik untuk hambanya. karena itu pandai pandailah mencari Hikmah dibalik sebuah musibah dan ingat lah selalu untuk bersabar. Karena Allah selalu bersama orang orang yang sabar.

Kesombongan Dikalahkan Oleh Pribadi Bertauhid 





Raja Persia, Kusro yang selalu menganggap enteng terhadap bangsa gurun pasir, tertegun dan tidak percaya atas kenyataan bahwa bangsa Arab yang primitif ini berani menantang mereka, yang kemudian merobek-robek surat Rasulullah yang mengundangnya untuk menerima ajaran Islam. Raja yang sombong ini merasa terhina karena surat yang datang dari seorang “Bekas Gembala” itu dianggapnya lancang sekali telah berani mengajarinya tentang kebenaran, padahal ia seorang penakluk dunia. Maka raja ini tidak sudi mengakui perbatasan antara negerinya dengan jazirah Arab, yang ketika itu sudah menjadi Islam sebelum wafatnya Rasulullah. Oleh karena itu perbatasan ini selalu mereka ganggu.
Maka atas usul Khalid bin Walid, khalifah Abu Bakar mengirim bantuan laskar ke perbatasan, hingga mencapai 10.000 orang. Panglima Hurmuzan dari Persia lengkap dengan barisan bergajah mereka dengan pongahnya mencoba menghadang pasukan Khalid bin Walid, dengan tentara lebih dari 100.000 orang tentara bergajah.
Khalid memulai serangannya dengan mengirimkan surat terlebih dahulu. Dalam surat itu Khalid menawarkan 3 pilihan :
  1. Damai, dengan syarat masing2 menghormati perbatasan negara yang ada
  2. Menerima Ajaran Islam, yang akan menjalin ukhuwah Islamiyah antara kedua rakyat yang ada. Maka tidak akan ada soal perbatasan lagi
  3. Jika kedua pilihan itu tidak bisa diterima, maka bersiaplah kalian menghadapi kami yang datang dengan laskar yang berani hidup, namun ingin mati (syahid) karena kerinduan kami pada Allah.
Hurmuzan mengalami goncangan jiwa yang dahsyat, karena bagi mereka tidak pernah ada istilah “ingin mati”. Namun karena kesombongan bangsa ini terhadap bangsa Arab yang mereka anggap masih terbelakang itu, mereka memilih tawaran perang, apalagi mereka melihat perlengkapan barisan Muslim ketika itu paling tinggi hanyalah panah dan kuda. Kuda itupun terbatas bagi perwira menengah ke atas, sedangkan lasykar yang lainnya hanya berjalan kaki atau berkendara unta. “Apakah kuda sanggup berhadapan dengan gajah yang kuat ini?” demikian pikir panglima Persia yang sombong itu.
Khalid mengerahkan barisan Muslimin maju menyerbu di bawah pimpinannya sendiri yang berpacu di depan, dengan mengendarai kudanya yang berlari cepat Khalid menerobos barisan musuh yang paling tebal sambil mengayunkan pedangnya, sehingga terbentuk jalur mayat manusia yang bergelimpangan. Hingga jalur mayat ini menuju ke tempat panglima Hurmuzan, maka paniklah seluruh serdadu Persia. Mereka porak poranda kehilangan kepercayaan diri dan menyerahkan diri pada Khalid.
Tentara Persia yang menyerah diperlakukan Khalid dengan wajar dan baik sebagaimana Rasulullah mengajarkan. Harta benda mereka tidak diambil dan dirusak, bahkan tentara yang tadinya buruh tani yang tidak pernah punya tanah itu diberi hak untuk mempunyai tanah seseuai dengan kemampuan mereka menggarapnya. Maka merekapun berbondong-bondong masuk Islam.
Ketika itu salah seorang sahabat Khalid mengingatkan bahwa esok akan masuk bulan Zulhijjah, maka Khalid merasakan kerinduan dalam hatinya akan baituLlah. Yang kemudian memutuskan untuk naik haji. Lalu dengan diiringi beberapa sahabatnya khalid segera berderap pulang ke Mekkah untuk mengejar waktu demi melakukan haji dan meninggalkan kerajaan Persia yang baru saja ditaklukannya.
Ketika Khalifah Abu Bakar mendapat laporan akan kemenangan Khalid yang gemilang ditambah pula oleh kecerobohan Khalid meninggalkan medan sebelum sempat mengadan pengamanan seperlunya, maka Khalifah menulis, “Disamping rasa syukurku kepada Allah SWT dan tanpa mengurangi rasa hormatku atas keteguhan iman dan kecintaanmu kepada Allah, aku wajib memperingatkan engkau, bahwa meninggalkan medan sebelum mengadakan pengamanan seperlunya bukanlah tindakan seorang panglima yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, kami perintahkan agar engkau pulang ke posmu secepatnya”.
Sadar akan kesalahannya ini, Khalid segera melaksanakan perintah Khalifah itu sesudah menyelesaikan ibadah hajinya dan melakukan tawaf wada.
Ketika pasukan Islam di front Romawi Timur membutuhkan tambahan bantuan menghadapi tentara Romawi yang sangat canggih persenjataannya, maka khalifah Abu Bakar memanggil Khalid agar pulang meninggalkan Persia dan pergi memperkuat fornt menghadapi Romawi. Khalid kemudian mengambil kebijakan sesudah disetujui Abu Bakar langsung menuju ke Jerusalam tanpa pulang dulu ke Madinah. Yang kemudian Khalid harus menaklukan negeri-negeri yang terletak antara Persia dan Romawi Timur itu.
Negeri-negeri itu dapat ditaklukan oleh Khalid satu persatu dalam waktu relatif singkat. Maka nama Khalid bin Walid sebagai penakluk yang gagah perkasa dan pahlawan yang tak terkalahkan menjadi tersiar kemana-mana.
Anak muda di Madinah pun mulai menyanyikan syair-syair yang memuji-muji kepahlawanan panglima Khalid. Dan sementara itu khalifah Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khatab.
Sesampainya Khalid di front Romawi, lalu langsung mengadakan rapat untuk mengatur strategi menaklukkan tentara Romawi yang canggih itu. Ketika Khalid sedang memimpin rapat strategi, maka tibalah utusan dari Madinah yang membawa surat dari Khalifah Umar, yang ditujukan kepada panglima Khalid. Yang kemudian Khalid membaca surat tersebut, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam saku dan meneruskan rapat penting itu. Dan ternyata surat itu berisi pemberhentian Khalid sebagai panglima dan perintah agar menyerahkan pimpinan kepada bawahannya.
Esoknya Khalid masih memimpin penyerangan perdana terhadap front Romawi ini. Ketika dilihatnya panglima di bawahnya sudah mampu melanjutkan perjuagan dengan strategi yang dibuat, maka pimpinan diserahkannya dan Khalidpun langsung pulang ke Madinah menemui Khalifah Umar.
Sesampainya di Madinah, maka ia langsung menemui Khalifah Umar dan menanyakan apa gerangan alasan maka ia diberhentikan tiba-tiba. Apakah karena kekurangan fahamannya tentang urusan keuangan? “Aku harus mengakui kekuranganku dalam mengurus buku keuangan ini, namun aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa aku tak pernah mengambil satu sen pun dari dana yang disediakan oleh negara, bahkan uang pribadiku banyak yang kusumbangkan untuk perjuangan ini.” Kata Khalid kepada Umar.
“Aku sungguh yakin akan kejujuranmu dan keikhlasanmu, wahai saudaraku, sehingga aku tidak pernah merasa curiga akan manajemen dana perjuangan ini, walaupun aku yakin, bahwa sebagai panglima engkau tetap merupakan penanggung jawab terakhir terhadap manajemen ini” Ucap Khalifah Umar kepada Panglima Khalid
“Lantas, mengapa sampai aku dipecat tanpa alasan yang tepat?” tukas Khalid dengan suara yang agak tajam
Umar menatap wajah Khalid dan berkata “Aku sekedar melakukan tugasku menyelamatkan tauhidnya umat. Engkau adalah panglima yang gagah perkasa, dan Rasulullah saw. Sendiri yang telah mengangkatmu memegang jabatanmu itu. Sejak itu engkau belum pernah terkalahkan di setiap medan pertempuran, sehingga rakyat sudah mulai menyanyikan lagu yang memuji dan memuja namamu di samping memuji Allah SWT. Aku takut akan hal ini dan berkembang menjadi kenyataan seolah engkaulan satu-satunya yang sanggup memenangkan seluruh perjuangan ini dengan atau tanpa syafa’at Allah SWT. Bukankah dengan demikian mereka menjadi musyrikin? Maka aku ingin buktikan kepada mereka, bahwa Umar, hamba Allah yang lemah dan hina ini, telah sanggup menjatuhkan engkau panglima yang gagah perkasa. Dengan demikian kuharap mereka kembali memuji dan memuja hanya kepada Allah SWT.”
Mendengar keterangan Umar yang tegas menegakkan tauhid itu Khalid menerima kebijakan Khalifah yang arif itu dengan ikhlash. Maka besoknya Khalid kembali ke medan perang membantu rekan2nya yang sedang berjuang di front Romawi Timur. Khalid maju di bawah pimpinan bekas bawahannya sebagai prajuri biasa.
Ketika ditanyakan orang kepadanya mengapa ia terus juga berjuang sesudah dipecat oleh Umar sebagai panglima, maka Khalid menjawab tegas, “Aku berjuang bukan karena Umar, aku berjuang semata karena Allah SWT.”
**
Masih adakah pribadi-pribadi tauhid yang tulen seperti abu bakar, umar bin khattab dan khalid bin walid saat ini?
Ya Rabb, dimana Kau sembunyikan pribadi seperti para sahabat
Ya Rabb, tampakanlah pribadi seperti para sahabat ini kepermukaan
Dan jadikanlah pribadi yang taat dan patuh hanya kepadaMu menjadi pemimpin kami
Hingga kami turut akan semua perintah dari amanah yang diembannya.

Harga Sebuah Baju 





Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.
Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard”, kata sang pria lembut.
“Beliau hari ini sibuk,” sahut sang Sekretaris cepat.
“Kami akan menunggu,” jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak.
Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.
“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka.
Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul. Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkah?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”
“Oh, bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat, “Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.
Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan,”Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?”
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard.
Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.
Catatan:
Kita, seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Jangan Ada Dusta 










 “Sofi, carikan aku calon istri…”
Waaaaa…….. Gimana ini…, nyari kemana? Supermarket, Tanah Abang, Glodok, atau Toko Kelontong? Emang Gampang kayak nyari kacang rebus, gitu? Enak aja… Nyomblangin… Mau ngasih berapa sih prangkonya? he he, matre… Tapi bagaimanapun, aku kan baik hati…cieeee…….
***
Ku obrak-abrik memori otakku. Ku buka album kenanganku, mulai dari yang di TK hingga kini di kampusku. Ku bolak-balik buku telponku, kularik dari A sampai Z. Yang mana yang cocok dengan Fahrur, rekan Rohisku. Ups…, Fatima Khairunnisa. Teman SMAku di Yogya dulu.
Gadis manis berlesung pipit, dengan kacamata yang menambah cantik wajah ovalnya. Yang memperkenalkanku untuk berjilbab, membawaku masuk Rohis, mengajariku menjadi muslimah sejati. Temanku yang seindah namanya. Puteri kesayangan Nabi, yang memang khairunnisa, sebaik-baik perempuan. Inilah sebaik-baik pilihan, untuk Fahrur.
***
Liburan mid-semester, aku pulang ke Yogya sebentar, yang juga untuk melanjutkan misiku, mencarikan istri.
***
Parangtritis, pantai di sebelah selatan Yogyakarta. Karang yang menjulang, ombak yang saling berkejaran di bawah birunya langit, yang katanya menjadi persemayaman Nyi Roro Kidul, Ratu cantik Pantai Selatan, wallahu a’lam.
Namun, di tempat inilah kami bernostalgia, mengenang masa-masa di SMA, bersama sobatku, calon mangsaku.
Setelah lelah berjalan, berlari, melompat dan melepaskan jerit ketika gulungan ombak menghampiri kaki. Kami duduk bersisian berkiblatkan laut, diam membisu membiarkan matahari tenggelam di lautan lepas, dalam gulungan buih putih di permukaan biru, berkejaran dan terantuk pada sebongkah cadas, tak bosan-bosannya menyapa dan membelai cadas sambil mengulang-ulang nyayiannya dalam irama yang datar.
Hanya jeritan camar yang menjadi pengiring irama abadi di pinggir pantai itu. Kubayangkan, kehidupan manusia itu seperti benturan buih dan cadas.
Cadas telah mengukuhkan kekuatannya ketika dia terus menerus dibenturkan oleh besar kecilnya riak buih yang menghantam. Tanpa jeda.
Manusia yang baik adalah manusia yang kuat seperti cadas. Jangan yakini kekuatan manusia sebelum dibenturkan oleh realitas. Cadas telah tawakal dan pasrah diri untuk menerima gempuran-gempuran buih kenyataan yang didorong oleh badai takdir. Gempuran itu tak boleh melemahkan, meluluhkan ataupun menghancurkan.
Jadilah seperti cadas, gempuran menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya.
“Kenapa nggak dengan kamu aja Sofi?”, tanyanya ketika dengan perlahan ku tawarkan niatku untuk mencarikan istri rekan dakwahku.
Ku hanya tersenyum, dengan datar. Dan kembali kuyakinkan Nisa, bahwa ia adalah makhluk-Nya, yang dikirimkan oleh-Nya, untuk menemani dan menguatkan langkah dakwah sobatku.
Rembang mulai turun, setengah bola api dari semesta telah tenggelam di lautan barat. Lapis awan oranye diam bermandi cahaya matahari yang makin lama makin lemah sinarnya.
Sementara ratusan burung berkumpul mengitari awan itu, seakan salam penghormatan terakhir pada hari yang sebentar lagi akan ditinggalkan.
Waktunya pulang, dengan membawa seribu perasaan lega di hati, atas persetujuan sobatku.
***
Kulangkahkan kakiku memasuki pelataran rumah yang sudah tak asing lagi. tempat kami berdua bercanda, bercengkerama sepulang sekolah dulu.
Pohon jambu itu masih ada.
Lima tahun yang lalu, aku nangkring diatas sana, memilih jambu yang telah ranum memerah. Lalu tiba-tiba kuteriak dan terjatuh, karna seluruh tubuhku telah dipenuhi semut Rangrang. Di teras itu, kami makan rujak bersama, hingga merah semua wajah kami, penuh keringat, kepedasan.
Di teras itu, kini bersanding pemilik rumah itu, pemilik nama indah itu, Fatimah Khairunnisa, bersama shobatku.
***
“Ono opo tho ‘Ndhuk, kok pulang dengan wajah mbesengut begitu…?”
Ku peluk Ibuku yang semakin menua, dengan rambut ditumbuhi uban satu-dua. Ingin ku luapkan perasaanku, namun ku tak tega menambahi beban yang telah menggelayuti wajah keriputnya.
“Yo wis, cepat mandi, lalu lihat aja di dapur, Ibu sudah masak sayur kesukaanmu…”
Ibu, ibu, Ini yang membuatku kangen untuk pulang terus.
Nasi liwet, Pindang goreng, Bening Jowo, dan tak bisa ketinggalan sambel terasi.
Wah, kalau sudah begini, Brad Pitt lewat pun aku tak peduli.
***
Malam ini, begitu nikmatnya ku berasyik masyuk menyapa-Mu
Di sajadah panjang ini, ku limpahkan semua derai tangisku
Tuhan, aku bukan Khadijah, Sang ummahatul mukminin, dengan sejuta talenta, yang telah mengajukan diri mendampingi hidup Sang Rasul mulia.
Aku bukan Srikandi, sang Wanodya ayu tama ngambar arumming kusuma, yang mempunyai mata nDamar kanginan, hidung mBawang tunggal, bulu mata nanggal sepisan, dan pipi yang nDuren sejuing. Sehingga berani ngunggah-unggahi Arjuna.
Aku hanya gadis yang belajar dari seorang ibu yang berhati rembulan bersemangat mentari, dan seorang ayah yang segarang singa selembut sutra.
Ku tak layak Tuhan.
Ku tatap dinding kamarku, terpampang besar sekali gambaran rencana masa depanku, yang tersusun rapi dalam “Peta Hidup”, seperti yang diajarkan Bunda Marwah.
Kususuri kotak demi kotak umurku. Mataku terpaku pada kotak ke 26, di tahun 2007. Ada dua point tertulis disana, S3, dan menikah. Kutulis sedikit footnote kecil disana “F”, hanya itu.
Tuhan, maafkan hamba telah lancang. Bukan kuberniat mendahului qadha-Mu. Ini hanya harapanku, rencanaku, inginku. Namun, keputusan-Mu, itu yang pasti.
Ku ambil Tip Ex. Tak boleh kutulis inisial apapun di kotak peta hidupku.
Tuhan, jangan biarkan ku menangisi perkara yang telah Kau jamin dan Kau tetapkan. Namun permudahkan aku menangisi dosa dan kerinduanku pada-Mu. Nisa, hadiah terindahku untuknya.
***
Petang menjelang, tasyakuran pernikahanpun usai.
Setelah tamu-tamu pulang, meninggalkan lelah sekaligus gembira kedua mempelai dan keluarga, Fahrur segera menuju kamarnya, menyendiri, tergugu di atas sajadah. Lirih ia bergumam; Sofi, semoga ini hadiah terindahmu. Semoga ku bisa menepis perasaan ini.
Ku takut memetikmu, ku tak layak disisimu. Cukup bagiku hadiahmu ini. Ku kan jaga, istriku, pilihanmu, amanahmu.
Ku teringat akan puisi yang ku dapatkan dari temanmu, tentang surat cinta, yang menyentakkan kesadaranku, mematahkan nyaliku untuk menyuntingmu.
(ehhh…puisi siapa ya ini….)
**
Wanita suci
Bagiku kau bukanlah bunga
Tak mampu aku samakan kau dengan bunga-bunga
Terindah dan terharum sekalipun
Bagiku manusia adalah mahluk terindah
Tersempurna dan tertinggi
Bagiku dirimu salah satu manusia terindah
Tersempurna dan tertinggi
Karenanya kau tak membutuhkan persamaan
Wanita Suci
Dengan menatapmu, telah membuatku terus mengingatmu
Dan memenuhi kepalaku dengan inginkanmu
Berimbas pada tersusunnya gambarmu dalam tiap dinding khayalku
Membuatku inginkan dirimu sepenuh hati, seluruh jiwa sesemangat mentari
Dirimu terlalu suci untuk hadir dalam khayalku
Yang penuh dengan lumpur…
Wanita suci
Menghabiskan waktu berdua denganmu bagai mimpi tak berujung
Menyentuhmu merupakan ingin diri, berkelebat selalu
Meski ujung penutupmupun tak pernah berani kusentuh
Jangan pernah kalah dengan mimpi dan inginku…
Karena aku biasa memakaikan topeng keindahan pada wajah burukku
Meniru pakaian para rahib, kiai dan ulama
Meski hatiku lebih kotor dari kubangan lumpur
Wanita suci
Beri sepenuh diri pada dia sang lelaki suci
Yang dengan sepenuh diri membawamu pada Ilahi
Untuknya dirimu ada
Tunggu sang lelaki suci menjemputmu
Atau kejar sang lelaki suci itu
Dialah hakmu, seperti dicontohkan ibunda Khadijah
Jangan ragu…, jangan malu…
Wanita suci
Bariskan harapanmu pada istikharah penuh ikhlas
Relakan Tuhan pilihkan lelaki suci bagimu
Mungkin sekarang atau nanti…
Bahkan mungkin tak ada, sampai kau mati
Karena kau terlalu suci,
untuk semua lelaki,
dalam permainan ini
Karena lelaki suci itu menantimu di istana kekal
Yang kau bangun dengan kekhusu’an ibadah
Wanita suci
Pilihan Tuhan tak selalu seindah inginmu
Tapi itulah pilihan-Nya
Tak ada yang lebih baik dari pilihan-Nya
Sang Kekasih Tertinggi
Tempat kita memberi semua cinta
Dan menerima cinta yang tak terhingga
Dalam tiap detik hidup kita
(untuk yg ada disana, Dia-lah Maha Pembuat Skenario Terbaik, biarlah Dia yang menentukan)

Pengantin Bidadari 





Raudhah Al Muhibbin wa Al Musytaqin (Taman Orang-orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu)
Sebagai seorang pengantin, wanita lebih cantik dibanding seorang gadis. Sebagai seorang ibu, wanita lebih cantik dibanding seorang pengantin. Sebagai istri dan ibu, ia adalah kata-kata terindah di semua musim dan dia tumbuh menjadi lebih cantik bertahun-tahun kemudian.
***
Syahdan, di Madinah, tinggallah seorang pemuda bernama Zulebid. Dikenal sebagai pemuda yang baik di kalangan para sahabat. Juga dalam hal ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat. Dari sudut ekonomi dan finansial, ia pun tergolong berkecukupan. Sebagai seorang yang telah dianggap mampu, ia hendak melaksanakan sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis di kota itu, namun selalu ditolak oleh pihak orang tua ataupun sang gadis dengan berbagai alasan.
Akhirnya pada suatu pagi, ia menumpahkan kegalauan tersebut kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah.
“Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau mendapatkan jalan keluar yang terbaik bagimu”, nasihat mereka.
Zulebid kemudian mengutarakan isi hatinya kepada Baginda Nabi. Sambil tersenyum beliau berkata, “Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?”
“Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya Rasulullah, putri si Fulan itu terkenal akan kecantikan dan kesholihannya, dan hingga kini ayahnya selalu menolak lamaran dari siapapun.
“Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi.
“Baiklah ya Rasul”, dan Zulebid segera bergegas bersiap dan pergi ke rumah si Fulan.
Sesampai di rumah Fulan, Zulebid disambut sendiri oleh Fulan, “Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah saya?” Tanya Fulan.
“Rasulullah saw yang mengutus saya ke sini, saya hendak meminang putrimu si A.” Jawab Zulebid sedikit gugup.
“Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan dulu kepada putriku.” Fulan menemui putrinya dan bertanya, “bagaimana pendapatmu wahai putriku?”
Jawab putrinya, “Ayah, jika memang ia datang karena diutus oleh Rasulullah saw, maka terimalah lamarannya, dan aku akan ikhlas menjadi istrinya.”
Akhirnya pagi itu juga, pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Zulebid kemudian memboyong istrinya ke rumahnya.
Sambil memandangi wajah istrinya, ia berkata,” duhai Anda yang di wajahnya terlukiskan kecantikan bidadari, apakah ini yang engkau idamkan selama ini? Bahagiakah engkau dengan memilihku menjadi suamimu?”
Jawab istrinya, ” Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang meminangku. Tentu Allah telah menakdirkan yang terbaik darimu untukku. Tak ada kebahagiaan selain menanti tibanya malam yang dinantikan para pengantin.”
Zulebid tersenyum. Dipandanginya wajah indah itu ketika kemudian terdengar pintu rumah diketuk. Segera ia bangkit dan membuka pintu. Seorang laki-laki mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di masjid, panggilan berjihad dalam perang. Zulebid masuk kembali ke rumah dan menemui istrinya.
“Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini.”
Istrinya menyahut, “Pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu”
***
Zulebid lalu bersiap dan bergabung bersama tentara muslim menuju ke medan perang. Gagah berani ia mengayunkan pedangnya, berkelebat dan berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas ditangannya. Ia bertarung merangsek terus maju sambil senantiasa mengumandangkan kalimat Tauhid, ketika sebuah anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap tepat di dadanya.
Zulebid terjatuh, berusaha menghindari anak panah lainnya yang berseliweran di udara. Ia merasa dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun mulai terkulai terlepas dari tangannya. Sambil bersandar di antara tumpukan korban, ia merasa panggilan Allah sudah begitu dekat.
Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu dikasihinya. Teringat akan masa kecilnya bersama-sama saudaranya. Berlari-larian bersama teman sepermainannya. Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu dihormati, dijunjung dan dikaguminya. Hingga akhirnya bayangan rupawan istrinya. Istrinya yang baru dinikahinya pagi tadi. Senyum yang begitu manis menyertainya tatkala ia berpamitan. Wajah cantik itu demikian sejuk memandangnya sambil mendoakannya. Detik demi detik, syahadat pun terucapkan dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum menghiasinya, Zulebid pergi menghadap Ilahi, gugur sebagai syuhada.
***
Senja datang Angin mendesau, sepi. Pasir-pasir beterbangan. Berputar-putar.
Rasulullah dan para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur dalam perang. Di antara para mujahid tersebut terdapatlah tubuh Zulebid yang tengah bersandar di tumpukan mayat musuh. Akhirnya dikuburkanlah jenazah zulebid di suatu tempat. Berdampingan dengan para syuhada lain.
Tanpa dimandikan…
Tanpa dikafankan…
Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam Zulebid. Rasulullah terpekur di samping pusara tersebut. Para sahabat terdiam membisu. Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air mata berlinang di dari pelupuk mata beliau. Lalu beberapa waktu kemudian beliau seolah-olah menengadah ke atas sambil tersenyum. Wajah beliau berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan shahabat, tiba-tiba Rasulullah menolehkan pandangannya ke samping seraya menutupkan tangan menghalangi arah pandangan mata beliau.
Akhirnya keadaan kembali seperti semula. Para shahabat lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Rasulullah. “Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau menangis?”
Jawab Rasul, “Aku menangis karena mengingat Zulebid. Oo..Zulebid, pagi tadi engaku datang kepadaku minta restuku untuk menikah dan engkau pun menikah hari ini juga. Ini hari bahagia. Seharusnya saat ini Engkau sedang menantikan malam Zafaf, malam yang ditunggu oleh para pengantin.”
“Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi.
“Aku menengadah karena kulihat beberapa bidadari turun dari langit dan udara menjadi wangi semerbak dan aku tersenyum karena mereka datang hendak menjemput Zulebid,” Jawab Rasulullah.
“Dan lalu mengapa kemudian Engkau memalingkan pandangannya dan menoleh ke samping?” Tanya mereka lagi.
“Aku mengalihkan pandangan menghindar karena sebelumnya kulihat, saking banyaknya bidadari yang menjemput Zulebid, beberapa diantaranya berebut memegangi tangan dan kaki Zulebid. Hingga dari salah satu gaun dari bidadari tersebut ada yang sedikit tersingkap betisnya….”
***
Di rumah, istri Zulebid menanti sang suami yang tak kunjung kembali. Ketika terdengar kabar suaminya telah menghadap sang ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha Karya.
Malam menjelang. Terlelap ia, sejenak berada dalam keadaan setengah mimpi dan dan nyata. Lamat-lamat ia seperti melihat Zulebid datang dari kejauhan. Tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kesedihan pula.
Terdengar Zulebid berkata, “Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini apabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu.”
Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.
Istri Zulebid, terdiam. Matanya basah. Ada sesuatu yang menggenang disana. Seperti tak lepas ia mengingat acara pernikahan tadi pagi. Dan bayangan suaminya yang baru saja hadir. Ia menggerakkan bibirnya.
“Suamiku, aku mencintaimu. Dan dengan semua ketentuan Allah ini bagi kita. Aku ikhlas.”
***
Somewhere over the rainbow, way up high
There’s a land that I heard of once on a lullaby
Somewhere over the rainbow, skied are blue
And the dreams that you dare to dream
really do come true..
Dan, akan kemanakah kumbang terbang
Pada siapa rindu mendendam
Kekasih yang terkasih
Pencinta dan yang dicinta
Semua berurai air mata
Sedih, ataukah bahagia…..?
***
Untuk para pengantin bidadari

Utusan Malaikat Maut 





 Dikisahkan bahwa malaikat maut bersahabat dengan Nabi Ya’qub As. Suatu ketika Nabi Ya’qub berkata kepada Malaikat maut, ” Aku menginginkan sesuatu yang harus kau penuhi sebagai tanda persaudaraankita”.
“Apakah itu?” Tanya Malaikat maut.
“Jika ajalku telah dekat, beritahulah aku!” pinta Ya’qub As.
Malaikat maut berkata, “Baik, aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirimkan satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku”.
Dan setelah mereka bersepakat, kemudian mereka berpisah. Setelah beberapa lama malaikat maut kembali menemui nabi Ya’qub. Kemudian nabi Ya’qub bertanya, “Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawaku?”
“Aku datang untuk mencabut nyawamu” Jawab malaikat maut.
“Lalu dimana ketiga utusanmu?” tanya Nabi Ya’qub As.
“Sudah kukirim” jawab malaikat maut, “Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bongkoknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’qub, itulah utusanku untuk setiap Bani adam.”

Wassalam

Wanita Yang Teguh Menggenggam Tauhid 





“Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.” “
Alkisah di negeri Mesir, Fir’aun terakhir yang terkenal dengan keganasannya bertahta. Setelah kematian sang isteri, Fir’aun kejam itu hidup sendiri tanpa pendamping. Sampai cerita tentang seorang gadis jelita dari keturunan keluarga Imran bernama Siti Asiah sampai ke telinganya. Fir’aun lalu mengutus seorang Menteri bernama Haman untuk meminang Siti Asiah.
Orangtua Asiah bertanya kepada Siti Asiah, “Sudikah anakda menikahi Fir’aun ?”
“Bagaimana saya sudi menikahi Fir’aun. Sedangkan dia terkenal sebagai raja yang ingkar kepada Allah ?”
Haman kembali pada Fir’aun. Alangkah marahnya Fir’aun mendengar kabar penolakan Siti Asiah.
“Haman, berani betul Imran menolak permintaan raja. Seret mereka kemari. Biar aku sendiri yang menghukumnya !”
Fir’aun mengutus tentaranya untuk menangkap orangtua Siti Asiah. Setelah disiksa begitu keji, keduanya lantas dijebloskan ke dalam penjara. Menyusul kemudian, Siti Asiah digiring ke Istana. Fir’aun kemudian membawa Siti Asiah ke penjara tempat kedua orangtuanya dikurung. Kemudian, dihadapan orangtuanya yang nyaris tak berdaya, Fir’aun berkata, “He, Asiah. Jika engkau seorang anak yang baik, tentulah engkau sayang terhadap kedua orangtuamu. Oleh karena itu, engkau boleh memilih satu diantara dua pilihan yang kuajukan. Kalau kau menerima lamaranku, berarti engkau akan hidup senang, dan pasti kubebaskan kedua orangtuamu dari penjara laknat ini. Sebaliknya, jika engkau menolak lamaranku, maka aku akan memerintahkan para algojo agar membakar hidup-hidup kedua orangtuamu itu, tepat dihadapanmu.”
Karena ancaman itu, Siti Asiah terpaksa menerima pinangan Fir’aun. Dengan mengajukan beberapa syarat, yaitu Fir’aun harus membebaskan orangtuanya, Fir’aun harus membuatkan rumah untuk ayah dan ibunya, yang indah lagi lengkap perabotannya dan Fir’aun harus menjamin kesehatan, makan, minum kedua orangtuanya.
Siti Aisyah bersedia menjadi isteri Fir’aun. Hadir dalam acara-acara tertentu, tapi tak bersedia tidur bersama Fir’aun. Sekiranya permintaan-permintaan tersebut tidak disetujui, Siti Asiah rela mati dibunuh bersama ibu dan bapaknya.
Akhirnya Fir’aun menyetujui syarat-syarat yang diajukan Siti Asiah. Fir’aun lalu memerintahkan agar rantai belenggu yang ada di kaki dan tangan orangtua Siti Asiah dibuka. Singkat cerita, Siti Asiah tinggal dalam kemewahan Istana bersama-sama Fir’aun. Namun ia tetap tak mau berbuat ingkar terhadap perintah agama, dengan tetap melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Pada malam hari Siti Asiah selalu mengerjakan shalat dan memohon pertolongan Allah SWT. Ia senantiasa berdoa agar kehormatannya tidak disentuh oleh orang kafir, meskipun suaminya sendiri, Fir’aun.
Untuk menjaga kehormatan Siti Asiah, Allah SWT telah menciptakan iblis yang menyaru sebagai Siti Asiah. Dialah iblis yang setiap malam tidur dan bergaul dengan Fir’aun.
Fir’aun mempunyai seorang pegawai yang amat dipercaya bernama Hazaqil. Hazaqil amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Beliau adalah suami Siti Masyitoh, yang bekerja sebagai juru hias istana, yang juga amat taat dan beriman kepada Allah SWT. Namun demikian, dengan suatu upaya yang hati-hati, mereka berhasil merahasiakan ketaatan mereka terhadap Allah. Dari pengamatan Fir’aun yang kafir.
Suatu kali, terjadi perdebatan hebat antara Fir’aun dengan Hazaqil, disaat Fir’aun menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang ahli sihir, yang menyatakan keimanannya atas ajaran Nabi Musa a.s. Hazaqil menentang keras hukuman tersebut. Mendengar penentangan Hazaqil, Fir’aun menjadi marah. Fir’aun jadi bisa mengetahui siapa sebenarnya Hazaqil. Fir’aun lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Hazaqil. Hazaqil menerimanya dengan tabah, tanpa merasa gentar sebab yakin dirinya benar.
Hazaqil menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tangan terikat pada pohon kurma, dengan tubuh penuh ditembusi anak panah. Sang istri, Masyitoh, teramat sedih atas kematian suami yang amat disayanginya itu. Ia senantiasa dirundung kesedihan setelah itu, dan tiada lagi tempat mengadu kecuali kepada anak-anaknya yang masih kecil.
Suatu hari, Masyitoh mengadukan nasibnya kepada Siti Asiah. Diakhir pembicaraan mereka, Siti Asiah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya, bahwa iapun menyembunyikan ketaatannya dari Fir’aun. Barulah keduanya menyadari, bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah SWT dan Nabi Musa a.s.
Pada suatu hari, ketika Masyitoh sedang menyisir rambut puteri Fir’aun, tanpa sengaja sisirnya terjatuh ke lantai. Tak sengaja pula, saat memungutnya Masyitoh berkata, “Dengan nama Allah binasalah Fir’aun.”
Mendengarkan ucapan Masyitoh, Puteri Fir’aun merasa tersinggung lalu mengancam akan melaporkan kepada ayahandanya. Tak sedikitpun Masyitoh merasa gentar mendengar hardikan puteri. Sehingga akhirnya, ia dipanggil juga oleh Fir’aun.
Saat Masyitoh menghadap Fir’aun, pertanyaan pertama yang diajukan kepadanya adalah, “Apa betul kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku, sebagaimana penuturan anakku. Dan siapakah Tuhan yang engkau sembah selama ini?”
“Betul, Baginda Raja yang lalim. Dan Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai segala alam dan isinya.”jawab Masyitoh dengan berani.
Mendengar jawaban Masyitoh, Fir’aun menjadi teramat marah, sehingga memerintahkan pengawalnya untuk memanaskan minyak sekuali besar. Dan saat minyak itu mendidih, pengawal kerajaan memanggil orang ramai untuk menyaksikan hukuman yang telah dijatuhkan pada Masyitah. Sekali lagi Masyitoh dipanggil dan dipersilahkan untuk memilih, jika ingin selamat bersama kedua anaknya, Masyitoh harus mengingkari Allah. Masyitoh harus mengaku bahwa Fir’aun adalah Tuhan yang patut disembah. Jika Masyitoh tetap tak mau mengakui Fir’aun sebagai Tuhannya, Masyitoh akan dimasukkan ke dalam kuali, lengkap bersama kedua anak-anaknya.
Masyitoh tetap pada pendiriannya untuk beriman kepada Allah SWT. Masyitoh kemudian membawa kedua anaknya menuju ke atas kuali tersebut. Ia sempat ragu ketika memandang anaknya yang berada dalam pelukan, tengah asyik menyusu. Karena takdir Tuhan, anak yang masih kecil itu dapat berkata, “Jangan takut dan sangsi, wahai Ibuku. Karena kematian kita akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Dan pintu surga akan terbuka menanti kedatangan kita.”
Masyitoh dan anak-anaknyapun terjun ke dalam kuali berisikan minyak mendidih itu. Tanpa tangis, tanpa takut dan tak keluar jeritan dari mulutnya. Saat itupun terjadi keanehan. Tiba-tiba, tercium wangi semerbak harum dari kuali berisi minyak mendidih itu.
Siti Asiah yang menyaksikan kejadian itu, melaknat Fir’aun dengan kata-kata yang pedas. Iapun menyatakan tak sudi lagi diperisteri oleh Fir’aun, dan lebih memilih keadaan mati seperti Masyitoh.
Mendengar ucapan Isterinya, Fir’aun menjadi marah dan menganggap bahwa Siti Asiah telah gila. Fir’aun kemudian menyiksa Siti Asiah, tak memberikan makan dan minum, sehingga Siti Asiah meninggal dunia.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Siti Asiah sempat berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata : “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi_mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66] : 11)
Demikian kisah Siti Asiah dan Masyitoh. Semoga muslimah sekalian bisa mengambil hikmah dan mengikuti jejak keduanya, meninggal dalam keadaan teguh menggenggam “Tauhid.”

Carilah Iman Yang Separuh Lagi 





Bismillaahir-rahmaanir-rahiim
Sahabat,
Ketika salah seorang sahabat bernama Ukaf bin Wida’ah al-Hilali menemui Rasulullah saw dan mengatakan bahwa ia belum menikah, beliau bertanya, “Apakah engkau sehat dan mampu?” Ukaf menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan. Atau engkau mungkin termasuk pendeta Nasrani dan engkau bagian dari mereka. Atau (bila) engkau termasuk bagian dari kami, maka lakukanlah seperti yang kami lakukan, dan termasuk sunnah kami adalah menikah. Orang yang paling buruk diantara kamu adalah mereka yang membujang. Orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang.” Kemudian Rasulullah saw menikahkannya dengan Kultsum al-Khumairi. (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Majah)
Anas bin Malik ra berkata, telah bersabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim)
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi saw tentang peribadatan beliau. Setelah mendapat penjelasan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata, “Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Yang lain berkata, “Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya.” Ketika hal itu didengar oleh Nabi saw, beliau keluar seraya bersabda, “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah swt sebagai seorang bujangan.” (Ihya Ulumuddin hal. 20)
Dalam suatu kesempatan Imam Malik pernah berkata, “Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan istri saya sudah meninggal, saya akan segera menikah.” Demikian rasa takut pengarang kitab al-Muwatha’ ini kepada Allah kalau ia meninggal dalam keadaan membujang. (30 Pertunjuk Pernikahan dalam Islam, Drs. M. Thalib)
Lalu kenapa kita masih menahan diri untuk menikah? Pengalaman mengajarkan bahwa ternyata kita dapat menjadi semacam tempat penyalur rejeki (dari Allah) bagi orang-orang yang lemah diantara kita (istri dan anak-anak, bahkan orangtua dan mertua sekaligus). Itu dapat terjadi manakala kita telah buat keputusan untuk mengambil tanggung jawab atas mereka. Seakan-akan Allah mengatakan bahwa Dia akan membantu kita untuk mewujudkan setiap niat baik dan tangung jawab kita.
Allah swt menyukai orang-orang yang dapat ‘mewakili’-Nya dalam hal pembagian rejeki. Salah satu kesukaan-Nya adalah bahwa Dia akan berikan lebih banyak lagi rejeki kepada wakil-wakil-Nya agar hal itu dapat bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya yang ada dibawah tanggung-jawab mereka. Dan Allah (yang menyenangi orang-orang yang berbuat baik) menyukai mereka yang mengambil tanggung-jawab atas urusan-urusan yang disukai-Nya.
Percayalah bahwa ketika kita buat keputusan untuk menikah, itu berarti bahwa kita sedang menyenangkan Allah. Pada saat yang sama, kita menjadikan setan stress dan ‘uring-uringan’. Pada gilirannya nanti, Allah akan memperlihatkan bahwa hanya kepada-Nyalah semua makhluk bergantung dan mendapatkan rejekinya. Sementara itu, setan bekerja lebih keras lagi untuk menanamkan rasa takut terhadap segala resiko (yang mungkin timbul) dari pernikahan, sekaligus dia menampakkan ‘kebaikan-kebaikan’ hidup sendiri (membujang).
Bila kita menikah, padahal saat ini kita (misalnya) seperti ‘tulang punggung’ bagi keluarga orangtua, maka Allah yang maha pengasih dan maha penyayang tidak akan menambah berat beban yang harus kita pikul, bahkan Dia akan meringankannya melalui pernikahan. Nampaknya hal ini tidak bisa masuk akal, akan tetapi demikianlah ketetapan Allah dalam memelihara ciptaan-Nya. Akal kita memang sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memahami ciptaan-Nya saja hamper-hampir kita tidak mampu.
Bila kita menikah, sedangkan kita tidak sedikitpun punya niatan untuk meninggalkan bakti kepada orangtua dan hubungan baik dengan sanak-saudara, niscaya Allah akan memberi jalan keluar bagi masalah-masalah yang mungkin timbul terhadap mereka. Segala sesuatu datang dari Allah dan semuanya akan kembali kepada-Nya. Keadaan seberat apapun, pasti tidak akan menyusahkan-Nya sedikitpun dalam menyelesaikan masalah-masalah keseharian kita.
Bila kita menikah, maka kita akan (segera) masuk ke dalam orang-orang yang beruntung yang akan diakui sebagai ummat Rasulullah saw. Begitu besarnya perhatian Rasulullah saw akan hal nikah sehingga seseorang seperti Julabib, (maaf) yang punya wajah jelek, hitam, miskin dan tidak punya keberanian untuk nikah (karena keadaannya) pun ‘digesa’ dan didorong untuk menikah. Seakan Rasulullah marah kepada mereka yang sudah masuk dalam kategori layak nikah namun dia mengabaikannya.
Untuk itu, hendaknya tidak seorangpun merasa kecil hati dengan keadaannya saat ini. Banyak keadaan dimana orang-orang memandang bahwa keadaan kita jauh lebih baik daripada mereka. Barangkali orang-orang di luar kita tidak sepenuhnya memahami keadaan kita, akan tetapi pada kenyataannya memang selalu ada orang-orang yang posisinya jauh dibawah kita dan selalu ada orang-orang yang keadaannya lebih buruk daripada kita.
Lalu dari mana kita mulai? Orang-orang tua yang arif-bijaksana selalu mengingatkan agar kita selalu memperbaharui niat kita, menguatkannya hingga kita berazam untuk mewujudkan sesuatu yang kita hajatkan. Dengan ijin Allah, niat yang kuat (azam) akan dapat mengaktifkan fikir, menggerakkan anggota badan dan melibatkan segala sesuatu di sekitar kita untuk merealisasikan apa yang kita niatkan. Untuk perkara yang tidak baik saja Allah memberinya ijin, lalu bagaimana pula bila niat itu sesuatu yang Allah sukai?
Langkah selanjutnya adalah doa. Dengan menguatkan niat, doa kita akan terasa lebih berkesan. Ada masa-masa tertentu setiap hari ketika Allah merespon doa secara ‘cash’ (tunai). Tidak seorangpun tahu rahasia ini, sehingga orang yang bersungguh-sungguh (dengan urusan doa yang diijabah ini) tidak akan menyiakan masanya, sehingga tidak ada masa kecuali selalu dalam berhubungan dengan Sang pengijabah doa.
Langkah berikutnya, yakni seiring dengan doa yang sedang kita panjatkan, adalah ikhtiar. Kita boleh menyukai siapa saja, yang agama kita membenarkannya untuk kita menikahinya. Akan tetapi ketetapan pasangan kita adalah hak Allah. Kita boleh memilih dan memilah, tapi yakin kita adalah bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik buat kita. Allah mengetahui sedangkan kita tidak tahu kecuali sebatas pada apa yang diberitahukan-Nya kepada kita.
Bila kita menyukai seseorang untuk menjadi pasangan (suami atau istri) kita lalu hal itu sesuai dengan keinginan dan ilmu kita, akan tetapi Allah (dengan keluasan ilmu-Nya) tidak menghendakinya terjadi, maka pernikahan itu tidak akan dapat diwujudkan meski seluruh jin dan manusia membantu kita. Bila kita menyukai seseorang dan Dia sendiri telah menetapkannya untuk kita, maka pernikahan akan terwujud meskipun seluruh jin dan manusia menghalanginya.
Bila kita tidak suka kepada seseorang sedangkan Allah suka agar kita menyenangi dan menikahinya, ini adalah suatu pertanda bahwa Allah menyimpan banyak kebaikan yang (sebagian besarnya) dirahasiakan-Nya agar menjadi  ‘surprise’ bagi kita pada saat yang ditentukan-Nya sendiri kelak, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan kesukaan Allah yang lain adalah bahwa Dia mecurahkan kebaikan yang semakin bertambah dan berlipat kepada hamba-hamba yang diridhoi-Nya.
Dari banyak pengalaman, saat menjelang pernikahan (setelah kita buat keputusan untuk itu) adalah masa-masa yang sering dipenuhi dengan kecamuk ‘perang bathin’. Seolah ini adalah perang antara kebaikan dan keburukan. Bila kita terus maju dengan segala resikonya, kita akan menang lalu sampailah kita ke gerbang pernikahan. Sebaliknya, bila kita ragu dan menjadi terhalang dengan ‘hal-hal kecil’, kita akan kalah dan kita tidak akan sampai ke gerbang itu. Maka bila kita sudah buat keputusan, kita mesti buang jauh segala bentuk keraguan dan kita mesti belajar untuk menjadi tidak peduli dengan segala rintangan. Subhanallah.

Doa Kang Suto 





Pernah saya tinggal di Perumnas Klender. Rumah itu dekat mesjid yang sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak selalu bisa ikut. Saya sibuk ngaji yang lain.
Lingkungan sesak itu saya amati. Tak cuma di mesjid. Di rumah-rumah pun setiap habis magrib saya temui kelompok orang belajar membaca Al Quran. Anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun diundang.
Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme. Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas mereka kuat. Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Dua puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan corak hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa ini?
Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk membaca sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin tiba-tiba jadi superstar pengajian (ceramahnya melibatkan panitia, stadion, puluhan ribu jemaah dan honor besar), sekali lagi saya dibuat bertanya: jawaban sosiologis apa yang harus diberikan buat menjelaskan gairah Islam, termasuk di kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
Di Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba menghayati keadaan. Sering ustad menasihati, “Hiasi dengan bacaan Quran, biar rumahmu teduh.”
Para “Unyil” ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemarok terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya. Dan dia tidak tahu. Dia pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.
Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia masih bersemangat belajar. Katanya, “Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita cuma tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia.”
Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak bakal ia bisa menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, ‘ain itu tidak ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain.
“Ain, Pak Suto,” kata Ustad Bentong bin H. Sabit.
“Ngain,” kata Kang Suto.
“Ya kaga bisa nyang begini mah,” pikir ustad.
Itulah hari pertama dan terakhir pertemuan mereka yang runyem itu. Tapi Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru ngaji lain. Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang Suto diajarinya baca Al-Fatihah.
“Al-kham-du …,” tuntun guru barunya.
“Al-kam-ndu …,” Kang Suto menirukan. Gurunya bilang, “Salah.”
“Alkhamdulillah …,” panjang sekalian, pikir gurunya itu.
“Lha kam ndu lilah …,” Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita dosa karena mengubah arti Quran.
Kang Suto takut. “Mau belajar malah cari dosa,” gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan keagamaan saya.
“Begini Kang,” akhirnya saya menjawab. “Kalau ada ustad yang bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting. Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka semua, dan surga isinya cuma Arab melulu.” Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa. Beliau langsung ditegur Tuhan. “Biarkan, Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya.”
“Sira guru nyong,” (kau guruku) katanya, gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut pandang Jawa. Kami menggunakan sikap semeleh, berserah, pada Dia yang Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak berkeberatan ia zikir, “Arokmanirokim,” (Yang Pemurah, Pengasih).
Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
“Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini. Salahkah hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas.”
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang. Dan kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi.


Tawakal Dan Ikhtiar 





Secara singkat AA Gym menyatakan bahwa manusia harus Tawakal, harus percaya bahwa Allah SAW itu sangat sayang kepada Umat Manusia, oleh karena itu telah menyediakan segala yang ada di bumi ini untuk keperluan manusia.
Tapi menurut AA Gym manusia tidak cukup hanya Tawakal. Karena Allah juga tidak suka kepada manusia yang tidak berupaya, tidak ber-Ikhtiar.
Dicontohkan oleh AA Gym bahwa manusia itu hendaknya memperhatikan apa yang dilakukan oleh seekor cecak ketika dia harus menghidupi dirinya mencari makan.
Cecak itu adalah binatang yang melata, merayap, padahal makanannya adalah nyamuk (binatang yang bisa terbang).
Teryata cecak itu tetap tawakal, dia percaya Allah tidak akan menyia nyiakan dia tanpa makanan di dunia ini, tapi cecak juga mengerti bahwa untuk tetap dapat hidup, tidak cukup hanya tawakal. Bila hanya berbekal Tawakal, maka dia tak akan bisa menangkap cecak yang selalu terbang.
Jadi apa yang harus dibuat nya selain tawakal? Nah cecak harus berusaha (Ikhtiar), dia akan berupaya mengejar nyamuk yang dapat terbang.
Bagaimana caranya? Cecak lalu bertindak seolah olah dia itu benda mati, kadang kadang secara diam diam dia juga harus merayap. Semua perbuatannya itu dilakukan dengan hati hati, supaya nyamuk tidak sadar, bahwa didekat nya ada seekor cecak yang siap menyergapnya.
Setelah ada nyamuk yang betul betul dekat, maka HAP, lalu ditangkap. (ingat lagu anak2 berjudul cecak cecak didinding?).
Lalu AA Gym juga mencontohkan bagaimana seorang sosok manusia yang telah mengikuti langkah langkah seperti cecak.
Seorang manusia yang percaya (tawakal) tapi dia juga berikhtiar
Adalah seorang penjual mangga, dia percaya bahwa semua perbuatan yang didasari dengan tawakal pasti disenangi oleh Allah, tapi dia tidak semata mata mengandalkan ke-tawakalannya tersebut, dia juga berikhtiar.
Pagi pagi setelah sholat subuh, dia lap satu persatu mangga mangga yang hendak di jual nya (supaya sedap dipandang mata), setelah itu ditatanya mangga mangga itu dalam tumpukan yang tersusun dengan baik di keranjang yang hendak dipikulnya.
Sang istri melihat kerajinan suaminya mempersiapkan dagangan nya itu, ketika suami berangkat, sang istri mendoakan semoga rezeki dilimpahkan Allah kepada suami nya yang tawakal dan rajin itu.
Dipasar, pedagang mangga itu tidak hanya sendirian, disebelah kanan dan kiri banyak juga penjual mangga seperti halnya dia yang sedang berupaya mencari sesuap nasi.
Bila ada seorang ibu atau bapak yang mampir di tempat dagang nya, maka pedagang kita ini melayani dengan sopan, tidak marah bila ditawar oleh calon pembeli, dan tidak juga kesal bila ternyata pembeli itu tidak jadi membeli, atau malah akhirnya membeli di lapak sebelahnya.
Dalam hati nya si pedagang berkata, saya telah berikhtiar sebaik-baiknya, saya pun tawakal, bahwa Allah senantiasa memperhatikan rezeki saya, maka ketika sore tiba, pulang lah dia kerumah, disambut oleh sang istri, yang menanyakan bagaimana peruntungan hari ini.
Pedagang kita menjawab, alhamdulillah bu, tidak ada yang beli, tapi saya sudah puas bu, tidak ada satu kali pun pikiran saya buruk, tak satu patah kata yang kasar keluar dari mulut saya, sebaliknya saya telah melayani para calon pembeli dengan ramah, hati mereka rata-rata terhibur oleh keramahan saya, saya telah berhasil membuang jauh jauh rasa dengki saya kepada pedagang disebelah, ketika pembeli yang semula menawar manggaku, ternyata membeli dari lapak nya. Saya telah berbuat banyak kebaikan bu, tapi tidak satupun Mangga kita terjual.
Maka istrinya pun membalas, alhamdulillah Pak, itu lah rezeki kita.
Maka mereka berdua mengucapkan doa syukur, kepada Allah SAW.
Namun, tak berapa lama kemudian datang lah anak mereka, dengan berteriak teriak gembira, “Bapak, Ibu, alhamdulillah saya telah terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa”.
Nah, rezeki bukan hanya berbentuk uang, rezeki bisa berbentuk apa saja, dan ternyata rezeki itu tidak harus datang melalui diri kita, tapi dapat saja melalui anak kita, melalui istri kita, bahkan melalui orang tua kita.
rezeki bisa berupa kesehatan
rezeki bisa berupa kerukunan keluarga
rezeki bisa berbentuk bea siswa yang diterima oleh anak

Permohonan Si Miskin Dan Si Kaya 





Sebuah cerita teladan diambil dari buku “1001 Kisah Teladan”
Nabi Musa AS memiliki ummat yang jumlahnya sangat banyak dan umur mereka panjang-panjang. Mereka ada yang kaya dan juga ada yang miskin.
Suatu hari ada seorang yang miskin datang menghadap Nabi Musa AS. Ia begitu miskinnya pakaiannya compang-camping dan sangat lusuh berdebu. Si Miskin itu kemudian berkata kepada Baginda Musa AS, “Ya Nabiullah, Kalamullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar Allah SWT menjadikan aku orang yang kaya.
Nabi Musa AS tersenyum dan berkata kepada orang itu, “Saudaraku, banyak-banyaklah kamu bersyukur kepada Allah SWT. Si Miskin itu agak terkejut dan kesal, lalu ia berkata, Bagaimana aku mau banyak bersyukur, aku makan pun jarang, dan pakaian yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini saja”!.
Akhirnya Si Miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Beberapa waktu kemudian seorang kaya datang menghadap Nabi Musa AS. Orang tersebut bersih badannya juga rapi pakaiannya. Ia berkata kepada Nabi Musa AS, “Wahai Nabiullah, tolong sampaikan kepada Allah SWT permohonanku ini agar dijadikannya aku ini seorang yang miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu.
Nabi Musa AS pun tersenyum, lalu ia berkata, “Wahai saudaraku, janganlah kamu bersyukur kepada Allah SWT.”
“Ya Nabiullah, bagaimana aku tidak bersyukur kepada Alah SWT?. Allah SWT telah memberiku mata yang dengannya aku dapat melihat. Telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah SWT telah memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya”, jawab Si Kaya itu. Akhirnya Si Kaya itu pun pulang ke rumahnya.
Kemudian terjadi adalah Si Kaya itu semakin Allah SWT tambah kekayaannya karena ia selalu bersyukur. Dan Si Miskin menjadi bertambah miskin. Allah SWT mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga Si Miskin itu tidak memiliki selembar pakaianpun yang melekat di tubuhnya. Ini semua karena ia tidak mau bersyukur kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat


Fatimah Binti Muhammad SAW 





Fatimah adalah “ibu dari ayahnya.” Dia adalah puteri yang mulia dari dua pihak, yaitu puteri pemimpin para makhluq Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab,hasab dan nasab.
Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi’ danRuqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kul-tsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda, “Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” [Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"] Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil’aalamiin, dan ibu dari Al-Hasan dan Al-Husein.
Az-Zubair bin Bukar berkata, “Keturunan Zainab telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti Fatimah dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya ber-kata, “Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.” ["SiyarA'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]
Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Datang Fatimah kepada Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ucapkanlah, “Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung. Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat, Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau-lah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiadasesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan.” (HR. Tirmidzi)
Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin.
Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW, Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanya dengan air, sehingga darah semakin banyak yang keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar.” (HR. Syaikha dan Tirmidzi)
Dalam kancah pertarungan yang dialami itu, tampaklah peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi Muslim masa kini. Pemimpin wanita penghuni Syurga Fatimah Az-Zahra’, puteri Nabi SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untukmenyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit.
Inilah gambaran lain dari sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepada para pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak dapat dipenuhi. Ali r.a. berkata, “Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari. Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu.”
Ketika Rasulullah SAW menikahkannya (Fatimah), mengirimkannya (unta itu) bersama satu lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum,sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit) berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah dia, Az-Zahra’, ibu kedua cucu Rasulullah SAW Al-Hasan dan Al-Husein.
Fatimah selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, “ibu ayahnya, Muhammad”, Al-Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra’ (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah, dia selalu berdzikir.
Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keutamaan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah’ r.a. dia berkata, “Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu datang Fatimah r.a. sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya berkata, “Selamat datang, puteriku.” Kemudian beliau mendudukkannya di sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW berbisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum. Setelah itu aku berkata kepada Fatimah, “Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!” Ketika Nabi SAW pergi, aku bertanya kepadanya, “Apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu?” Fatimah menjawab, “Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul Allah SAW.” Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata kepadanya, “Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah kepadaku apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu?” Fatimah pun menjawab, “Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa bacaannya terhadap Al Qur’an sekali dalam setahun, dan sekarang dia memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahuluimu.” Fatimah berkata, “Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku, dan berkata, “Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin wanita-wanita kaum Mu’min atau ummat ini?” Fatimah berkata, “Maka akupun tertawa seperti yang engkau lihat.”
Inilah dia, Fatimah Az-Zahra’. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingga berdebu bajunya.
Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia ber-kata kepada ibunya, Fatimah binti Asad bin Hasyim, “Bantulah pekerjaan puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan mencukupimu bekerja di dalam rumah yaitu membuat adonan tepung, membuat roti dan menggiling gandum.”
Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fatimah, “Alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya.” KemudianFatimah datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya, “Apasebabnya engkau datang, wahai anakku?” Fatimah menjawab, “Aku datang untuk memberi salam kepadamu.” Fatimah merasa malu untuk meminta kepadanya, lalu pulang.
Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya, “Apakah keperluanmu?” Fatimah diam. Ali r.a. lalu berkata, “Aku akan menceritakannya kepada Anda, wahai Rasululllah.
Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku me-nyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa membantunya guna meringankan bebannya.”
Kemudian Nabi SAW bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka.” Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada mereka ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala, tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menutupi kaki, tampak kepala-kepala mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda, “Tetaplah di tempat tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripadaapa yang kalian minta dariku ?”
Keduanya menjawab, “Iya.” Nabi SAW bersabda, “Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucap-kan,  Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali.”
Dalam mendidik kedua anaknya, Fatimah memberi contoh,  Adalah Fatimah menimang-nimang anaknya, Al-Husein seraya melagukan, “Anakku ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali.” Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata, “Aduh, susahnya Ayah !” Nabi SAW menjawab, “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata, “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga Firdaus tempat tinggalnya.
Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya.” Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmi-dzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud. Ibnul Jauzi berkata, “Kami tidak mengetahui seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak meriwayatkan darinya selain Fatimah.”
Fatimah pernah mengeluh kepada Asma’ binti Umais tentang tubuh yang kurus. Dia berkata, “Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu?”Asma’ menjawab, “Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan.”
Maka Fatimah menyuruh membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda itu, maka dia berkata, “Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi aurat kalian.” [Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam "Siyar A'laaminNubala'. Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said dari Ummi Ja'far]
Ibnu Abdil Barr berkata, “Fatimah adalah orang pertama yang dimasukkan ke keranda pada masa Islam.” Dia dimandikan oleh Ali dan Asma’, sedang Asma’ tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a.berdiri di kuburnya dan berkata, “Setiap dua teman bertemu tentu akan berpisah dan semua yang di luar kematian adalah sedikit kehilangan satu demi satu adalah bukti bahwa teman itu tidak kekal Semoga Allah SWT meridhoinya.”
Dia telah memenuhi pendengaran, mata dan hati. Dia adalah ‘ibu dari ayahnya’, orang yang paling erat hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya.
Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fatimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang.
Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra’,puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu’minin r.a. dan mengangkut air dalam sebuah qirbah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi makan kaum Mu’minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.
Semoga kita semua, kaum Muslimah, bisa meneladani para wanita mulia tersebut. Amiin yaa Robbal’aalamiin.
Wallahu a’lam bishowab.

Salah Satu Ujian Berat Rosululloh SAW 





Sudah hampir 9 tahun Nabi Muhammad SAW menyiarkan Agama Islam tapi orang-orang hanya sedikit sekali yang mau mendengarkan syi’ar Islam Rosululloh SAW, apalagi mau masuk Islam.
Umat Islam waktu itu bisa dihitung dengan jari dan merupakan Umat yang paling lemah sehingga kaum Kafir sangatlah leluasa menyakiti dan menganiaya orang-orang yang telah masuk Islam.
Apalagi setelah Abu Tholib Paman Rosululloh SAW wafat di tahun kesepuluh ke-Nabian Beliau, Kaum Kafir menjadi merasa sangat bebas menyakiti Umat Islam.
Saat Abu Tholib masih ada Kaum Kafir merasa Takut jika mau menyakiti Umat Islam apalagi menyakiti Rosululloh SAW Keponakannya, karena Abu Tholib adalah salah satu pembesar kaum kafir yang amat di segani dan sangat Membela Rosululloh walaupun dia sendiri sampai wafat tidak masuk Islam.
Begitu hebatnya kekejian yang dilakukan kaum kafir terhadap Umat Islam setelah meninggalnya Abu Tholib, maka Rosululloh mengajak Umat Islam yang amat sedikit itu Hijrah ke Thaif.
Harapan Rosululloh SAW jika Kabilah Tsaqif yang merupakan mayoritas di Thaif nanti mau mendengarkan Syi’ar Islam dan akhirnya mau masuk Islam, maka hal ini akan bisa melepaskan Umat Islam dari perbuatan jahat dan keji kaum Kafir.
Sesampainya di Thaif, Rosululloh SAW langsung menemui 3 tokoh masyarakat setempat dengan harapan ke-tiga tokoh tersebut mau mendengarkan Syi’ar Islam Rosululloh  dan SAW akhirnya mau masuk Islam, sehingga akan mempermudah mengadakan Syi’ar Islam dan mengajak Masyarakat Thaif untuk masuk Islam.
Ternyata Harapan Rosululloh SAW jauh dari Kenyataan, Para Tokoh Masyarakat itu bukannya menerima atau menolak dengan halus ajakan Rosululloh tapi malah sebaliknya.
Ketiga Tokoh masyarakat itu mengejek, mencaci  dan menghina Rosululloh dan umat Islam yang menyertai Beliau dengan kata-kata Kasar dan menyakitkan.
“Ooh kamukah yang telah di pilih oleh Allah sebagai nabinya?”, kata salah satu tokoh masyarakat Thaif itu. Tokoh yang lain menimpali, “Apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas dipilih oleh Allah menjadi Nabi daripada Kamu?”. Dan sebagainya.
Setelah Rosululloh merasa bahwa kenyataannya sulit sekali mengajak para tokoh tersebut mendengarkan Syi’ar Islam dan masuk Islam, maka Beliaupun mengajak Umat Islam yang bersama Beliau segera beranjak pergi dari Thaif.
Tapi ternyata ketiga Tokoh Masyarakat tersebut telah menyuruh semua pemuda di Thaif untuk mengikuti dan mengganggu Rosululloh dan Umat Islam yang menyertai Beliau dengan caci maki serta sambil melempari batu.
Rosululloh dan Umat islam yang mengikuti Beliau terpaksa berjalan cepat dan akhirnya lari untuk menghindari lemparan batu dari para pemuda Thaif yang makin banyak sehingga menyebabkan Rosululloh dan umat Islam yang mengikuti Beliau terluka. Bahkan darah mengucur sampai kaki Rosululloh dan kaki Rosulullohpun berdarah-darah.
Setelah sampai di tempat yang di rasa aman, Rosululloh mengajak Umat Islam yang mengikuti Beliau berhenti dan istirahat.
Rosululloh berdo’a pada Allah SWT
“…Ya Allah aku mengadukan pada-Mu akan lemahnya kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia…”
“…Wahai Yang Maha Rahim dari sekalian rahimin, Engkau Tuhan-nya manusia yang merasa lemah dan Engkau-lah Tuhanku…”
“…Kepada siapakah Engkau akan aku serahkan diriku ?? kepada musuh yang akan menghinaku ataukah pada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku..”
“..tidak ada keberatan bagiku asal saja aku tetap dlm ridho-Mu ya Allah ya Tuhan-ku.”
Begitu sedihnya do’a yang di panjatkan oleh Rosululloh sehingga Allah SWT mengutus Malaikat Jibril AS untk menemui Rosululloh.
Setelah memberikan salam Malaikat Jibril berkata..” Wahai Rosululloh, Allah swt telah mengutus Malaikat yang mengurusi gunung-gunung, Engkau di izinkan oleh Allah swt memerintahkan malaikat tersebut melakukan apa saja yang kamu akan perintahkan.”
Kata Malaikat yang mengurusi gunung setelah memberikan salam, ” Wahai Rosululloh, jika engkau izinkan, aku akan mengangkat gunung-gunung di sebelah sana untuk aku timpakan pada penduduk Thaif yang telah menghina dan menganiayamu.”
Jawab Rosululloh yang mempunyai rasa kasih sayang yang amat tinggi, “Jangan, biarkanlah mereka , saya hanya mohon kepada Allah SWT, jika saat ini penduduk Thaif tidak mau mendengarkan Syi’ar Islam dan tidak mau masuk Islam biarkanlah, semoga Allah SWT menjadikan anak keturunan mereka akan menjadi Muslim semua kelak, menjadi Muslim yang taat pada Allah SWT.”
Dan ternyata Do’a Rosululloh SAW dikabulkan oleh Allah swt , anak cucu penduduk Thaif beberapa tahun kemudian menjadi Muslim yang taat pada Allah SWT semua.

Beribadah Di Sisi Kuburan 





Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah tentang gereja dengan gambar-gambar yang ada di dalamnya yang dilihat di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka bersabdalah beliau, “Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal, mereka bangun di atas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu rupaka-rupaka (sesajian). Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allah.”
Mereka dikatakan oleh beliau sebagai sejelek-jelek makhluk, karena melakukan dua fitnah sekaligus, yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka (sesajian). Diriwayatkan dari ‘Aisyah , ia berkata: “Tatkala Rasulullah hendak diambil nyawanya, beliau pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika beliau dalam keadaan demikian itulah, beliau bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau mengingatkan agar dijauhkan dari perbuatan itu, dan seandainya bukan karena hal itu niscaya kuburan beliau akan dimegahkan, hanya saja dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.
Muslim meriwayatkan dari Jundab bin ‘Abdullah , katanya, “Aku mendengar Nabi lima hari sebelum wafatnya bersabda: “Sungguh aku menyatakan setia kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) dari antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku menjadikan seorang khalil dari antara umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu perbuatan itu.”
Rasulullah menjelang akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundab- telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya -sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah- beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, dan inilah makna dari kata-kata ‘Aisyah: “… dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah. “, karena para sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kuburan beliau, padahal setiap tempat yang dimaksudkan untuk melakukan shalat di sana itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid, bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk shalat di sebut masjid, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, “Telah dijadikan bumi ini untukku sebagi masjid dan alat untuk bersuci.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim) “Jangan kamu Duduk di atas kuburan dan jangan Shalat menghadap kepadanyanya.” (HR. Muslim)
Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dengan sanad jayyid, dari Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya, termasuk sejelek-jelek manusia ialah orang-orang yang masih hidup ketika terjadi Kiamat dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagi tempat ibadah.” (Hadits ini diriwayatkan pula dalam Shahih Abu Hatim)
Termasuk perbuatan yang dilarang dilakukan di sisi kuburan adalah Tawassul dengan orang-orang mati, meminta hajat dan memohon pertolongan kepada mereka, sebagaimana banyak kita saksikan pada saat ini.
Mereka menamakan perbuatan tersebut sebagai tawassul, padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari’atkan. Seperti dengan perantara iman, amal shalih, Asmaa’ul Husnaa dan sebagainya.
Berdo’a dan memohon kepada orang-orang mati adalah berpaling dari Allah. Ia termasuk syirik besar. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (Yunus: 106)
Orang-orang zhalim dalam ayat di atas berarti orang-orang musyrik. …Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. ( Al An’am : 88).

Yang Tidak Bisa Diucapkan Ayah 





Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan,atau yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.
Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya. Lalu bagaimana dengan Papa?
Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata Papa-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu? Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Papa bekerja dan dengan wajah lelah Papa selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil. Papa biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Papa mengganggapmu bisa, Papa akan melepaskan roda bantu di sepedamu.  Kemudian Mama bilang : “Jangan dulu Papa, jangan dilepas dulu roda bantunya”
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka.
Tapi sadarkah kamu? Bahwa Papa dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba. Tetapi Papa akan mengatakan dengan tegas : “Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang” Tahukah kamu, Papa melakukan itu karena Papa tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, Papa yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”.
Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Papa benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja.  Kamu mulai menuntut pada Papa untuk dapat izin keluar malam, dan Papa bersikap tegas dan mengatakan: “Tidak boleh!”. Tahukah kamu, bahwa Papa melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga. Setelah itu kamu marah pada Papa, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu.
Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalahMama.  Tahukah kamu, bahwa saat itu Papa memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa Papa sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?
Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, Papa akan memasang wajah paling cool sedunia. :’) Papa sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu. Sadarkah kamu, kalau hati Papa merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan Papa melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan Papa adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir.  Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut – larut.  Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati Papa akan mengeras dan Papa memarahimu.. .
Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti Papa akan segera datang? “Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan Papa”
Setelah lulus SMA, Papa akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan Papa itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti.  Tapi toh Papa tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan Papa
Ketika kamu menjadi gadis dewasa. Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain.  Papa harus melepasmu di bandara. Tahukah kamu bahwa badan Papa terasa kaku untuk memelukmu? Papa hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini – itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. Padahal Papa ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat. Yang Papa lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”. Papa melakukan itu semua agar kamu KUAT, kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Papa. Papa pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan Papa tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan.
Kata-kata yang keluar dari mulut Papa adalah : “Tidak. Tidak bisa!” Padahal dalam batin Papa, Ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti Papa belikan untukmu”. Tahukah kamu bahwa pada saat itu Papa merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana. Papa adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. Papa akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat “putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”
Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin padaPapa untuk mengambilmu darinya. Papa akan sangat berhati-hati memberikan izin.. Karena Papa tahu.  Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
Dan akhirnya. .
Saat Papa melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Papa pun tersenyum bahagia. Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Papa pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis? Papa menangis karena papa sangat berbahagia, kemudian Papa berdoa. Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Papa berkata: “Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik. Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik. Bahagiakanlah ia bersama suaminya. “
Setelah itu Papa hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk.  Dengan rambut yang telah dan semakin memutih. Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya. Papa telah menyelesaikan tugasnya.
Papa, Ayah, Bapak, atau Abah kita.  Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat.  Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis. Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa “KAMU BISA” dalam segala hal..
Saya mendapatkan notes ini dari seorang teman, dan mungkin ada baiknya jika aku kembali membagikannya kepada teman-teman ku yang lain.
Tulisan ini aku dedikasikan kepada teman-teman wanita ku yang cantik, yang kini sudah berubah menjadi wanita dewasa serta ANGGUN, dan juga untuk teman-teman pria ku yang sudah ataupun akan menjadi ayah yang HEBAT !
Yup, banyak hal yang mungkin tidak bisa dikatakan Ayah / Bapak / Romo / Papa / Papi kita.  tapi setidaknya kini kita mengerti apa yang tersembunyi dibalik hatinya.


Santri dan Kyai 

 


Si Santri dan Si Kyai
Ada seorang Santri suatu hari datang kepada kyai. Santri ini berpendidikan umum progresif. Sedangkan Si Kyai adalah seorang otodidak agama yang aktif. Si Santri memahami Islam secara tekstual. Sedangkan Si Kyai sebaliknya, mencerna agama ini secara kontekstual. Si Santri muda ini meletup-letup semangatnya. Sedangkan Si Kyai setengah baya ini yang tinggal di desa menonjol sikap tawadhu’-nya terutama terhadap ilmu.
Sekali waktu Santri tersebut mengusulkan sebuah seminar ilmiah kepada sang kyai di pondoknya. Seraya mengapit sehelai stofmap berisi proposal ketik apik komputer, mahasiswa yang pernah mengaji pada kyai ini menyodorkan topik bahasan bertema Telaah Kritis Atas Hadits Bukhari.
“Saya yakin peminatnya pasti banyak, kyai. Sebab, ini khan memang lagi trend-nya!,” ujar si Santri berapi-api.
“Anak muda,” sahut Si Kyai, “Tema itu terlalu sombong untuk diangkat. Apakah kita sudah mengaca diri, siapa sih kita ini, kok mentang-mentang mau mengkritik Bukhari.”
Kemudian Si Kyai melanjutkan penuturannya, bahwa betapa Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) memang sudah pernah dikritik oleh para ulama hadits sekaliber berat, seperti Darqutny (wafat tahun 385 H), Al-Ghassany (wafat tahun 365 H), dan pakar ilmu-ilmu hadits lainnya. Tiga abad kemudian Ibnu Shalah (wafat tahun 643 H) dan Imam Nawawi (wafat tahun 676 H) juga melakukan hal yang sama, yaitu mengkaji dan menguji kodefikasi karya Bukhari dan akhirnya mereka sepakat memutuskan bahwa Shahih Bukhari merupakan kitab paling otentik sesudah Al-Qur’an. Para ahli mengakui bahwa abad III dan VI adalah merupakan masa matang dan suburnya karya ilmiah, terutama di bidang studi hadits.
Si Santri kemudian menyela, “Tapi kyai, berdasarkan fakta, ada beberapa hadits di dalam Bukhari yang tidak sejalan dengan logika dan tak relevan dengan sejarah. Bahkan ada yang bertentangan dengan sains modern.”
Si Kyai pun lalu menjawab, “Hadits-hadits riwayat bukhari itu sejalan dengan logika. Jika kamu tak paham, barangkali logikamu sendiri yang belum cukup peka untuk menangkapnya. Pikiran seperti itu mirip telaah para orientalis yang hanya berdasarkan prakonsepsi. Justru menurut saya, metodologi hadits yang dikembangkan Bukhari dalam seleksi mata rantai perawi yang begitu njlimet (kompleks) merupakan khazanah kita yang paling besar. Sesuatu yang (apalagi saat itu) jarang dikerjakan oleh ahli sejarah manapun dalam menelusuri sumber-sumber berita. Sebuah karya monumental yang tak tertandingi!.”
Dengan agak menyesal, Si Santri muda itu berkata lagi, “Lantas topik apa pula yang cocok untuk seminar, biar kelihatan wah begitu?.”
Si Kyai menyahut :
“Bikinlah seminar di dalam dirimu sendiri, dengan tema yang pas mungkin Sudah Sejauh Mana Kita Merealisasikan Sunnah Nabi Dalam Kehidupan Sehari-hari. Barangkali refleksi seperti ini akan lebih bermanfaat ketimbang kamu harus mengerjakan yang muluk-muluk, tak ketahuan juntrung faedahnya. Malahan dampaknya dapat diduga lebih dahulu, yaitu akan membuat orang awam jadi kian bingung.”
Sadar disindir, Si Santri hanya tersenyum kecut. Mengakhiri nasehatnya, Si Kyai berkata, “Anak muda!, jadilah penyuluh tuntunan, jangan jadi tontonan.” Si Santri tersebut akhirnya kembali bermukim di desa dan menekuni kitab kuning.

Dan Bulan Pun Telah Terbelah 





Allah berfirman, “Sungguh telah dekat hari qiamat, dan bulan pun telah terbelah” (Q.S. Al-Qamar: 1)
Apakah kalian akan membenarkan kisah yang dari ayat Al-Qur’an ini menyebabkan masuk Islamnya pimpinan Hizb Islami Inggris ?? Di bawah ini adalah kisahnya:
Dalam temu wicara di televisi bersama pakar Geologi Muslim, Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar, salah seorang warga Inggris mengajukan pertanyaan kepadanya, apakah ayat dari surat Al-Qamar di atas memiliki kandungan mukjizat secara ilmiah ?
Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawabnya sebagai berikut: Tentang ayat ini, saya akan menceritakan sebuah kisah. Sejak beberapa waktu lalu, saya mempresentasikan di Univ. Cardif, Inggris bagian barat, dan para peserta yang hadir bermacam-macam, ada yang muslim dan ada juga yang bukan muslim.
Salah satu tema diskusi waktu itu adalah seputar mukjizat ilmiah dari Al-Qur’an. Salah seorang pemuda yang beragama muslim pun berdiri dan bertanya, “Wahai Tuan, apakah menurut anda ayat yang berbunyi [Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah] mengandung mukjizat secara ilmiah?
Maka saya menjawabnya, “Tidak, sebab kehebatan ilmiah diterangkan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan mukjizat tidak bisa diterangkan ilmu pengetahuan, sebab ia tidak bisa menjangkaunya. Dan tentang terbelahnya bulan, maka itu adalah mukjizat yang terjadi pada Rasul terakhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai pembenaran atas kenabian dan kerasulannya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Dan mukjizat yang kelihatan, maka itu disaksikan dan dibenarkan oleh setiap orang yang melihatnya. Andai hal itu tidak termaktub di dalam kitab Allah dan hadits-hadits Rasulullah, maka tentulah kami para muslimin di zaman ini tidak akan mengimani hal itu. Akan tetapi hal itu memang benar termaktub di dalam Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Dan memang Allah ta’alaa benar-benar Maha berkuasa atas segala sesuatu.
Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar pun mengutip sebuah kisah Rasulullah membelah bulan. Kisah itu adalah sebelum hijrah dari Mekah Mukarramah ke Madinah. Orang-orang musyrik berkata, “Wahai Muhammad, kalau engkau benar Nabi dan Rasul, coba tunjukkan kepada kami satu kehebatan yang bisa membuktikan kenabian dan kerasulanmu (mengejek dan mengolok-olok)?”
Rasulullah bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”. Mereka menjawab, “Coba belah bulan.”
Maka Rasulullah pun berdiri dan terdiam, lalu berdoa kepada Allah agar menolongnya. Maka Allah memberitahu Muhammad agar mengarahkan telunjuknya ke bulan. Maka Rasulullah pun mengarahkan telunjuknya ke bulan, dan terbelahlah bulat itu dengan sebenar-benarnya. Maka serta-merta orang-orang musyrik pun berujar, “Muhammad, engkau benar-benar telah menyihir kami!” Akan tetapi para ahli mengatakan bahwa sihir, memang benar bisa saja “menyihir” orang yang ada disampingnya akan tetapi tidak bisa menyihir orang yang tidak ada ditempat itu. Maka mereka pun pada menunggu orang-orang yang akan pulang dari perjalanan. Maka orang-orang Quraisy pun bergegas menuju keluar batas kota Mekkah menanti orang yang baru pulang dari perjalanan. Dan ketika datang rombongan yang pertama kali dari perjalanan menuju Mekkah, maka orang-orang musyrik pun bertanya, “Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh dengan bulan?”Mereka menjawab, “Ya, benar. Pada suatu malam yang lalu kami melihat bulan terbelah menjadi dua dan saling menjauh masing-masingnya kemudian bersatu kembali.”
Maka sebagian mereka pun beriman, dan sebagian lainnya lagi tetap kafir (ingkar). Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat-Nya, “Sungguh, telah dekat hari qiamat, dan telah terbelah bulan, dan ketika melihat tanda-tanda kebesaran Kami, merekapun ingkar lagi berpaling seraya berkata, “Ini adalah sihir yang terus-menerus”, dan mereka mendustakannya, bahkan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan setiap urusan benar-benar telah tetap ….sampai akhir surat Al-Qamar.
Ini adalah kisah nyata, demikian kata Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar. Dan setelah selesainya Prof. Dr. Zaghlul menyampaikan hadits nabi tersebut, berdiri seorang muslim warga Inggris dan memperkenalkan diri seraya berkata, “Aku Daud Musa Pitkhok, ketua Al-Hizb Al-Islamy Inggris. Wahai tuan, bolehkah aku menambahkan??”
Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawab: Dipersilahkan dengan senang hati.”
Daud Musa Pitkhok berkata, “Aku pernah meneliti agama-agama (sebelum menjadi muslim), maka salah seorang mahasiswa muslim menunjukiku sebuah terjemah makna-makna Al-Qur’an yang mulia. Maka, aku pun berterima kasih kepadanya dan aku membawa terjemah itu pulang ke rumah. Dan ketika aku membuka-buka terjemahan Al-Qur’an itu di rumah, maka surat yang pertama aku buka ternyata Al-Qamar. Dan aku pun membacanya, “Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah…”
Maka aku pun bergumam: Apakah kalimat ini masuk akal? Apakah mungkin bulan bisa terbelah kemudian bersatu kembali? Andai benar, kekuatan macam apa yang bisa melakukan hal itu? Maka, aku pun menghentikan dari membaca ayat-ayat selanjutnya dan aku menyibukkan diri dengan urusan kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi Allah Yang Maha Tahu tentang tingkat keikhlasam hamba-Nya dalam pencarian kebenaran. Maka aku pun suatu hari duduk di depan televisi Inggris. Saat itu ada sebuah diskusi diantara presenter seorang Inggris dan 3 orang pakar ruang angkasa AS. Ketiga pakar antariksa tersebut pun menceritakan tentang dana yang begitu besardalam rangka melakukan perjalanan ke antariksa, padahal saat yang sama dunia sedang mengalami masalah kelaparan, kemiskinan, sakit dan perselisihan.
Presenter pun berkata, ” Andai dana itu digunakan untuk memakmurkan bumi, tentulah lebih banyak berguna”. Ketiga pakar itu pun membela diri dengan proyek antariksanya dan berkata, “Proyek antariksa ini akan membawa dampak yang sangat positif pada banyak segmen kehidupan manusia, baik segi kedokteran, industri, dan pertanian. Jadi pendanaan tersebut bukanlah hal yang sia-sia, akan tetapi hal itu dalam rangka pengembangan kehidupan manusia.
Dan diantara diskusi tersebut adalah tentang turunnya astronot menjejakkan kakiknya di bulan, dimana perjalanan antariksa ke bulan tersebut telah menghabiskan dana tidak kurang dari 100 juta dollar.
Mendengar hal itu, presenter terperangah kaget dan berkata, “Kebodohan macam apalagi ini, dana begitu besar dibuang oleh AS hanya untuk bisa mendarat di bulan?” Mereka pun menjawab, “Tidak, ..!!! Tujuannya tidak semata menancapkan ilmu pengetahuan AS di bulan, akan tetapi kami mempelajari kandungan yang ada di dalam bulan itu sendiri, maka kami pun telah mendapat hakikat tentang bulan itu, yang jika kita berikan dana lebih dari 100 juta dollar untuk kesenangan manusia, maka kami tidak akan memberikan dana itu kepada siapapun. Maka presenter itu pun bertanya, “Hakikat apa yang kalian telah capai sehingga demikian mahal taruhannya. Mereka menjawab, “Ternyata bulan pernah mengalami pembelahan di suatu hari dahulu kala, kemudian menyatu kembali.!!!
Presenter pun bertanya, “Bagaimana kalian bisa yakin akan hal itu?” Mereka menjawab, “Kami mendapati secara pasti dari batuan-batuan yang terpisah terpotong di permukaan bulan sampai di dalam (perut) bulan. Maka kami pun meminta para pakar geologi untuk menelitinya, dan mereka mengatakan, “Hal ini tidak mungkin telah terjadi kecuali jika memang bulan pernah terbelah lalu bersatu kembali”.
Mendengar paparan itu, ketua Al-Hizb Al-Islamy Inggris mengatakan, “Maka aku pun turun dari kursi dan berkata, “Mukjizat (kehebatan) benar-benar telah terjadi pada diri Muhammad sallallahu alaihi wassallam 1400-an tahun yang lalu. Allah benar-benar telah mengolok-olok AS untuk mengeluarkan dana yang begitu besar, 100 juta dollar lebih, hanya untuk menetapkan akan kebenaran muslimin !!!! Maka, agama Islam ini tidak mungkin salah … Maka aku pun berguman, “Maka, aku pun membuka kembali Mushhaf Al-Qur’an dan aku baca surat Al-Qamar, dan … saat itu adalah awal aku menerima dan masuk Islam.

                                     Anugrah Terindah



Jika kita bertanya kepada Siti Masyithoh, “Anugerah terindah apa yang pernah kau miliki?”. Maka Siti Masyithoh pasti akan menjawab “Sisir! Karena dengan sisir lah aku bisa membela ketauhidanku terhadap Fir’aun sehingga Fir’aun menyiapkan sebuah tempat pembakaran unutk merebusku hingga lebur semua tulang-tulangku. Dan semua karena Allah semata”
Jika kita bertanya kepada Bilal bin Rabbah, “Anugerah terindah apa yang pernah kau miliki?”, Maka Bilal pasti akan menjawab “Suara! Karena dengan suaraku ini aku bisa mengumandangkan dan menggemakan adzan keseluruh pelosok negeri mengajak orang-orang untuk sholat. Dan semua karena Allah semata.”
Jika kita bertanya kepada Faris ‘Audah (seorang bocah Palestina) “Anugerah terindah apa yang pernah kau miliki?” Maka dia pasti akan menjawab “Batu! Karena dengan bersenjatakan batu inilah aku berjihad menghadapi yahudi laknatullah hingga akhirnya sebuah peluru menerjang dan menjatuhkan ku. Dan semua karena Allah semata.”
Bagaimana jika pertanyaan itu kemudian ditanyakan kepada kita?
“Anugerah terindah apa yang pernah kumiliki?”
Bisakah kita menjawabnya? Atau kita hanya terdiam dan tersenyum tidak tahu mesti menjawab apa.
Sungguh orang-orang yang telah mendahului kita telah memberikan contoh yang begitu jelas. Semua nikmat dan anugerah yang kita punya akan menjadi “Anugerah Terindah” kita apabila kita menggunakannya di jalan Allah.
Allah memberi kita suara yang indah nan merdu, tapi pernahkah suara kita itu mengumandangkan adzan? atau pernahkan untuk tilawah Al-Qur’an? atau hanya sebuah pekik takbir “Allahu akbar!!” ? atau jangan-jangan suara kita justru menjadi sumber bencana kita? justru menjadi pengantar kita ke neraka? Na’udzubillah min Dzalik.
Allah memberi kita anugerah-anugerah yang berbeda-beda. Lalu ada sebuah pertanyaan : “Apa anugerah terindah yang pernah kumiliki?”

                                  Arti Sebuah Obrolan





Tersebutlah dalam buku-buku sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal juga sebagai khalifah Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya obrolan masyarakatnya.
Pada masa khalifah sebelumnya, obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid.
Dalam obrolan mereka terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut, “Berapa rumah yang sudah engkau bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada di rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis? Dan semacamnya.”
Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya, lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya.
Dalam obrolan mereka, terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut, “Hari ini engkau sudah membaca Al Qur’an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari engkau berpuasa pada bulan ini? Dan semacamnya.”
Mungkin diantara kita ada yang mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah?
Dari aspek hukum syar’i, obrolan yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz memang masuk kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias tidak ada larangan dalam syari’at.
Akan tetapi, bila hal itu kita tinjau dari sisi lain, misalnya dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal itu menujukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa juga kita katakan, telah terjadi obsesi pada ummat.
Pada masa Sahabat (Ridhwanullah ‘alaihim), obsesi orang (dengan segala tuntutannya, baik yang berupa feeling ataupun ‘azam, bahkan amal) selalu terfokus pada bagaimana menyebar luaskan Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan apapun, sehingga, pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas bumi ini. Namun, pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi itu telah berubah.
Dampak dari adanya perubahan ini adalah melemahnya semangat jihad, semangat da’wah ilallah, semangat men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka memahami Islam, menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Al Hamdulillah, Allah swt memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang mampu memutar kembali “gaya” dan “pola” obrolan masyarakatnya, sehingga, kita semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu, Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup masyarakat.
Tersebut pula dalam sejarah bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan Barat Kristen yang memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai kaum muslimin).
Tujuan dia memasuki wilayah Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin mengobrol, ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab dari obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat itu.
Selagi dia berjalan-jalan untuk mendapatkan informasi tentang gaya kaum muslimin, tertumbuklah pandangannya kepada seorang bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah, dia hanya mendapatkan seekor burung.
Mendengar jawaban seperti itu, sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania (Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fisabilillah, buktinya, sang bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka masih terobsesi untuk berjihad fisabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah itu tadi.
Antara obrolan orang tua dan tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam hal: keduanya sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun merupakan cermin yang nyata dari sebuah obsesi.
Setelah masa berlalu berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak terlupakan, ia datangi pula masjid.
Ternyata, ada kesamaan pada semua tempat itu dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan, “Budak perempuan saya yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah saya yang di tempat anu itu, betul-betul indah memang, pemandangannya bagus, desainnya canggih, luas dan sangat menyenangkan”, dan semacamnya.
Merasa yakin bahwa gaya obrolan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah disusun berbagai rencana untuk menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu, sampai sekarang, negeri itu bukan lagi negeri Muslim.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah, betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah gaya obrolan kita sekarang ini?
Sadarkah kita bahwa obrolan adalah cerminan dari obsesi kita?
Sadarkah kita bahwa obrolan kita lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah kita persiapkan sedemikian rupa?
Bila tidak, cobalah anda reka, pengaruh apa yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang baru saja turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhudan salafush-Shalih dan pengaruhnya dalam efektifitas da’wah”.
Sehabis shalat Jum’at, anda mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda dan mereka memperbincangkan. Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda yang di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya.
Cobalah anda menerka, pengaruh apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang anda sampaikan lewat obrolan?
Sekali lagi, memang obrolan semacam itu bukanlah masuk kategori “terlarang” secara syar’i, akan tetapi, saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da’wah ilallah.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah… Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya obrolan kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang terjadi saat kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi antar sesama aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita.
Saat itu, obrolan kita tidak pernah keluar dari da’wah, da’wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang?
Silahkan masing-masing kita menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita da’wah dan tarbiyah saat itu dengan seringnya kita mendengar adanya dha’fun tarbawi di sana sini.

 Usai Menyaksikan Jenazah raja fahd, Seorang Pendeta Italia Masuk Islam



Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah kisah seorang pendeta asal Italia.
Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan masuk Islam setelah menyaksikan jenazah raja Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.
Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.
Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.
Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.
Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”
Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”
Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta.(istod/AH)

               Kisah Seorang pemeriksa pajah melawan korupsi



Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalang kabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali.Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.
Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.
Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yang penting usaha dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yang kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yang penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah.
Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bias memahami.
Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.
Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.
Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mengajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak.
Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain.
Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bias saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.
Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabatdan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik?” Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi.”
Kemudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau.
Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan, “Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,” katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.
Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian.” Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.
Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu a’lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.
Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?
Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, “Kenapa tidak bilang-bilang?” Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah.
Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.
Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, “Uang setan ya dimakan hantu.”
Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.
Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum?at atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum’atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur’an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.
Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.
Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).

                                        Dimana Tsa'labah Sekarang...?




Seorang sahabat Nabi yang amat miskin datang pada Nabi sambil mengadukan tekanan ekonomi yg dialaminya. Tsa’labah, nama sahabat tersebut, memohon Nabi untuk berdo’a supaya Allah memberikan rezeki yang banyak kepadanya.
Semula Nabi menolak permintaan tersebut sambil menasehati Tsa’labah agar meniru kehidupan Nabi saja. Namun Tsa’labah terus mendesak. Kali ini dia mengemukakan argumen yang sampai kini masih sering kita dengar, “Ya Rasul, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat memberikan kepada setiap orang haknya.
Nabi kemudian mendo’akan Tsa’labah. Tsa’labah mulai membeli ternak. Ternaknya berkembang pesat sehingga ia harus membangun pertenakakan agak jauh dari Madinah. Seperti bisa diduga, setiap hari ia sibuk mengurus ternaknya. Ia tidak dapat lagi menghadiri shalat jama’ah bersama Rasul di siang hari.
Hari-hari selanjutnya, ternaknya semakin banyak; sehingga semakin sibuk pula Tsa’labah mengurusnya. Kini, ia tidak dapat lagi berjama’ah bersama Rasul. Bahkan menghadiri shalat jum’at dan shalat jenazah pun tak bisa dilakukan lagi.
Ketika turun perintah zakat, Nabi menugaskan dua orang sahabat untuk menarik zakat dari Tsa’labah. Sayang, Tsa’labah menolak mentah-mentah utusan Nabi itu. Ketika utusan Nabi datang hendak melaporkan kasus Tsa’labah ini, Nabi menyambut utusan itu dengan ucapan beliau, “Celakalah Tsa’labah!”
Nabi murka, dan Allah pun murka!
Saat itu turunlah Qs at-Taubah: 75-78
“Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui yang ghaib?”
Tsa’labah mendengar ada ayat turun mengecam dirinya, ia mulai ketakutan. Segera ia temui Nabi sambil menyerahkan zakatnya. Akan tetapi Nabi menolaknya, “Allah melarang aku menerimanya.” Tsa’labah menangis tersedu-sedu.
Setelah Nabi wafat, Tsa’labah menyerahkan zakatnya kepada Abu Bakar, kemudian Umar, tetapi kedua Khalifah itu menolaknya. Tsa’labah meninggal pada masa Utsman.
Dimanakah Ts’alabah sekarang? Jangan-jangan kitalah Tsa’labah-Tsa’labah baru yang dengan linangan air mata memohon agar rezeki Allah turun kepada kita, dan ketika rezeki itu turun, dengan sombongnya kita lupakan ayat-ayat Allah.
Bukankah kita dengan alasan sibuk berbisnis tak lagi sempat sholat lima waktu. Bukankah dengan alasan ada “meeting penting” kita lupakan perintah untuk sholat Jum’at. Bukankah ketika ada yang meminta sedekah dan zakat kita ceramahi mereka dengan cerita bahwa harta yang kita miliki ini hasil kerja keras, siang-malam membanting tulang; bukan turun begitu saja dari langit, lalu mengapa kok orang-orang mau enaknya saja minta sedekah tanpa harus kerja keras.
Kitalah Tsa’labah….Tsa’labah ternyata masih hidup dan “mazhab”-nya masih kita ikuti…
Konon, ada riwayat yang memuat saran Nabi Muhammad SAW (dan belakangan digubah menjadi puisi oleh Taufik ismail), “Bersedekahlah, dan jangan tunggu satu hari nanti di saat engkau ingin bersedekah tetapi orang miskin menolaknya dan mengatakan, “kami tak butuh uangmu, yang kami butuhkan adalah darahmu!”
Dahulu Tsa’labah menangis di depan Nabi yang tak mau menerima zakatnya. Sekarang ditengah kesenjangan sosial di negeri kita, jangan-jangan kita bukan hanya akan menangis namun berlumuran darah ketika orang miskin menolak sedekah dan zakat kita!
Na’udzubillah…

                                                  Ibroh



Sa’at itu Abu Bakar Asyidiq menjabat sebagai Kholifah (Presiden). Waktu itu beliau pergi kepasar mau berdagang, di tengah jalan bertemu dng Umar Bin Khotob, Umar pun bertanya, “Wahai Abu Bakar, engkau sebagai Kholifah (Presiden) tapi masih juga menyibukkan diri ke pasar berdagang, apakah tidak mengganggu tugasmu sebagai Kholifah (Presiden) yang berkewajiban untuk melayani rakyat (umat)?”
Jawab Abu Bakar, “Wahai Umar, aku berdagang ke pasar mencari nafkah untuk keluargaku?”. Lalu Umar mendatangi Abu Ubaidah sebagai pemegang amanah baitul mal (Bendahara negara) untuk mengusulkan agar Abu Bakar di beri gaji yang di ambil dari Kas Negara, agar tidak harus berdagang ke pasar yang bisa mengganggu tugas Abu Bakar sebagai Kepala Negara.
Di kemudian hari istri Abu Bakar berkata pada Beliau “Aku ingin membuat dan makan manisan, jika Engkau mengizinkan, maka aku akan menyisihkan uang belanja dari Engkau untuk keperluan itu”. Abu Bakarpun mengizinkan.
Setelah uang terkumpul maka Istri Abu Bakar berkata lagi, “Ini uang hasil aku menyisihkan sebagian uang belanja. Belikan aku keperluan untuk membuat manisan di Pasar”.
Jawab Abu Bakar pada istrinya, “Kalau begitu berarti gajiku sebagai Presiden (kholifah) terlalu besar, sehingga engkau masih bisa menyisihkan sebagian uang untuk keinginanmu ini”.
Abu Bakar akhirnya memohon agar gajinya sebagai Presiden (kholifah) di potong sebesar uang yang telah bisa disisihkan oleh istri Beliau.
 http://ervakurniawan.wordpress.com/tag/cerita-nasehat/


Semoga bermanfaat

Wassalam


























     


1 komentar:

  1. assalamu'alaikum wr wb....salam ukhwah to kita semua....jika kisah2 bermanfaat bermanfaat silakan di copi.....semoga bermanfaat...dan kita jadikan bahan renungan....bersamaaa..!!!

    BalasHapus